Update Artikel Terbaru
Showing posts with label RESENSI BUKU. Show all posts
Showing posts with label RESENSI BUKU. Show all posts

”Memindah” Perpustakaan ke dalam Rumah

Written By Agus M. Irkham on 29 Mar 2009 | 01:58




: agus m. irkham

Judul:
Seri Rumah Ide : Home Library
Penulis:
Imelda Akmal
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan I:
2007
Tebal:
64 hal
Harga:
Rp. 29.500,-


Buat Anda para pencinta buku. Pernahkah mendapati deretan buku koleksi Anda geripis karena dimakan rayap? Warna kertasnya berubah coklat lantaran terlalu lama Anda biarkan berdebu? Tumpukan buku Anda tercecer di mana-mana, sangat sulit menemukan buku yang sedang Anda butuhkan? Hingga untuk membacanya Anda lebih memilih membelinya kembali di toko buku? Atau Anda puyeng lantaran jumlah koleksi buku kian menggunung, tapi tempat sangat terbatas? Jika Anda temasuk orang yang pernah mendapati beberan pengalaman di atas, tidak salah lagi Anda harus membaca buku ini.

Imelda Akmal—peraih Certifacate of Interior Decoration RMIT-Australia—kali ini meluncurkan tema Home Library dalam buku Seri Rumah Ide-nya. Buku ini tidak saja menghadirkan rak buku sebagai tempat bersandar punggung buku, tapi mampu menghadirkan rak buku menjadi sesuatu yang integral dari bagian ruang rumah. Rak buku yang mampu menambah estetika rumah serta meningkatkan rasa penghargaan diri penghuninya.

Dengan 64 halaman yang keseluruhannya berwarna, plus tebal mengkilat (glosi) pembaca dapat menekuni satu persatu berbagai variasi penempatan dan model rak buku. Mulai dari rak buku di ruang pribadi, di sudut ruang makan, di sudut ruang, di sepanjang koridor rumah, di loteng, di studio mungil, hingga rak buku simpel di ruang kerja.

Selain rak buku, Imelda yang jebolan jurusan arsitektur Trisakti kelahiran 31 Mei 1969 ini juga memberikan beragam tips bagaimana sebaiknya menata buku. Berdasarkan rekomendasi Imelda, buku dapat ditaruh di rak buku berdasarkan ukuran buku (buku kecil, sedang, besar), dan berdasarkan tema buku, serta kepemilikannya (anak, remaja, dewasa/orangtua) (hlm 28). Asyiknya lagi, tips membuat perpustakaan untuk buah hati kita juga diberikan oleh ibu satu anak yang telah menulis lebih dari 20 buku ini.

Tidak hanya itu, Imelda juga mengulik perpustakaan rumah dari segi penerangan, tata cahaya rak buku-ruang baca, tips perawatan buku, kursi baca, hingga model tangga unik untuk rak buku yang tinggi. Pendeknya buku ini bisa Anda tempatkansebagai buku referensi/panduan membuat perpustakaan rumah.

Awal persentuhan Imelda Akmal pada dunia penulisan buku saat ia bergabung sebagai redaktur Rumah dan Kebun di majalah Femina di tahun 1993. Saat di Femina, laporan-tulisan yang diturunkan Imelda selalu dikliping pembacanya. Bahkan berdasarkan pengakuan Imelda kepada Matabaca, tiga hari setiap majalah terbit, dapat dipastikan tak kurang dari 20 pembaca akan menelponnya. Mulai dari sekadar menyanjung, kenalan, hingga menanyakan ini itu tentang isi tulisannya.

Nah, latar belakang Imelda sebagai jurnalis itu pula yang sepertinya sangat memengaruhi cara ia menulis dan menyajikan buku ini. Di samping secara perwajahan sangat menarik, tulisannya pun mudah dipahami (readable). Membaca buku serasa menekuni majalah.

Cara kerja yang dipakainya pun bak pinang tak berbelah dengan modus jurnalis mencari berita. Demi mendapatkan contoh-contoh nyata perpustakaan rumah, Imelda rela bergerilya ke beberapa kota. Dari Jakarta, Bandung, Semarang, hingga Melbourne. Mewawancarai beberapa orang pencinta buku dan pemilik perpustakaan rumah. Guna menambah magnet buku ini, Imelda juga berasa perlu menghadirkan perpustakaan pribadi yang dimiliki Dewi “Supernova” Lestari.

Meskipun darasan saya sepertinya mengarah pada kesimpulan bahwa buku ini begitu sempurna, tapi sejatinya tidak begitu. Ada empat hal yang luput dari perhatian Imelda.

Pertama, Imelda tidak memberikan kisaran anggaran (rupiah) yang harus disiapkan untuk beberapa pilihan model dan ukuran rak buku. Padahal soal budget ini, untuk sebagian besar orang, termasuk pencinta buku masih menjadi pusat perhatian penting.

Kedua, Imelda tidak memberikan pengetahuan yang memadai/rekomendasi tentang sebaiknya jenis kayu seperti apa yang paling baik untuk dijadikan rak buku.

Ketiga, tidak sebarispun informasi yang dapat kita temui di buku ini yang memuat nama dan kontak orang atau lembaga (mebel) yang dapat dihubungi untuk membantu ”memindahkan” perpustakaan ke dalam rumah kita. Bukan apa-apa, karena untuk sebagian orang yang super sibuk, membuat rak buku dan merancang perpustakaan rumah sendiri hampir menjadi sesuatu yang mustahil.

Keempat, buku ini tidak memasukkan perkembangan software otomasi perpustakaan (sop) yang dapat digunakan untuk mengelola perpustakaan rumah. Kehadiran sop ini dapat dipersamakan dengan kehadiran pustakawan, yang akan membantu memberdayakan koleksi perpustakaan rumah yang kita punyai. Karena dalam praktiknya, kehadiran rak buku, semenarik apapun tidak akan banyak membantu jika tidak disertai dengan otomasi koleksi.

Di kalangan pembaca buku di Indonesia Imelda Akmal bukanlah nama baru. Lebih dari 400.000 eksemplar bukunya telah diserap pasar. Dalam HUT Gramedia Pustaka Utama ke-30 tahun 2004 silam, Imelda Akmal dianugerahi predikat Penulis Inovatif untuk bidang arsitektur dan interior. Dari menulis Imelda hidup berkecukupan, memiliki empat rumah, satu kantor (Imelda Akmal Architecture Writer Studio), serta enam karyawan yang terdiri atas penulis dan fotografer.

Sebuah pencapaian yang barangkali ia sendiri tak pernah mengira. Karena pada tahun 1996 saat menerbitkan buku pertamanya Seri Menata Rumah: Menata Rumah Mungil (GPU, 1996) ia harus merelakan mobilnya. Dijual untuk menutup biaya separasi warna buku pertamanya itu.♦

Penerbit Yogya Buka Rahasia

Written By Agus M. Irkham on 14 Jan 2009 | 00:14

: agus m. irkham

Judul Declare!
Kamar Kerja Penerbit Jogya (1998 – 2007)
Penulis Ade
Kata Pengantar St. Sunardi
Penerbit Komunitas Penebit Jogya (KPJ)
Cetakan I 2007
Jumlah Hlm xxxvi + 341 (termasuk indeks)


Sulit untuk tidak menyebut Jogya ketika membicarakan buku. Baik dalam lingkup minat baca, gelaran acara, maupun keberadaan penerbit. Berdasarkan data yang dirilis di buku panduan Jogya Book Fair 2006 saja, paling kurang ada 44 penerbit. Jumlah tersebut hanya meliputi penerbit yang terdaftar sebagai anggota IKAPI DIY. Belum termasuk penerbit indie, yang kisaran jumlahnya lebih dari 100 penerbit. Penerbit buku di Jogya memang sudah tumbuh menjadi suatu industri. Terbukti pada tahun 2001 saja ada 4.230 judul buku baru dengan oplah tak kurang dari 6.480.000 eksemplar. Sebuah jumlah yang membabarkan kepada khalayak betapa tingginya tingkat persaingan dan kreativitas pengelolaan penerbit Jogya.

Salah satu penyebab meledaknya angka jumlah penerbit di Jogya adalah angin segar reformasi (1998) dan perkembangan industri percetakan. Reformasi memperkaya keragaman tema buku yang diangkat. Beberapa yang sangat menonjol adalah buku-buku (berbau) kiri dan tema-tema pergerakan dan pembebasan.

Tahun 1998, juga menjadi awal munculnya Program Pustaka Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation yang turut menggairahkan dunia penerbitan buku. Selama program itu berlangsung, ada 445 judul buku yang diterbitkan oleh 52 penerbit dengan nilai total pembiayaan 1,8 juta dolar AS. Banyak penerbit kecil, termasuk Jogya, yang kecipratan dana tersebut. Yayasan Adikarya IKAPI memberi subsidi produksi buku bertema humaniora, sastra, lingkungan, kependudukan, dan lingkungan. Setiap penerbit dijatah delapan judul buku dalam satu program. Besaran subsidi 80 persen dari total biaya cetak 3.000 eksemplar. Hingga tahun 2003, tak kurang 600 judul buku terbit atas bantuan subsidi tersebut. (hlm 82)

Persoalan mulai muncul ketika program tersebut berakhir. Tidak sedikit penerbit Jogya, yang semula hanya berbekal idealisme tanpa pernah serius menekuni logika pasar akhirnya harus gulung lapak. Kenyataan itu alih-alih membuat gairah penerbit Jogya menjadi lesu, yang terjadi justru intensitas persaingan semakin meninggi. Tingginya tingkat persaingan di antara penerbit Jogya, tak jarang melahirkan praktik hina di industri mulia. Para penerbit banyak yang bekerja dengan sistem “ATM” (Amati, Teliti, Modifikasi) serta “spanyol” (separo nyolong), utak-atik naskah dari internet dengan nama penulis gadungan, sebagainya. Modus itu dipakai demi memenuhi kewajiban perniagaan. Tidak semata-mata melunasi dahaga wacana pengetahuan.
Buku ini merupakan catatan seorang kerani perbukuan Jogya, Adhe, yang turut pula menjadi bagian yang dibicarakan. Tentu kondisi itu menjadi serba sulit buat Adhe. Karena mestinya ia berjarak dengan objek tulisan. Tidak menjadi bagian yang ditulis. Agar ia mampu menulis dengan jujur, tanpa dibebani oleh rasa rikuh dan konflik kepentingan.

Meski demikian ketika saya membaca pagina demi pagina isi buku, saya tidak menemukan nuansa jumawa dan konflik kepentingan itu. Nampak benar upaya Adhe untuk bersikap ”dingin”, dan berjarak ketika menulis.

Sangat boleh jadi Declare menjadi satu-satunya buku yang merekam geliat dunia penerbitan di Jogya. Merekam tidak saja pada sisi-sisi teknis penerbitan: dari mulai (hitam putih) modus pengadaan naskah, proses produksi, dan sistem distribusi, tapi juga mendaras segi kulturalnya. Hingga orang akan sampai pada satu kesimpulan: gairah penerbitan buku di Jogya hanya sekadar akibat bukan sebab. Akibat dari tradisi kritis dan gaya hidup nyempal yang memang sudah menjadi bagian khas dari Jogya itu sendiri.



Raja Baja dari India

: agus m. Irkham

Judul Rahasia Bisnis Orang Asia Terkaya di Dunia
Penulis Zia Permata Buana
Penerbit Hikmah (Kelompok MIZAN), Bandung
Cetakan I Juli 2007
Tebal x + 124 halaman


Entah, garis hidup seperti apa yang akan disapakan Tuhan pada Lakshmi Nivas Mittal, jika ia tak berhijrah ke Surabaya. Pria kelahiran Sadulpur, sebuah desa miskin, gersang, berpasir, dan hanya ditumbuhi pohon berduri, di wilayah distrik Churu, negara bagian Rajasthan, kawasan bagian barat India, 15 Juni 1950. Hidup dalam keluarga miskin dengan jumlah kerabat sampai 20 orang. Berjejal dalam satu rumah sederhana berlaintaikan tanah, tidur di atas anyaman tali, dan masak memakai kayu bakar.

Namun siapa sangka, setengah abad setelah kelahirannya, ia menetap di Kensington Palace Garden, kawasan super mewah di London. Menempati rumah seharga Rp1,2 triliun, bertetangga dengan Sultan Hasanah Bolkiah dari Brunei dan Raja Fahd dari Arab Saudi. Majalah Forbes menobatkannya sebagai orang terkaya ketiga sedunia, dengan kekayaan 25 miliar dollar AS, atau ekuivalen dengan Rp55,8 triliun. Hanya dua tingkat di bawah Bill ”Microsoft” Gates. Hingga ada yang menyebut Mittal: Bill Gates-nya India. Praktis Mittal menjadi orang paling kaya di Inggris, negara yang pernah menjajah ibu pertiwinya, India. ”Lakshmi Mittal mumukul telak negara-negara Barat.” Tulis majalah TIME dalam sebuah laporannya.

Kekayaan Mittal bukan lantaran memanfaatkan koneksi dalam pengertian negatif (nepotisme), atau warisan orangtua, tapi karena kerja keras tak mengenal lelah. Volume produksi Mittal Steel, perusahaan baja milik Mittal, mencapai 63 juta ton setahun. Artinya Mittal mengambil 20 persen dari total pasokan kebutuhan baja dunia. Menempatkan Mittal Steel pada peringkat teratas produsen baja terbesar sedunia.

Mittal menjejakkan kakinya di Surabaya untuk pertama kali pada 1976, saat berusia 26 tahun. Bersama istri dan putra pertamanya yang belum genap berumur setahun. Sebagai sarjana bisnis dan akuntansi dari kampus ternama di Kolkata, St. Xavier’s College, Mittal bisa saja melamar pekerjaan kantoran, mendirikan jasa keuangan, atau meniti karir sebagai profesional bidang akuntansi di sebuah perusahaan mapan. Tapi semua itu tidak ia pilih.

Mittal memilih membuka usaha pengolahan baja di Waru, pinggiran selatan Surabaya, yang sudah masuk wilayah Kabupaten Sidoarjo. Perusahaan pertamanya itu ia beri nama PT Ispat Indo. Kondisi awal lokasi Ispat Indo amat memprihatinkan. Kawasan itu belum dilewati angkutan umum. Jalanan ke sana sering tergenang air. Saking pelosoknya, orang menyebutnya sebagai ”tempat jin buang anak”.
Apa sebenarnya kunci keberhasilan Mittal? Dua hal yang paling menonjol adalah: pertama, kesetiaan pada satu bidang usaha: baja. Ia sangat paham tentang seluk beluk baja. Baik dari sisi teknis (pabrik) maupun dari segi hitung-hitungan ekonominya (industri).

”Saya tipe orang yang fokus pada bisnis besar,” kata Mittal dalam wawancara televisi pertamanya dengan New Delhi TV tahun 2004, ketika ditanya rencananya kembali berbisnis di India, apakah di bidang baja, atau di luar baja. Sebagai orang yang sangat fokus (”I’m very focused person”), dia memutuskan berkonsentrasi mengembangkan bisnis baja.

Kedua, menghormati karyawan. Nur Saidah, tergolong staf angkatan pertama yang direkrut Mittal pernah memberi kesaksian—seperti yang dilaporkan harian The Jakarta Post (3/4/2006)—”Lakshmi selalu memperlakukan saya dengan penuh respek, dia selalu memanggil saya dengan Mrs. Nur, tidak langsung menyebut nama.”

Bila sedang mengikuti pertemuan internasional bersama Mittal, Nur Saidah selalu diberi kehormatan duduk di samping Mittal. Bukan lantaran hanya seorang staf, maka disuruh duduk menjauh, atau kalaupun terdekat, ditaruh di belakang tempat duduk bos. Perlakuan Mittal dibalas oleh karyawannya dengan dedikasi dan loyalitas tinggi.

Dari pengakuan Nur Saidah tergambar pula apa kunci sukses Mittal merintis usaha pertamanya di Surabaya. ”Orang Jepang memiliki reputasi sebagai pekerja keras. Tapi dalam pengalaman saya, orang India bekerja lebih keras lagi,” kata Nur.

Mungkin tidak banyak orang Indonesia yang mengenal Lakshmi Mittal. Tetapi di kalangan pebisnis dunia, nama Mittal berarti harapan sekaligus ancaman. Dia menjadi harapan bagi sejumlah pemerintah yang gagal mengelola pabrik baja, namun juga memberi ancaman bagi pengusaha baja di Eropa, Jepang, dan di belahan negara lain karena kuatir dilibas ekspansi bisnis Mittal.

Secara lengkap buku ini mengisahkan tentang bagaimana Mittal berjuang keluar dari jurang kemiskinan hanya dengan berbekal tekad kuat, pendidikan, dan teknologi sekedarnya. Termasuk bagaimana ia pernah berulangkali mengalami kebangkrutan, tetapi kemudian melesat tajam menjadi orang Asia terkaya di dunia.

Lubang Hitam Sekolah Formal

Written By Agus M. Irkham on 13 Jan 2009 | 23:54

: agus m. irkham


Judul Dunia Tanpa Sekolah
Penulis M. Izza Ahsin
Penerbit Read! (Kelompok Mizan Bandung)
Cetakan I April 2007
Jumlah Hlm 248 halaman


Pendidikan seringkali menjadi jawaban, ketika ada pertanyaan: strategi apa yang akan kita gunakan dalam melakukan ijtihad perubahan? Lewat pendidikan suatu perubahan akan digagas. Tapi, bagaimana perubahan itu akan dimulai jika ternyata pendidikan itu sendiri menjadi sesuatu yang harus dirombak? Paling dekat adalah yang sedang berlangsung di negeri kita sendiri, Indonesia.

Beragam wacana deschooling (tanpa sekolah) mengemuka. Buah dari lentur lunturnya sekolah—dianggap sebagai satu-satunya institusi pendidikan—yang memunyai kesaktian mencerdaskan. Berbagai istilah mencuat ke permukaan: Sekolah Kapitalisme yang Licik; Sekolah itu Candu; Macdonalisasi Pendidikan; Sekolah Saja tidak Cukup, Emoh Sekolah, Orang Miskin dilarang Sekolah, Selamat Tinggal Sekolah, Pendidikan Kaum Tertindas, dan terakhir, resensi yang tengah Anda eja: Dunia Tanpa Sekolah.

Berbeda dengan buku-buku bertema deschooling sebelumnya—ditulis oleh mereka yang tergolong dewasa, tua, pakar pendidikan, berisi segala sesuatu yang bersifat konsep teoritik-akademik, menyajikan praktik home schooling sebagai sesuatu yang sudah jadi—buku ini ditulis oleh seorang anak usia 15 tahun, pelaku home schooling. Berisi rekaman jejak perjalanan dari awal mencecap bangku sekolah, proses penemuan kesadaran bahwa pembelajaran itu ternyata sepanjang hayat bukan hanya sembilan tahun. Dan gong-nya adalah berlarik-larik tulisan tentang kisah perdebatan penulisnya dengan kedua orangtuanya, ketika meminta izin untuk keluar dari sekolah formal.

Hampir saja bahtera keluarga itu rekah terbelah karena perdebatan yang tak kunjung berkesudahan. Semuanya ditulis dengan gaya personal. Memudahkan pembaca untuk masuk, terlibat, terbawa ke dalam segala bentuk kemarahan, kemasgulan, kenelangsaan, sekaligus keceriaan dan kegilaan yang didedahkan penulisnya. Seperti yang tertulis di lembar ke empat puluh delapan dan kaver belakang buku:

“Sindrom sekolah mengalir ke seluruh peredaran darah dan menekan otakku. Merampok kebahagiaanku. Aku semakin tidak betah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghacur mental. Guru yang mempermalukan murid di depan umum. Guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat mengajar, melainkan sebagai alat menghajar. Guru yang membuat kelas jadi sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif.”


Tentu saja keputusan Izza untuk keluar sekolah formal dan menciptakan sekolahnya sendiri menuai riuh rasa keberatan. Jelas tindakan itu tergolong melawan arus, subversif! Tentangan dan tantangan datang terutama dari dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon, sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa.

Muhammad Izza Ahsin Sidqi, penulis buku ini, lahir pada 9 Maret 1991 di Salatiga. Sebuah kota kecil yang sejuk dan nyaman. Ayahnya, Drs. Mahfud guru Madrasah Aliyah, yang juga menjadi salah satu pendiri sekolah plus di Salatiga. Ia tergolong guru ”pemberontak” yang tidak puas dengan sistem pendidikan saat ini. Mendalami konsep pendidikan yang membebaskan.

Sedangkan ibunya, Siti Badriyatul Ahyani dikenal sebagai guru Taman Kanak-Kanak yang cerdas. Seorang sarjana pendidikan yang berulang kali memenangi lomba guru berprestasi tingkat nasional. Bahkan pernah hadir sebagai salah satu guru terpilih di Istana Negara dan menyalami presiden saat itu (Ibu Megawati).

Perjuangan Izza keluar dari sekolah dimulai dari meminta persetujuan kedua orangtuanya yang tergolong ”tercerahkan” itu. Tapi rupanya revolusioner dalam berfikir ternyata bukan jaminan revolusioner pula dalam bertindak. Si ayah marah. Marah se-marah-marahnya. Marah yang telah melampaui batas kewajaran. Marah karena anak pertamanya ingin keluar dari sekolah. Padahal, Izza keluar dari lembaga yang baru saja ia prihatinkan dan ragukan bisa membawa setiap siswanya menuju keberhasilan hidup. Ironi!

Permintaan keluar dari sekolah formal dijawab dengan larangan berkeinginan tidak akan bersekolah formal. Dan diminta agar menjalani hidup layaknya air mengalir. Harapanya berhasil dalam sekolah sekaligus menulis. Menyatakan diri tidak mau sekolah sama saja dengan ingin menanggung malu. Orang akan menganggap sombong, nakal, dan tak tahu diri! Tentu saja wejangan itu mental membentur tembok tebal keyakinan Izza. “Peperangan” antara anak beranak itu berakhir dengan kata yang meluncur dari mulut ayahnya, menikam sisi sensitif emosi Izza: ”Kalau kamu tidak bisa, ya, pergi saja! Jangan pernah kembali ke rumah ini!” (hal 30).

Jawaban yang diterima dari Ibunya pun bak pinang tak berbelah. Hingga memampukan Izza tega menorehkan tulisan getir nan satir seperti ini:

”Lomba guru berprestasi merupakan wujud nyata dari kepandaian ibuku dalam memahami anak. Tetapi kenapa ibu tidak bisa mengerti keinginanku untuk keluar dari pendiidkan formal? Kenapa ibu menganggapku terlalu mengagungkan kemampuan menulis? Padahal, hal-hal seperti itu dianggap lazim dalam makalah-makalahnya. Apakah makalahnya itu dibuatnya tanpa pendalaman dan hanya memindahkan bahan-bahan dari buku-buku seperti Quantum, baik Learning maupun Teaching, Accelerated Learning, dan Delapan Kecerdasannya Howard Gardner, atau Humanisasi Pendidikan Freire yang biasa ibu praktikkan ke anak didiknya? Mengapa tidak langsung dipraktikkan kepada anaknya sendiri yang ingin belajar secara menyenangkan? (hal 36).

Keputusannya berhenti sekolah, tepat ketika ujian akhir kelulusan SMP hanya tinggal dua minggu, dan bercita-cita hanya menjadi penulis, menyebabkan ia dianggap sebagai remaja radikal, sekaligus aneh dan langka. Fenomenanya telah diliput beberapa surat kabar: Cempaka, Jawa Pos, Radar Semarang, Academia, Solo Pos, dan Seputar Indonesia. Buku yang telah selesai saya selami ini adalah buku pertamanya. Rencana berikutnya, dia telah memiliki proyek serial novel fantasi. Lewat keterangan ayahnya dalam pagina Tentang Penulis (hal 248), Izza berseloroh:

“Ketika teman-temanku lulus dari perguruan tinggi dengan membawa ijazah ke sana kemari untuk mencari pekerjaan, insya Allah aku sudah menyelesaikan karya terbesarku, tanpa haru susuah payah berhadapan dengan buku-buku yang tidak aku minati dan dosen-dosen yang tidak bermutu. Aku bahkan tidak perlu menghabiskan biaya berjuta-juta.”

Rahasia keberhasilan Izza ”memenangi” dialog nilai dengan kedua orangtuanya adalah gizi terbaik yang ditawarkan buku ini. Dan tentu saja nilai guna gizi itu dapat lebih Anda rasakan ketika Anda memamahnya langsung dari bukunya.

Darasan buku yang tengah Anda baca ini merupakan bagian pertama dari tiga buku seri Read, Write, dan Imagine. Tiga lema yang selama ini memberikan penulisnya kesempatan untuk belajar apa saja. Muara dari ketiga entry itu adalah: cita-cita untuk menyumbangkan hidupnya bagi kepentingan kemanusiaan.

Sedangkan jilid kedua dan ketiga, akan membahas proses penulisan Baru Usaha Pertama untuk Mengenal Diri serta hal-hal yang mengitarinya. Seperti home schooling hingga sekolah alternatif Qoryah Thoyyibah, Salatiga.

Menaklik Dunia Tanpa Sekolah, saya jadi teringat ucapan Sarwono Kusumaadmadja
ketika menjadi pembicara kunci di perhelatan Wold Book Day akhir April 2007 lalu: sekolah bisa membuat orang berhasil. Tapi juga bisa membuat orang ”terbunuh.”►

Ibadah, Sandaran Transformasi Sosial

: agus m. irkham

Judul Buku Psikologi Ibadah
Penulis Komaruddin Hidayat
Penerbit Serambi
Cetakan I 2008
Tebal Buku 156 Hlm

Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Namun tingkat korupsinya tinggi. Ironinya yang korupsi juga muslim. Padahal ia beribadah, ya puasa, sholat, haji, dan sebagainya. Sholat jalan terus, korupsi juga jalan terus. Ibadah yang ditunaikan tidak mampu menahannya untuk tidak melakukan kejahatan.

Bagaimana kenyataan itu dapat dijelaskan?

Ibadahnya yang salah atau pelakunya?
Komaruddin Hidayat kali ini melalui bukunya, Psikologi Ibadah, memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Sebab utama mengapa orang yang beribadah namun masih sanggup melakukan pelanggaran adalah karena memaknai ibadah, sholat misalnya hanya sebagai ritual teknis-mekanis belaka. Bukannya sebagai bagian dari metodologi proses untuk menggarap diri. Yang mestinya dimengerti, dipahami, direnungi. Menjadi sarana kontemplasi untuk kemudian dijadikan sandaran ketika melakukan transformasi sosial (hlm. 104).

Sholat wajib memang lima waktu, tapi sesungguhnya bisa seutuh waktu. Sejauh ia dapat melanggengkan nilai-nilai substansial yang terkandung di dalam sholat ke dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana, misalnya Anda berlaku santun, tidak sombong terhadap orang lain yang yatim, baik yatim ilmu, ekonomi, budaya, maupun peran sosial, maka sesungguhnya Anda tengah melakukan gerakan sholat, yaitu bersujud. Lainnya, ibadah haji misalnya. Ketika berhaji kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa ekspresi cintanya seorang hamba tehadap khaliknya sungguh beragam.

Gelaran kenyataan itu mengajarkan kepada pelaku haji agar bersifat inklusif terhadap saudaranya—sesama muslim. Inklusifisme beragama tidak berarti dengan mengurangi bobot dan keyakinan agama, melainkan justru memasuki esensi ajaran agama yang mengajarkan prinsip tauhid dan kemanusiaan (hlm. 134).
Beribadah haji adalah menjadi tamu Tuhan. Sebagaimana tamu, tentu harus mengikuti apa yang dimaui tuan rumah. Tamu tak punya kuasa untuk menentukan apa yang akan dimakan dan minum. Semuanya terserah tuan tumah. Termasuk level sikap perlakuan tuan rumah atas dirinya. Esensi bertamu adalah momen melepas kuasa atas diri, untuk kemudian mau menerima kuasa dan kehendak si tuan rumah.

Maka apapun yang menimpa kita saat berhaji, itu sejatinya bentuk penilaian Tuhan sebagai tuan rumah, kepada kita sebagai tamu. Tuhan tentu maha tahu ”hidangan” macam apa yang pantas disajikan kepada kita. Tak perlu mengeluh apalagi marah-marah. Jika kita tak ikhlas menjalani itu semua dengan rasa bahagia, berarti di rumah Tuhan pun, kita masih ingin menjadi tuan rumah (penguasa).

Jadi ibarat kacamata, buku psikologi ibadah ini akan memampukan pemakainya menemukan rahasia/hikmah di balik setiap pelaksanaan ibadah yang dikerjakan. Pada lebar ke-18, 38, dan 68 secara renyah, luas, namun tetap mendalam, buku ini juga mendedah tiga tahapan seorang mukmin dalam mendekat kepada Allah (ketika beribadah). Pertama, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah (ta’alluq). Kedua, secara sadar meneladani sifat-sifat—Nya (takhalluq). Ketiga, tumbuh menjadi pribadi yang memancarkan sifat-sifat—Nya yang mulia (tahaqquq) Melalui tiga tahapan itu seorang ahli ibadah (abidin) akan mampu mensintesakan: sifat kepasrahan kepada Allah/tauhid (Nabi Ibrahim as), kelembutan kepada makhluk (Nabi Isa as), dan semangat transformasi sosial (Nabi Musa as). Dan ikon tertinggi atas sintesa itu adalah rasul Muhammad saw.

Meskipun memakai judul psikologi, nampak benar kata itu hanya sekadar tempelan. Pamrih tempelan, dugaan saya, penerbit berharap nasib buku ini akan sama larisnya dengan buku Komaruddin sebelumnya, yaitu Psikologi Kematian. Berdasarkan pengakuan penulisnya kepada saya via layanan pesan pendek, sampai dengan Juni 2008 saja, Psikologi Kematian sudah cetak ulang 16 kali.

Nah, jika Anda sudah terlanjur membayangkan isi buku ini akan menggunakan ilmu psikologi yang bersifat teoritis-akademis sebagai pisau bedah guna memahami ibadah, maka segeralah Anda hapus bayangan itu. Kalau tidak, nanti Anda akan kecewa. Karena psikologi yang dimaksudkan buku ini lebih lebih kepada membangun suasana batin. Jadi semacam manajemen kalbu yang digunakan untuk memaknai ibadah.
Yang menarik buku ini memuat profil penulisnya secara lengkap. Tidak hanya data kerasnya saja yang disajikan tapi juga data lunak. Yaitu menyangkut pandangannya terhadap tradisi kesufian dan perkembangan gerakan tasawuf kota (urban sufism). Termasuk peranan dan wilayah sosial yang selama ini dijejaki. Tak kurang ada 15 halaman untuk menuliskan itu semua. Hingga ada kesan, penerbit hanya bertujuan menambah jumlah halaman, agar buku tidak terlalu tipis.

Tapi kalau dilihat dari sisi struktur baku buku yang ada selama ini, bolehlah apa yang dilakukan Serambi ini sebagai salah satu bentuk inovasi pemasaran. Dengan tujuan, pembaca lebih kenal dan dekat dengan penulisnya. Meyakinkan kepada pembacanya bahwa penulis buku ini memunyai tingkat kompetensi yang tinggi. Karena yakin, pembaca pun rela merogoh koceknya.►
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger