Home » » Ibadah, Sandaran Transformasi Sosial

Ibadah, Sandaran Transformasi Sosial

Written By Agus M. Irkham on 13 Jan 2009 | 23:46

: agus m. irkham

Judul Buku Psikologi Ibadah
Penulis Komaruddin Hidayat
Penerbit Serambi
Cetakan I 2008
Tebal Buku 156 Hlm

Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Namun tingkat korupsinya tinggi. Ironinya yang korupsi juga muslim. Padahal ia beribadah, ya puasa, sholat, haji, dan sebagainya. Sholat jalan terus, korupsi juga jalan terus. Ibadah yang ditunaikan tidak mampu menahannya untuk tidak melakukan kejahatan.

Bagaimana kenyataan itu dapat dijelaskan?

Ibadahnya yang salah atau pelakunya?
Komaruddin Hidayat kali ini melalui bukunya, Psikologi Ibadah, memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Sebab utama mengapa orang yang beribadah namun masih sanggup melakukan pelanggaran adalah karena memaknai ibadah, sholat misalnya hanya sebagai ritual teknis-mekanis belaka. Bukannya sebagai bagian dari metodologi proses untuk menggarap diri. Yang mestinya dimengerti, dipahami, direnungi. Menjadi sarana kontemplasi untuk kemudian dijadikan sandaran ketika melakukan transformasi sosial (hlm. 104).

Sholat wajib memang lima waktu, tapi sesungguhnya bisa seutuh waktu. Sejauh ia dapat melanggengkan nilai-nilai substansial yang terkandung di dalam sholat ke dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana, misalnya Anda berlaku santun, tidak sombong terhadap orang lain yang yatim, baik yatim ilmu, ekonomi, budaya, maupun peran sosial, maka sesungguhnya Anda tengah melakukan gerakan sholat, yaitu bersujud. Lainnya, ibadah haji misalnya. Ketika berhaji kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa ekspresi cintanya seorang hamba tehadap khaliknya sungguh beragam.

Gelaran kenyataan itu mengajarkan kepada pelaku haji agar bersifat inklusif terhadap saudaranya—sesama muslim. Inklusifisme beragama tidak berarti dengan mengurangi bobot dan keyakinan agama, melainkan justru memasuki esensi ajaran agama yang mengajarkan prinsip tauhid dan kemanusiaan (hlm. 134).
Beribadah haji adalah menjadi tamu Tuhan. Sebagaimana tamu, tentu harus mengikuti apa yang dimaui tuan rumah. Tamu tak punya kuasa untuk menentukan apa yang akan dimakan dan minum. Semuanya terserah tuan tumah. Termasuk level sikap perlakuan tuan rumah atas dirinya. Esensi bertamu adalah momen melepas kuasa atas diri, untuk kemudian mau menerima kuasa dan kehendak si tuan rumah.

Maka apapun yang menimpa kita saat berhaji, itu sejatinya bentuk penilaian Tuhan sebagai tuan rumah, kepada kita sebagai tamu. Tuhan tentu maha tahu ”hidangan” macam apa yang pantas disajikan kepada kita. Tak perlu mengeluh apalagi marah-marah. Jika kita tak ikhlas menjalani itu semua dengan rasa bahagia, berarti di rumah Tuhan pun, kita masih ingin menjadi tuan rumah (penguasa).

Jadi ibarat kacamata, buku psikologi ibadah ini akan memampukan pemakainya menemukan rahasia/hikmah di balik setiap pelaksanaan ibadah yang dikerjakan. Pada lebar ke-18, 38, dan 68 secara renyah, luas, namun tetap mendalam, buku ini juga mendedah tiga tahapan seorang mukmin dalam mendekat kepada Allah (ketika beribadah). Pertama, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah (ta’alluq). Kedua, secara sadar meneladani sifat-sifat—Nya (takhalluq). Ketiga, tumbuh menjadi pribadi yang memancarkan sifat-sifat—Nya yang mulia (tahaqquq) Melalui tiga tahapan itu seorang ahli ibadah (abidin) akan mampu mensintesakan: sifat kepasrahan kepada Allah/tauhid (Nabi Ibrahim as), kelembutan kepada makhluk (Nabi Isa as), dan semangat transformasi sosial (Nabi Musa as). Dan ikon tertinggi atas sintesa itu adalah rasul Muhammad saw.

Meskipun memakai judul psikologi, nampak benar kata itu hanya sekadar tempelan. Pamrih tempelan, dugaan saya, penerbit berharap nasib buku ini akan sama larisnya dengan buku Komaruddin sebelumnya, yaitu Psikologi Kematian. Berdasarkan pengakuan penulisnya kepada saya via layanan pesan pendek, sampai dengan Juni 2008 saja, Psikologi Kematian sudah cetak ulang 16 kali.

Nah, jika Anda sudah terlanjur membayangkan isi buku ini akan menggunakan ilmu psikologi yang bersifat teoritis-akademis sebagai pisau bedah guna memahami ibadah, maka segeralah Anda hapus bayangan itu. Kalau tidak, nanti Anda akan kecewa. Karena psikologi yang dimaksudkan buku ini lebih lebih kepada membangun suasana batin. Jadi semacam manajemen kalbu yang digunakan untuk memaknai ibadah.
Yang menarik buku ini memuat profil penulisnya secara lengkap. Tidak hanya data kerasnya saja yang disajikan tapi juga data lunak. Yaitu menyangkut pandangannya terhadap tradisi kesufian dan perkembangan gerakan tasawuf kota (urban sufism). Termasuk peranan dan wilayah sosial yang selama ini dijejaki. Tak kurang ada 15 halaman untuk menuliskan itu semua. Hingga ada kesan, penerbit hanya bertujuan menambah jumlah halaman, agar buku tidak terlalu tipis.

Tapi kalau dilihat dari sisi struktur baku buku yang ada selama ini, bolehlah apa yang dilakukan Serambi ini sebagai salah satu bentuk inovasi pemasaran. Dengan tujuan, pembaca lebih kenal dan dekat dengan penulisnya. Meyakinkan kepada pembacanya bahwa penulis buku ini memunyai tingkat kompetensi yang tinggi. Karena yakin, pembaca pun rela merogoh koceknya.►
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger