Update Artikel Terbaru
Showing posts with label HELATAN LITERASI. Show all posts
Showing posts with label HELATAN LITERASI. Show all posts

Melongok Minat Baca Warga Batang

Written By Agus M. Irkham on 10 Mar 2011 | 19:16



:: agus m. irkham

Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa tinggi minat baca warga suatu kota. Pertama melalui pameran buku dan kegiatan yang berkaitan dengan buku. Kedua melalui kondisi perpustakaannya. Terutama perpustakaan daerah (kota/kabupaten). Kondisi yang saya maksudkan, terutama adalah jumlah kunjungan per harinya.

Kebetulan saya tinggal di Gringsing, wilayah paling timur dari wilayah kabupaten Batang. Jika harus ke perpustakaan daerah, yang terletak di sebelah selatan kantor bupati—sekitar 2 km—berarti saya harus menempuh perjalanan kurang lebih 50 km. Dari ujung timur ke ujung barat Batang. Meskipun jauh di mata, tapi karena dekat di hati, beberapa kali saya sempatkan berkunjung ke perpustakaan. Tujuannya ada dua. Pertama bertamu ke pengelola perpustakaan. Saling bertukar informasi tentang perkembangan budaya baca, terutama pada warga kota Batang. Kedua, melihat sendiri, seberapa tinggi antusiasme masyarakat kota Batang terhadap aktivitas membaca/berkunjung ke perpustakaan.

Berdasarkan temuan saya, hasil beberapa kali berkunjung ke perpustakaan kabupaten Batang tersebut, secara umum dapat saya simpulkan, minat baca warga Batang, khususnya mereka yang tinggal di sekitar wilayah kota Batang, cukup tinggi. Mengapa saya katakan cukup tinggi, karena belum sampai pada kondisi yang sangat tinggi—misalnya ditandai dengan tingkat kesibukan pustakawan, dan pegawai perpustakaan yang luar biasa sibuk. Sampai kuwalahan, kekurangan tenaga guna melayani masyarakat.

Secara faktual, tingkat kunjungannya cukup menggembirakan. Tidak saja dari sisi kuantitas atau jumlah pengunjung yang rata-rata per hari tak kurang dari 100 orang, tapi juga kualitas kegiatan para pengunjung (pemustaka). Mereka tidak sekadar datang mengembalikan buku, pinjam lagi, terus pulang. Banyak di antara pengunjung yang bertahan lama, membaca di ruang baca. Apalagi jika dibandingkan dengan perpustakaan kabupaten lainnya, Kendal, Grobogan atau Magelang misalnya, ruang perpustakaan kabupaten Batang terhitung luas. Ada ruang bermain anak yang disediakan khusus, yang penuh dengan alat permainan eduktif. Ada juga ruang referensi, yang menjanjikan kenyamanan buat pengunjung yang sedang melakukan penelitian. Ruang bacanya pun luas, nyaman, tidak panas. Meskipun tidak ber-AC.

Hanya saya, ini menurut salah satu pustakawannya, penggunaan ruang-ruang tersebut belum sepenuhnya optimal. Satu contoh, ruang bermain anak. Ruang ini sebenarnya bisa digunakan untuk kelas pembelajaran tentang kepengasuhan (parenting) bagi orangtua. Yang dapat dihelat secara periodik atau rutin. Tapi karena ada beberapa kendala, ide-ide seperti itu belum bisa dilaksanakan. Termasuk misalnya paket-paket mini pelatihan untuk orangtua, misalnya seni melipat kertas (origami), atau teknik mendongeng, juga belum dapat dilakukan.

Meskipun begitu, secara umum ada harapan. Ada potensi, kalau di masa datang, perpustakaan Batang akan lebih berdaya.Varian layanan yang diberikan kepada masyarakat akan semakin beragam. Sehingga meningkatkan loyalitas pemustaka, yang pada akhirnya secara umum bisa menjadi sarana untuk menguatkan dan mengembangkan kampanye budaya baca di kabupaten Batang.
Selain perpustakaan, ukuran lain yang bisa dijadikan titik pijak simpulan terhadap seberapa tinggi minat baca suatu warga kota adalah dengan melihat antusiasme warga saat ada pameran buku. Ada dua kegiatan perbukuan yang pernah saya datangi. Dua kegiatan tersebut yang pertama adalah pameran buku. Dan yang kedua adalah Batang Book on The Street. Yang pertama disebut, bertempat di gedung persis sebelah barat perpustakaan Batang.

Kegiatan pameran buku di Batang, selalu menjadi even yang dinanti-nanti masyarakat. Demikian pengakuan salah satu pustakawan perpustakaan Batang kepada saya. Dan memang, pengakuan itu tidak berlebihan. Berdasarakan temuan saya menyaksikan pameran buku yang digelar pada akhir 2010 lalu, masyarakat Batang tumpah ruah di area pameran. Terutama saat acara pendamping berlangsung. Hanya saja, acara pendamping yang dimaksud, adalah adalah acara pendamping yang secara langsung tidak berkaitan dengan buku. Misalnya, festival dolanan bocah. Giliran acara pendamping yang menawarkan ilmu, pengetahuan, informasi, kesadaran, wacana—seperti bedah buku, dan peluncuran buku, jumlah pengujung yang hadir dapat dihitung dengan jari.

Kenyataan tersebut menjadi pekerjaan rumah tersendiri buat event organizer dan perpustakaan kabupaten Batang. Bagaimana meramu acara yang menawarkan keseriusan, tapi disajikan dengan tampilan yang menarik. Sehingga pengunjung merasa percaya diri untuk ikut bergabung mengikuti acara. Tidak memiliki jarak, baik psikologi maupun intelektual.

Lain pameran buku, lain pula Batang Book on The Street (terselenggara pada Agustus 2010 lalu). Semangat yang hendak dimunculkan dari program ini adalah mengkampanyekan aktivitas membaca buku secara terbuka, di ruang publik, dan secara ekstrovet. Sekaligus harapannya menjadi wacana sanding buat warga Batang, ternyata acara perbukuan itu tidak harus berlangsung di gedung tertutup, tapi bisa di luar gedung.

Kebetulan Batang Book on The Street berlangsung di sebelah selatan-barat alun-alun Kabupaten Batang. Acaranya pun beragam. Justru pameran buku hanya menjadi aksesoris (pendamping). Yang utama adalah acara-acara yang menekankan partisipasi pengunjung. Beberapa diantaranya adalah Aksi Dongeng Jalanan, Festival Mewarnai, lomba tebak jumlah buku, kuis berburu buku, dan lain-lain. Lantaran kegiatan yang ditawarkan sangat beragam, nan asyik, banyak warga Batang yang berduyun-duyun memadati acara tersebut.

Simpulan akhir saya atas temuan-temuan di atas: minat baca warga Batang, mulai meningkat. Kecenderungan ini harus terus dikembangkan. Sehingga kesadaran masyarakat akan pentingnya aktivitas membaca kian menembal. Harapannya, tidak sekadar berminat membaca, tapi aktvitas membaca berubah menjadi budaya. Membaca menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Semoga.

Sumber : Suara Merdeka, 25/2/2011 dengan judul Mengapresiasi Budaya Baca
Foto : Ilustrasi—Wien Muldian.

Sisa Arti Peluncuran The Art of Libary

Written By Agus M. Irkham on 24 Feb 2011 | 16:12



: agus m. irkham

Buku kini bukan lagi karya personal, tapi komunal, bahkan industrial. Guna menerbitkan satu judul buku saja, memerlukan campur tangan banyak pihak. Mulai dari pemeriksa aksara, penyunting, pembaca halaman proof, layouter, designer kover, hingga pekerja percetakan. Karena memerlukan campur tangan banyak pihak, tentu saja dalam proses pengerjaannya memerlukan komunikasi yang memadai antara penulis dengan pihak-pihak yang turut membantu itu.

Artinya sejak awal ketika seseorang memutuskan diri untuk menerbitkan buku, ia sudah siap untuk berinteraksi dengan pihak lain. Membuka diri untuk menerima beragam pendapat, usulan, dan ide dari orang lain. Dan semuanya dimaknai sebagai bentuk proses sinergi.

Tulisan, termasuk di dalamnya adalah buku, bukanlah semata-mata teks. Ia adalah anak rohani. Saat membaca tulisan sejatinya kita sedang mendalami kedirian penulisnya. Paradigma berfikirnya. Sikap laku hidupnya. Maka menjadi penulis adalah menjadi sosok yang igaliter, menyetara, friendly, open mind.

Andai seorang penulis itu adalah pustakawan, maka dapat saya simpulan ia seorang pustawakan yang “tercerahkan”. Selalu berusaha memberikan nilai tambah (value added) atas apa-apa yang telah dikerjakan. Menjadi sosok pertama yang hidupnya terinspirasi oleh buku. Dengan frase yang padat: Buku melangitkan ku.

Langit selain sebagai metafora dari cita-cita tinggi, ia juga bermakna berkesadaran Tuhan (transenden). Yang didalamnya terkandung niat dan kesadaran untuk memelihara, mengembangkan, dan memuliakan kehidupan (ego semesta). Menganggap pihak lain bukan sebagai lian (others) tapi pihak yang dihadirkan Tuhan untuk bersama-sama memakmuran kehidupan.

Di mana pun ia hadir, akan menjadi inspirasi bagi lingkungannya. Salah satu bukti terdekat adalah apa yang terjadi pada Selasa (22/2) lalu. Bertempat di ruang belajar UPT. Perpustakaan UNDIP, The Art of Library, buku anggitan Endang Fatmawati diluncurkan dan didiskusikan. Endang adalah koordinator (mungkin lebih tepat disebut sebagai Kepala) Perpustakaan FE Undip, Semarang.

Berdasarkan pengakuan Endang, ia belum sempat memberitahukan ke teman-teman, terutama Kepala UPT. Perpustakaan Undip, tentang kelahiran anak rohani pertamanya itu. Tapi tiba-tiba ditelpon untuk hadir dalam acara peluncuran. Tentu ini kabar menggembirakan. Keberhasilan Endang menelurkan buku mendapatkan respon yang melegakan dari teman-temannya, terutama di lingkungan perpustakaan Undip. Dan yang musti saya catat, panitia pelaksana, yaitu para pustakawan di UPT. Perpustakaan Undip berjibaku meng-create sendiri acara. Mulai dari pendanaan hingga teknis acara. Mereka bela-belain membuat proposal, masuk dari satu pintu satu ke pintu lembaga lainnya, institusi (bisnis) yang mau diajak kerjasama, mensponsori acara peluncuran buku.

Niatan lurus. Hati bersih. Energi positif selalu saja bisa memberikan dorongan orang lain dan lingkungan untuk berbuat kebaikan pula. Itu simpul saya saat ditelpon, diminta menjadi pembedah atau pembahas buku The Art of Library, sekitar satu bulan sebelum hari H.

Semangat para pustawakan yang hadir, tak kurang 40 peserta dari perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi di Semarang dapat saya baca pula sebagai bentuk keinginan mereka pula untuk bisa menulis dan menelurkan buku. Hampir seluruh peserta tidak berajak dari tempat duduknya, mengikuti sepenuh sesi acara. Dari pembukaan hingga penutupan.



Berdasarkan pengalaman saya yang sudah tidak berbilang menghadiri peluncuran buku, kenyataan ini sangat jarang saya temui. Biasanya peserta betah mengikuti acara yang menawarkan keseriusan ini kalau yang datang sebagai penulis dan pembicara adalah artis atau sosialita dari ibukota. Kalau hanya “orang biasa-biasa”, kebanyakan para mereka yang datang tidak dengan segenap semangat. Dan sangat longgar. Mereka dengan enteng saja meninggalkan acara meskipun, baru dalam hitungan menit acara berjalan.

Semangat dan optimisme masa depan pustakawan dan perpustakaan (perguruan tinggi) juga saya dapatkan dari lontaran-lontaran pertanyaan saat sesi diskusi (sharing). Mulai dari yang mempertanyakan proses kreatif penulisan, mengapa kumpulan esai, bukannya buku utuh, hingga masukan untuk melengkapi kekurangan buku The Art of Library yang dalam pandangan saya, justru bisa menjadi ide menulis buku utuh tersendiri.

Termasuk obrolan saya dengan salah satu pustawawan (panitia, Ibu Yuven) sebelum acara berlangsung. Saya bercerita soal pergeseran ruang kelas untuk belajar menulis. Yang semula kelas fisik (offline) menjadi kelas maya (online)—salah satunya melalui situs jejaring sosial Facebook—dan justru hasilnya sangat efektif. Karena peserta dituntut untuk aktif. Efektifitas pelatihan sepenuhnya ditentukan oleh peserta.

Semakin dinamis, heboh, ramai, ”meledak” suatu kelas, semakin banyak pula kemanfaatan dan informasi yang dapat diserap. Tidah hanya oleh para siswa (peserta pelatihan), tapi juga si pelatih (guru/instruktur literasi). Apa pasal? Karena internet memiliki sifat intekoneksitas. Semua boleh beriur rembuk. Semua yang terlibat adalah pemilik ”otoritas” kebenaran. Sehingga semua boleh berpendapat, dan mengeluarkan ”fatwa” (desentralisasi pengetahuan).

Belajar menulis melalui internet atau online menjadi wujud paling efektif dari apa yang disebut learning by doing. Salah satu yang saya sarankan ke siswa-siswa saya, saat memberi komentar, atau update status di wall kelas (groups) adalah jangan pernah menulis kata dengan disingkat-singkat. Misalnya saya menjadi sy; harus menjadi hrs. Kamu menjadi km. Dan yang sejenis dengan itu.

Saya juga menekankan pada mereka untuk tidak asal memberi komentar. Komentar pun harus ditulis dengan ejaan/huruf yang benar dan kalimat yang tegas tidak nggantung—misalnya dengan mengetik banyak tanda titik di akhir kalimat. Manfaatnya ada dua, kebiasaan (habit) ini akan memudahkan mereka saat betul-betul sedang menulis satu bentuk tulisan utuh. Tingkat akurasi hurufnya tinggi. Manfaat berikutnya berupa kelapangan dalam berfikir, dan tuntas dalam mengerjakan segala sesuatu. Jadi menulis dengan tidak disingkat-singkat itu ada makna filosofisnya. Mendengar cerita saya tersebut, pustakawan Undip yang sahabat saya pula ini tertarik. Mudah-mudahan kesadaran itu linear dengan keberanian untuk menempuhnya.



Sebagai penutup catatan ini saya akan sedikit bercerita. Suatu waktu saya ditanya oleh seorang ibu muda. Begini pertanyaannya :

Selama ini sebenarnya saya sangat senang dengan hal-hal yang berkaitan tema pareting. Mimpi saya, suatu hari nanti saya ingin bisa menulis buku-buku parenting. Tapi apa kompetensi saya ada di situ ya? Modal saya ya karena saya ibu rumah tangga (dan melihat kemirisan pola pendidikan anak di sekitar saya). Kalau mengingat latar belakang pendidikan, ya barangkali yang bisa saya lakukan adalah mengaitkannya dengan agama dan komunikasi (karena saat ini saya juga sedang s2 komunikasi).

Jadi apa bisa saya masuk ke situ? Atau diterima sebagai orang yang berkompeten di bidang itu? Tapi di sisi lain, saya juga takut Kaburo Maqtan. Saya takut berbicara tentang “Bagaimana mendidik anak yang baik bla…bla..” padahal saya juga belum tentu sebaik itu. Toh hasilnya belum kelihatan. Anak saya masih 4 tahun dan masih dalam proses pemupukan. Ah dilematis memang?

Tegasnya, pertanyaan saya :
1. Bisakah saya memasuki bidang parenting?
2. Bagaimana saya harus menyikapi perasaan takut kaburo maqtan dalam setiap hal yang saya tulis?


Dan ini jawaban saya:
Parenting berarti tentang kepengasuhan. Kalau kita mau sederhanakan lagi, yaitu tentang bagaimana mengasuh anak. Di indonesia pengasuhan anak, lazimnya yang paling punya kontribusi besar adalah kaum ibu. Tapi coba Anda ke toko buku. Berderet buku parenting justru ditulis oleh kaum bapak, yang notebene-nya mereka lebih banyak berkiprah di dunia publik. Tidak begitu lekat berinteraksinya dengan anak-anak. Mereka orang-orang sibuk semua. ada Fauzil Adzim, Kak Seto, Wahyudin, dan sebagainya. Bukankah mustinya mereka tidak punya hak untuk menulis tema itu? Artinya jauh lebih punya hak kaum ibu buat menulis tema parenting.

Persoalannya ternyata bukan pada expert atau tidak expert tapi kesadaran untuk berbagi atas pengalaman yang sedikit itu. Dan kalau diruntut-runtut, sebenarnya dari mana sih, kesadaran itu datang? Dari Allah bukan? Dan kalau yang datang dari Allah tidak ada istilah kecil, atau sedikit. Mereka syukuri kesadaran itu. Caranya? Dengan berbagi, dituliskan dalam bentuk kolom, esai, atau buku.

Jadi expert itu bukan sesuatu yang sudah selesai, tapi berperjalanan. Dan yang menilainya bukan kita. Tapi orang lain. Tugas kita hanya berproses. Berjalan. Melangkah. Lebih baik. Lebih baik. Begitu seterusnya. Dan jangan salah, salah satu pakar parenting di Indonesia, Fauzil adhim, keenam anaknya masil kecil-kecil lho. Toh beliau tidak pernah terserang penyakit kaburo maqtan itu. Setting diri saat menulis seperti ini. Tiap kesadaran dan sumber ilmu pasti datangnya dari Allah. Saat menuliskannya, hakikat sekadar juru ketiknya Allah. Dan itu juga diniatkan bagian dari menyampaikan amar Allah (dakwah).

Tiap diri itu unik, khas, dan beda. Dan tulisan hakikatnya adalah representasi dari ketiga itu. Wujud luar dari paradigma (cara berfikir) penulisnya tentang hidup dan kehidupan. Oleh karenanya tiap diri pasti beda. Itu sebab, buku parenting banyak jenisnya. Ditulis oleh banyak penulis pula. Tapi toh semuanya laku dan dibaca. Mengapa? Karena yang dibeli bukan teks atau ahli/tidak ahli tapi paradigma atau nilai-nilai hidup yang dipunyai dan ditawarkan penulisnya.

Jadi jawaban pendek saya atas dua pertanyaan di atas adalah:
1. Sangat bisa!
2. Sekadar menjalankan amarnya Allah dan bagian dari syukur.

Kaitannya dengan The Art of Libray, ia tak lebih dari ungkapan rasa syukur penulisnya, Endang Fatmawati atas karunia piranti (otak untuk berfikir, hati untuk merasa, fisik untuk bekerja) yang telah diberikan Tuhan secara limpah (given, gratis). Karena syukur adalah upaya untuk melaksanakan amar Tuhan yang berada di balik setiap amanahnya. Mencari dan menemukan rahasia perintah Tuhan di balik setiap ciptaannya. Itu saja.

Minat Baca Warga Kendal

Written By Agus M. Irkham on 1 Aug 2010 | 02:33



: agus m irkham

Pertengahan Juni lalu, saya dan kawan-kawan di Kendal menggelar acara perbukuan bertajuk Kendal Book on The Street. Sesuai namanya, acara ini bertujuan mengampanyekan aktivitas membaca di ruang publik. Tempat yang kami pilih adalah sisi timur-selatan alun-alun Kendal. Terletak persis di sebelah komplek kantor kabupaten Kendal. Sasaran program ini adalah para orangtua dan anak-anak. Karena satu-satunya pihak yang paling berkewajiban mengenalkan buku dan aktivitas membaca kepada anak-anak adalah para orangtua. Kebiasaan membaca yang dilakukan kedua orangtua akan menjadi model kampanye baca yang efektif buat anak-anak. Karena anak-anak biasa cenderung meniru apa-apa yang dilakukan orang dewasa, terutama kedua orangtuanya.

Selain itu tentu saja ada berderet pamrih yang hendak kami raih. Beberapa diantaranya sebagai ajang mempromosikan kegiatan membaca buku pada masyarakat Kendal. Sarana menjalin keakraban antara anak dan orangtua, dengan buku sebagai media atau sarananya. Mempopulerkan aktivitas membaca di Kota Kendal melalui kegiatan di ruang publik yang menggembirakan. Menumbuhkan minat membaca, diskusi, cinta kehidupan dan ilmu pengetahuan. Meningkatkan derajat kebutuhan masyarakat akan pustaka (buku). Mencerdaskan dan menerbitkan pencerahan kepada khalayak, khususnya para orangtua, di Kota Kendal. Serta mensinergikan program antara pihak-pihak yang berperan (stakeholders) dalam upaya meningkatkan budaya baca masyarakat Kendal.

Berderet pamrih itu, kami dekati dengan menawarkan beragam menu acara yang bersifat partisipatif, menyenangkan sekaligus memuat unsur edukasi juga. Misalnya kuis tebak jumlah buku, lomba berburu buku (menjawab pertanyaan yang jawabannya bisa ditemukan di buku yang dipamerkan), saatnya ayang mendongeng, workshop origami (seni melipat kertas dari Jepang), parade mewarnai gambar, hingga klinik perpustakaan.

Untuk terakhir yang disebut, secara khusus Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Kendal menghadirkan mobil baca sekaligus beberapa pustakawan sebagai ”dokter”. Para peserta yang hadir bisa mengonsultasikan kesulitan dan meminta tips dan tahapan ketika akan membuat perpustakaan keluarga (home library).

Secara umum, acara berlangsung sukses. Hanya saja, dari segi jumlah pengunjung, berada di bawah perkiraan. Tapi saya kira—kalau boleh berapologi—yang demikian adalah sesuatu yang lumrah. Mengingat acara Kendal Book on The Street ini adalah kali pertama dihelat di wilayah kabupaten Kendal. Kami menempatkan acara ini sebagai ayunan langkah pertama dari seribu jangkah yang disebut sebagai Kendal Membaca dan Menulis. Yaitu terbentuknya masyarakat Kendal yang memiliki budaya baca dan tulis yang tinggi.

Ada beberapa catatan yang dapat saya bubuhkan, begitu Kendal Book on The Street usai. Pertama, rupa-rupanya di (kota) Kendal telah tumbuh kelas/golongan menengah. Baik dari segi pendidikan maupun ekonomi. Asnad yang dapat saya ajukan adalah berupa angka pembelian buku. Meskipun para orangtua yang datang tidak sampai 200 orang, tapi mayoritas mereka membeli buku-buku yang dipamerkan. Tepatnya memborong, karena rerata buku yang dibeli lebih dari 3 eksemplar.

Artinya dilihat dari segi masadepan pertumbuhan kemanusiaan masyarakat Kendal, bolehlah kami terburu-buru mengatakan ada harapan baik. Mengingat di mana-mana perubahan sosial (perbaikan kualitas kehidupan masyarakat jamak) mayoritas digerakkan oleh kelas menengah. Tentu dengan asumsi, anak-anak dari keluarga kelas kelas menengah yang gemar membaca buku ini bakal tumbuh menjadi pribadi yang berkesadaran dan memiliki keberpihakan (sensitif) terhadap persoalan-persoalan khalayak.

Kedua, acara perbukuan, kampanye minat baca, haruslah dikemas secara menarik sekaligus melibatkan audiens. Pengunjung/peserta tidak bisa lagi ditempatkan hanya sebagai objek. Mereka harus dilibatkan dalam acara, mulai awal hingga akhir. Sehingga ada proses transformasi kesadaran bahwa acara tersebut bukan milik panitia, tapi milik mereka. Mereka tampil menjadi subjek (pelaku). Salah satu kunci kemasan yang menarik adalah dengan menindih ikon aktivitas budaya pop: bermain, bersenang-senang, sekaligus ada unsur pemelajarannya. Banyak aksi, tapi dengan tetap memperhatikan substansi.

Ketiga, sudah saatnya para stakeholder (toko buku, penerbit, pekerja buku, penulis, pemerintah, perpustakaan pemerintah, forum Taman Bacaan Masyarakat)
dan shareholders (komunitas “nonbuku”, media massa/pers, jurnalis, lembaga pendidikan, perusahaan, keluarga pecinta buku, dan budaya masyarakat)
budaya baca di Kendal unjuk gigi ke publik luas. Unjuk gigi itu dapat ditempatkan sebagai momentum gerakan masif program Kendal Membaca (dan Menulis). Selama ini aktivitas yang sering menyedot perhatian publik Kendal adalah olahraga dan musik. Tidak saja karena keduanya memang dari sononya sudah terkenal, tapi juga karena ditawarkan, dipromosikan dan digelar secara besar-besaran.

Agaknya hal yang sama harus dilakukan pula—untuk mengampanyekan pentingnya aktivitas membaca dan menulis di Kendal. Tanpa itu masifikasi gerakan membaca di Kendal layaknya menjual es di kutub utara sana. Sulit!
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger