Update Artikel Terbaru
Showing posts with label RESENSI BUKU. Show all posts
Showing posts with label RESENSI BUKU. Show all posts

Himpunan Peta Literasi Indonesia

Written By Agus M. Irkham on 22 Feb 2011 | 10:58



:: Lulu

Buku ini saya temukan terselip di tumpukan buku salah satu stand Islamic Book Fair awal Maret lalu. Bukunya tipis, tidak sampai 200 halaman, dengan warna sampul yang cukup mencolok—merah, biru, kuning. Judulnya cukup menantang, "Best Seller Sejak Cetakan Pertama". Saya jadi tergugah dan menariknya dari tumpukan buku. Terus terang, saya ingin tahu tentang seluk-beluk penerbit, mengingat pekerjaan saya sebagai penerjemah bersinggungan dengannya.

Saya buka halaman demi halaman. Buku ini terdiri atas tiga bagian, dengan setiap bagian menampung sejumlah artikel. Bagian pertama, “Dunia kecil yang begitu indah,” bercerita tentang penerbitan dari pengalaman pribadi penulis. Judul artikel terdepan sama dengan judul buku ini. Dalam artikel itu, penulis menyampaikan bagaimana beberapa penerbit tidak lagi membubuhkan “best seller” pada buku yang sukses terjual setelah dicetak sekian eksemplar. Namun, cap ini sudah ditambahkan sejak cetakan pertama sebuah buku, dan dianggap sebagai doa, yang terkabul atau tidak urusan nanti. Intinya, taktik best seller sejak cetakan pertama ini jangan dilihat sebagai bentuk kebohongan penerbit kepada pembaca. Hmm, artikel yang cukup menantang, walau cukup membuat saya mengernyitkan dahi.

Artikel-artikel berikutnya tidak sekonfrontatif artikel tadi. Malah, banyak yang membuat saya tersentuh. Penulis memaparkan dunia penerbit dari pengalaman pribadinya, mengenai posisi endorsement pada sebuah buku, mengenai buku yang dikemas dalam bentuk komik untuk menyikapi semakin sedikitnya waktu membaca orang-orang, mengenai buku skill writing yang banyak beredar sekarang, hingga tentang self-publisher yang didasari pengalaman pribadi penulis.

Bagian kedua, “Mata baru komunitas literasi,” berisi sejumlah artikel tentang komunitas atau sosok yang berhubungan erat dengan dunia buku. Seperti Mbah Dauzan Farook, penggiat perpustakaan keliling di daerah Kauman, Yogyakarta. Atau komunitas Klub Pencinta Perpustakaan SMAN 49 Jakarta yang mengubah citra perpustakaan sebagai tempat yang kuper dan terpencil menjadi ajang berkumpul dan mengasah diri, bahkan dalam perkembangannya diubah menjadi kegiatan ekstrakurikuler. Salah satu yang memikat saya adalah Kelompok Kartunis Kaliwungu (Kokkang), sekelompok kartunis dengan markas nomaden dan kadang menumpang di rumah salah satu anggota, namun mampu mengukir prestasi di tingkat internasional.

Bagian terakhir, “Bahaya bangsa tanpa minat baca.” Sesuai dengan judulnya, penulis menyampaikan opininya tentang generasi sekarang yang lebih akrab dengan televisi, tentang budaya membaca yang semestinya diperkenalkan sejak dini, dan yang menarik, tentang perpustakaan dan gaya hidup, terutama perpustakaan sekolah yang dikatakan penulis “hidup segan mati tak mau.”

Seperti salah satu tulisan di dalamnya, “Buku yang bukan buku,” tentang buku sebagai kumpulan artikel, buku ini sendiri punya ciri yang persis sama. Kelihatannya penulis hanya mengumpulkan beberapa artikel yang pernah ditulisnya untuk disatukan ke dalam buku ini. Namun, buat saya pribadi yang tidak terlalu paham dunia penerbitan, buku ini cukup asyik. Ibarat orang yang ingin belajar catur, saya langsung diberikan papan catur dan bidaknya, alih-alih buku teori tentang catur. Membaca apa yang dialami orang lain buat saya lebih menyenangkan daripada disuguhi teori berbab-bab mengenai dunia penerbitan. Mungkin tidak berlebihan jika buku ini disebut “tambang emas,” sebagaimana yang tercantum pada endorsement di sampul depan. Sebuah tambang emas yang terselip di antara tumpukan buku-buku.

*) Judul tulisan ini, diberikan oleh saya Agus M. Irkham
--Dikronik dari http://www.goodreads.com/book/show/3657306.Bestseller_Sejak_Cetakan_Pertama--

Menggenapi Nama Allah yang Keseratus

Written By Agus M. Irkham on 9 Feb 2011 | 16:21



:: agus m. rkham

Judul Buku : Mencari Nama Allah yang Keseratus
Penulis : Muhammad Zuhri
Penerbit : Serambi Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2007
Tebal : 215 halaman

Syarat pertama untuk menjadi muslim adalah mengucapkan kalimat syahadat. Momen meniadakan yang lain dan mengukuhkan yang satu, ialah Allah. Namun deklarasi itu belum final sampai dengan ia berhasil mengejawantahkan keyakinan ketuhanannya dengan perilaku keseharian. Hadir tidak sebagai anak struktur (akibat) tapi makhluk sejarah (sebab). Ia mampu memosisikan diri sebagai bukti keberadaan Tuhan. Bukti hadirnya kuasa kemanajerialan—Nya. Melalui sarana apa? Melalui 99 nama yang digunakan Tuhan untuk mencipta, memelihara, dan mengembangkan semesta sampai mencapai kebulatan yang nyaris sempurna. Dengan 99 nama Tuhan, ia menggarap diri, berupaya mengenapinya menjadi bilangan sempurna, 100.

Bila di dalam mencari nama Allah yang keseratus kita bersikap seperti mencari informasi keilmuan, atau menempuh cara-cara jalan kerahiban maka dapat dipastikan kita akan gagal memerolehnya. Karena sebenarnya nama yang kita cari itu bukanlah sebuah objek di luar diri kita, melainkan subjek pencari itu sendiri.

Lantas apa wujud aktualnya? Mengupayakan kesembuhan bagi yang sakit, membimbing yang jumud, menyantuni yang dhuafa, melindungi yang teraniaya, menjadi mata buat yang buta. Menjadi penerang buat yang gelap. Dengan begitu, kita telah dipakai Tuhan sebagai saksi bahwa Tuhan itu ada. Jika tidak, maka berdosalah kita. Sebab setiap orang yang sedang menderita sakit, lapar, atau teraniaya pasti berharap, berdoa, dan jika harapannya tidak terlaksana, bisa jadi dia pun bersyak wasangka:

”Tuhan ini ada apa tidak? Saya merintih, meminta, tapi Dia tidak mengutus siapapun dari hamba-hamba—Nya untuk menyelamatkan saya.” Saya sudah memohon kepada—Nya ribuan kali, tapi Dia tidak menjawab. Apakah doa-doa saya tidak didengar Tuhan ataukah memang Tuhan itu tidak ada?”. (hal. 30)

Alangkah malangnya kita, bukannya menjadi agen Allah untuk terbitnya matahari kesadaran menghamba, sebaliknya justru menjadi kontributor tumbuhnya sifat iblis (kesombongan) dan syetan (serakah) dalam diri manusia. Hingga tanpa sadar, kita termasuk ke dalam golongan yang diperingatkan Al-Quran. “Mereka memunyai hati yang tidak digunakan untuk mengerti. Mereka memunyai mata yang tidak digunakan untuk melihat. Mereka memunyai telinga yang tidak digunakan untuk mendengar. Seperti binatang-lah mereka, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Golongan seperti itu oleh Pak Muh, penulis buku ini dikatakan: meskipun mereka masih dapat melangsungkan hidup secara fisikal, namun sebagai manusia sebenarnya mereka itu telah mati. Karena ruang yang dijelajahinya tinggal ruang yang bersifat fisikal. Sedang ruang gerak dan bertumbuhnya umat manusia adalah tanggung jawab.

Demikianlah peran diri kita diciptakan Tuhan di muka bumi ini, tidak lain untuk menyempurnakan struktur ciptaan—Nya yang kondisinya nyaris sempurna (diibaratkan angka 99), dan kita berkewajiban menyelesaikannya (menggenapinya menjadi 100). Kita mesti menerjunkan diri membantu mereka keluar dari penderitaan, turun ke bawah sebagaimana sifat air yang senantiasa turun ke bawah menyuburkan tanah dan menghidupi tanaman. Selebihnya , ia akan mengalir menuju ke samudra menciptakan sebuah keagungan.

Pustakawan 2.0: Gaul, Trendi, dan Ahli

Written By Agus M. Irkham on 4 Dec 2010 | 06:11



:: agus m. irkham

Ada anomali! Ketika pemerintah menyatakan angka melek aksara lebih dari 90 persen, pada saat yang sama minat masyarakat berkunjung ke perpustakaan masih rendah. Berdasarkan hasil jajak pendapat tentang minat baca yang pernah dilakukan Kompas (14/2/2009) dari total responden yang dicuplik secara sistematis di beberapa kota besar seperti Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal: 75,5 persen mengaku tidak pernah berkunjung ke perpustakaan dalam sebulan terakhir.

Rendahnya intensitas kunjungan ke perpustakaan tersebut bisa menjadi ukuran rendahnya pula tingkat minat baca. Mengapa perpustakaan? Karena di tempat inilah para pendaras buku berkumpul. Mereka pergi ke perpustakaan dengan sengaja, bukannya iseng. Ramainya jumlah pengujung dapat dibaca sebagai tingginya minat baca. Sebaliknya jika jumlah pengunjung dan peminjam buku bisa dihitung dengan jari, maka itu artinya minat baca masyarakat masih rendah.

Pertanyaannya, faktor-faktor apakah yang membuat orang enggan datang ke perpustakaan? Benarkah semata-mata karena memang tidak mempunyai minat baca? Atau karena faktor lain? Misalnya karena akses ke lokasi yang sulit, kenyamanan ruang baca, sikap para staf/pustakawannya, varian layanan yang diberikan, serta sistem sirkulasi (meminjam dan mengembalikan) yang tidak memudahkan.

Dari beberapa temuan di lapangan, keengganan datang ke perpustakaan (terutama perpustakaan daerah/milik pemerintah) ternyata lebih banyak disebabkan oleh sikap para staf dan pustakawannya yang kurang bersahabat. Rata-rata mereka bermuka masam, jutek, saat melayani pengunjung tidak menunjukkan antusiasme yang tinggi, cenderung malas-malasan, dan sesama staf sering terlihat menggerombol di pojok ruang—ngrumpi. Sudah begitu ketika ditanya tentang suatu buku yang hendak dicari/dibutuhkan, jawaban yang seringkali muncul: silahkan cari sendiri!

Tentu saja sikap demikian sangat tidak menguntungkan bagi upaya mengkampanyekan kegemaran membaca. Pustakawan sebagai orang yang senantiasa berlekatan dengan media baca, seperti buku dan media teks lainnya justru menampakkan diri sebagai pribadi yang tidak menyenangkan. Sebuah promosi negatif, jika tidak mau disebut menggembosi ikhtiar menggenjot minat baca masyarakat.

Ibarat perusahaan, buku adalah produk yang akan dijual, dan pustakawan menjadi pemasarnya (marketers). Dalam proses memasarkan itu, pembawaan diri, sikap, perilaku (attitude) para marketers menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan. Oleh karenanya membangun kompetensi perilaku atau sikap (behaviour competence) bagi tiap-tiap pustakawan, dalam konteks mengefektifkan perpustakaan sebagai pusat gerai adab sekaligus untuk menghilangkan anomali melek aksara, menjadi sangat penting.
Lebih-lebih di tahun-tahun mendatang. Tahun di mana bakal terjadi perubahan besar-besaran menyangkut pergeseran sistem simpan dan temu-kembali, yang semula manual (katalog, koleksi, dan pelayanan berbasis atom/kertas) berubah menjadi digital, otomasi—berbasis image, byte, sistem komputer— library 2.0.

***

Library 2.0 (perpustakaan generasi kedua) mensyaratkan adanya pustakawan yang gaul, trendi, sekaligus ahli. Gaul mempunyai pengertian bahwa seorang pustakawan harus lincah berinteraksi dan berkomunikasi tidak saja dengan pemustaka tapi juga pihak-pihak yang berkepentingan, berkaitan, dan berurusan dengan perpustakaan. Atau lebih tepat disebut sebagai pihak yang berkaitan dengan kampanye peningkatan budaya baca. Misalnya jurnalis, penerbit, toko buku, penulis, klub (pembaca) buku, komunitas literasi, dan media massa. Baik cetak maupun elektronik.

Ia mampu memposisikan diri sebagai jembatan atau penghubung atas berbagai macam bentuk kepentingan antar stakeholders dan shareholders budaya baca. Karena yang sudah-sudah, misalnya penerbit ketika ingin masuk ke perpustakaan, taruhlah perpustakaan daerah (kabupaten/kota) dengan menawarkan program pameran buku kerap menghadapi kesulitan karena tidak ada orang perpustakaan yang berani “pasang badan”. Padahal dalam acara pameran buku itu diadakan pula acara pengiring, seperti bedah buku, jumpa penulis, hingga pelatihan menulis.

Namun karena respon yang diharapkan muncul dari perpustakaan tidak sebesar harapan penerbit, acara yang ditawarkan tersebut menemui kegagalan. Selama ini kegagalan penawaran bentuk kerjasama itu biasaanya karena persoalan dana, dan keterbatasan sumber daya manusia. Padahal kalau mau ditelisik lebih jauh, yang demikian bukanlah sebab, tapi akibat. Akibat dari sikap tertutup dan tidak percaya diri terhadap tawaran kerjasama yang diulurkan dari pihak luar/penerbit.

Maka kebutuhan seorang pustakawan yang gaul dan mempunyai sikap hidup dan pola pikir yang terbuka menjadi penting. Ia akan terus berupaya menambah jejaring, sehingga perpustakaan bisa benar-benar hidup, dan semakin dicintai oleh publik pengguna atau masyarakat pemustaka.

Sikap gaul ini juga bisa memunculkan ikatan emosional yang kuat antara pengunjung dengan pustakawan. Sehingga segala bentuk sikap dan gaya pustakawan berada dalam satu tarikan nafas dengan upaya untuk memasarkan perpustakaan tempat ia bekerja.

Gaul ini juga menyangkut pemanfaatan teknologi. Apalagi di jaman ini, di mana internet semakin tumbuh dan berkembang. Pustakawan harus menjadi orang pertama yang tercerahkan melalui yang ia baca. Pustakawan harus memiliki akun sendiri di situs jejaring sosial, menjadi bagian dari ”jamaah facebookiyah”, mejeng di friendster, juga jika memiliki video yang bagus, tentu yang berkaitan dengan program budaya baca bisa ia unggah ke youtube.

Di situs jejaring sosial tersebut pustawakan bisa berkomunikasi dengan pemustaka secara pribadi, tanpa harus disertai dengan perasaan pekewuh (sungkan) layaknya saat bertemu di kantor. Di situlah seorang pustakawan bisa melampiaskan ”bakat narsis”nya.

Gaul melalui situs jejaring sosial, bisa digunakan pustakawan untuk menginformasikan buku-buku terbaru koleksi perpustakaan, jadwal acara perbukuan, hingga menjadi cara ia ”mengedukasi” publik untuk misalnya bagaimana melakukan katalogisasi buku, baik secara manual maupun elektronik (otomasi). Termasuk misalnya menjadi konsultan bagi keluarga atau pribadi yang ingin mendirikan perpustakaan keluarga, dan taman baca.

Selain aktif di situs jejaring sosial, seorang pustakawan 2.0 wajib hukumnya memiliki website pribadi, minimal blog. Di situ bisa menjadi ajang bagi pustakawan untuk menuliskan catatan-catatan (tidak) penting berkaitan dengan pekerjaannya maupun pengalaman keseharian. Lebih baik lagi jika diisi dengan tulisan atau content yang spesifik. Blog dan website bisa menjadi bukti transformasi diri yang terjadi pada diri pustakawan, dari yang sebelumnya hanya seorang pembaca, bergeser menjadi seorang penulis. Meskipun baru menjadi penulis blog. Menulis di blog juga menjadi cara paling baik untuk menerapkan doktrin manajemen modern: tulis apa Anda dikerjakan, kerjakan apa yang Anda tulis!

***
Pengertian trendi dalam makna yang paling dasar adalah menyangkut penampilan dan cara berpakaian. Selama ini pustakawan memakai seragam atau uniform yang sama, yaitu lazimnya seragam PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sehingga terlihat sangat resmi, menjadikan kesan birokratisnya menjadi sangat kental. Seorang pustakawan di tahun-tahun semua serba ”cair” hendaknya menggunakan ”seragam” yang tidak formal. Kalau tidak selama sepekan penuh, minimal seminggu sekali. Taruhlah tiap hari sabtu.

Bentuk tampilan trendi itu misalnya dengan memakai kaos yang bertulisankan kata-kata penuh motivasi yang berkaitan dengan ajakan untuk membaca. Tidak lupa menyematkan pin budaya baca pula di kaos dan topi. Kalau biasanya memakai celana kain, bisa jug memakai celana jeans. Kesan trendi ini akan mempersempit jarak antara pustakawan, yang pada akhirnya perpustakaan sebagai institusi dengan pengunjung. Terutama mereka anak-anak muda.

Secara tidak langsung cara demikian juga memberikan pengertian kepada anak-anak muda, ternyata cinta buku tetap masih bisa berpenampilan modis. Apalagi sekarang era budaya pop yang sangat luber dengan ikon-ikon produk massa seperti kaos, topi, pin dan aksesoris lainnya. Itu semua bisa dipinjam ”bentuk, wujud atau wadahnya” (context) untuk kemudian ”isinya” (content) diubah dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya mempopulerkan perpustakaan (ajakan membaca).

Penindihan ikon budaya pop untuk kampanye budaya baca (dan menulis) juga bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk melancarkan program kampanye keberaksaraan fungsional. Contoh sederhana bagi pengunjung, khususnya anak-anak muda yang sudah memiliki usaha pembuatan kaos atau merchandiser atau yang baru akan memulai bisa menggunakan tema ”buku dan budaya baca” sebagai salah satu varian tema produk.

Buku dan aktivitas membaca merupakan produk unggulan, tentu saja cara-cara penawaran yang dipilih pun mestinya dengan cara-cara yang unggul pula Ini penting karena, kesan yang muncul di sebagian besar anak-anak muda, khususnya para remaja, perpustakaan, buku, identik dengan kacamata tebal, tidak keren, tidak gaul, tidak punya teman, terlalu serius, dan tidak fun (menyenangkan).

Dengan perubahan uniform para pustakawan tersebut, apalagi disertai pula dengan perubahan sikap atau attitude, para pengunjung akan semakin tertarik untuk mengenal perpustakaan.

***
Tentu saja sikap dan cara membawa diri (gaul dan trendi) harus diletakkan pada dasar penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu. Seorang pustakawan harus mempunyai keahlian yang spesifik (expert), dan bisa mengomunikasikan keahlian yang dimiliki tersebut. Misalnya ada pustakawan yang sangat expert tentang rak buku. Mulai dari model atau pola, pilihan bahan, penempatan, hingga anggaran yang dibutuhkan. Nah dari keahliannya tersebut, bisa ia gunakan untuk menjalin relasi lebih akrab dengan pengunjung, baik pribadi atau pun mewakili institusi, yang hendak membuat rak buku/setup perpustakaan.

Keahlian yang spesifik yang dimiliki seorang pustakawan akan memudahkan perpustakaan dalam membuat varian program layanan. Salah satunya bisa dibuat klub buku yang didasarkan pada minat-minat tertentu. Misalnya ada pustakawan yang ahli di bidang teknologi informasi. Melingkupi perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Sehingga ia bisa menjadi tempat acuan bagi pengunjung yang mempunyai masalah dengan komputer dan jaringan internet. Ia menjadi penggerak utama pembentukan klub komputer. Di setiap pertemuan bisa digunakan untuk membedah buku terbaru tentang komputer, saling berbagai tips aplikasi, termasuk pembicaraan yang mengarah kepada bisnis, dan sebagainya.

Selain itu, diperlukan pula pustakawan yang pintar menulis, dan tulisannya telah banyak dipublikasikan media dan penerbit. Keahlian khusus yang menjadi merk/brand untuk masing-masing pustakawan tersebut dapat menjadi magnet tambahan buat perpustakaan selain buku dan koleksi lainnya. Sehingga ada ikatan emosional-fungsional yang kuat antara pustakawan dengan pemustaka.

Pustakawan yang mahir menulis bisa menggagas klub menulis. Klub tersebut diikuti oleh pemustaka yang tertarik dan berniat belajar menulis. Yang memfasilitasi sekaligus jadi mentor adalah pustakawan yang pandai menulis. Jika tidak pandai, minimal ia mempunyai jejaring ke penulis mapan. Sehingga penulis mapan tersebut bisa dihadirkan di forum klub menulis.

Selain klub menulis bisa saja misalnya menelurkan program Klinik Baca Tulis (KBT). Program ini merupakan peniruan persis atas Posyandu atau Poliklinik yang memberikan pelayanan kesehatan fisik kepada masyarakat luas. Hanya saja, karena KBT, tentu pelayanannya tidak ditujukan kepada masalah fisik (sakit), tapi sakit yang berupa problem-problem membaca dan menulis yang mungkin, melilit mereka. Pasiennya adalah mereka yang ingin belajar membaca dan menulis, sedangkan dokternya adalah para penulis. Pelayanan diberikan secara cuma-cuma alias gratis.

Tujuan utama penggagasan KBT, pertama, adalah untuk mengoptimalkan peranan perpustakaan sebagai penggerak utama (prime mover) menuju masyarakat berkesadaran membaca dan menulis. Sebagai salah satu kegiatan yang dapat membawa masyarakat pada pencapaian peradaban yang tinggi. Kedua, ingin menampung keluhan dan semacamnya berkaitan dengan buku, membaca, dan menulis.

KBT bersedia menjadi keranjang sampah atau wadah apapun yang bermanfaat bagi masyarakat yang ingin meningkatkan kemampuan membaca dan menulisnya. Karena sungguh tidak mudah seseorang yang ingin bertanya soal buku yang baik dan menarik, dan juga soal kegiatan membaca dan menulis yang menyenangkan, menemukan orang yang tepat untuk melayani keinginan bertanya itu.

Ketiga, KBT ingin membuat dan melontarkan isu ke tengah masyarakat tentang pentingnya membaca dan menulis (buku). Merangsang tumbuhnya potensi membaca dan menulis di tengah masyarakat luas. Klinik ini mencoba memangkas kendala-kendala yang mengerangkeng seseorang untuk memunculkan potensi membaca dan menulis.

Konsepsi dan tujuan KBT di atas sebagian besar merupakan penulisan ulang, dengan sedikit modifikasi, atas rumusan Hernowo yang tertulis dalam buku Main-Main dengan Teks Sembari Mengasah Potensi Kecerdasan Emosi (Kaifa, 2004).

Poin pentingnya, keahlian tersebut bukan malah membuat seorang pustakawan menjadi ”tidak tersentuh” tapi justru dengan keahlian khusus yang ia miliki itu bisa menjadi alat untuk sok kenal sok dekat dengan para pemustaka. Sampai di sini, muncul kesadaran baru: perpustakaan sebagai institusi garda terdepan penggerak kampanye budaya baca dan tulis harus mencari formulasi yang tepat untuk ”menjual” kompetensi yang tiap-tiap pustakawan miliki.

Maka dari itu, syarat pengangkatan seorang pustakawan haruslah disertai dengan prasyarat kompetensi dasar atau keahlian khusus yang dikuasi. Kalau belum ahli, perpustakaan harus menciptakan mekanisme yang sifatnya built in (misalnya melalui kebijakan sertifikasi pustakawan) agar para pustakawan yang mempunyai minat di bidang-bidang tertentu itu bisa punya kesempatan belajar lagi untuk semakin mengasah kompetensinya.

Seorang pustakawan generasi kedua juga harus mempunyai jiwa kewirausahaan. Yaitu kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang menuju sukses institusi. Kreatifitas adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang.

Menurut Purbayu Budi Santosa (2004) performa kreatif dan inovatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaan, dengan ciri-ciri: Pertama, penuh percaya diri, indikatornya penuh keyakinan, optimis, berkomitmen, disiplin bertanggungjawab. Kedua, memiliki inisiatif, indikatornya adalah penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif. Ketiga, memiliki motif berprestasi, indikatornya terdiri atas orientasi pada hasil dan wawasan ke depan. Keempat memiliki jiwa kepemimpinan, indikatornya adalah berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak. Dan yang kelima, berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan, oleh karena itu menyukai tantangan.

Saat meluncurkan Toko Buku Gramedia di Grand Indonesia, Jakarta (19/12/2008), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa bangsa yang maju pasti memiliki masyarakat yang maju pula. Masyarakat yang maju ditopang oleh masyarakat yang gemar membaca buku. Reading society menjadi prasyarat utama menuju advance society. Salah satu sarana penting membentuk reading society adalah perpustakaan.

Kaitannya dengan pernyataan Presiden SBY tersebut dalam bayangan saya, andai tiap pustakawan terutama mereka yang bertugas di perpustakaan milik pemerintah mempunyai kompetensi sikap dan skill berupa gaul, trendi, ahli, sekaligus memiliki jiwa kewirausahaan, maka tujuan besar: advance society akan benar-benar segera terwujud.

***
Gaul, trendi, ahli. Tiga lema itu pula yang menjadi salah satu isi dari buku The Art of Library ini. Sejauh amatan saya, harus diakui jumlah literatur atau bacaan yang memuat perkembangan dunia literasi (keberaksaraan), khususnya tentang perpustakaan masih sangat sedikit. Dari yang sedikit itu pun, sebagian besar ditulis oleh orang yang justru tidak berkecimpung secara intens dan langsung di dunia pusdokinfo (kepustakawanan).

Nah, pada titik itulah, kehadiran buku ini menjadi penting. Tidak saja menambah jumlah bacaan yang masih sedikit itu, tapi lantaran ditulis oleh sosok yang telah bertahun-tahun bergelut di bidang arsip, dokumentasi, dan perpustakaan. Karena ditulis oleh seorang praktisi, tentu saja ide dan inspirasi yang muncul di buku ini bersumber dari pengalaman di lapangan. Oleh karenanya, tawaran-tawaran perbaikan dan wacana yang digulirkan pun sangat realistis.

Selain berbicara tentang kualifikasi yang harus dimiliki seorang pustakawan, serta perkembangan dunia baca tulis kaitannya dengan keberadaan perpustakaan, secara khusus, Endang Fatmawati, penulis buku ini, menyoroti perkembangan praksis pengelolaan perpustakaan di perguruan tinggi. Yang demikian wajar, mengingat sosok pustakawan berprestasi nasional ini dalam kesehariannya bekerja di perpustakaan perguruan tinggi (Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang).

Pendek kata ini, buku ini merupakan sebuah buku referensi penting dunia literasi yang patut dibaca dan dikoleksi. Buku referensi yang memberikan pijakan pengetahuan (kognisi), afeksi, dan simulasi seni mengelola library.

Judul Buku: The Art of Library--Ikatan Esai Bergizi tentang Seni Mengelola Perpustakaan
Penulis: Endang Fatmawati, S.S., S.Sos., M.Si (Pustakawan Perguruan Tinggi Berprestasi II (DIKTI) 2009
Kata Pengantar: Harkrisyati Kamil (Presiden Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia – ISIPII)
Penerbit: BP UNDIP, Semarang
Tebal Buku: xxii + 315 Halaman
Cetakan Pertama: November 2010

Gelap di Dalam Mencari Terang di Luar

Written By Agus M. Irkham on 1 Dec 2010 | 02:20



:: agus m. irkham

Jalan Cinta Para Pejuang. Ada 3 hal penting yang saya dapatkan dari buku anggitan Salim A. Fillah itu. Pertama, terbaca benar bahwa penulisnya sangat mencintai ilmu. Kedua, ajakan untuk menjadikan kisah-kisah para sahabat Rasul SAW sebagai acuan. Bukan selalu menjadikan teks yang ditulis oleh orang Barat, sebagai rujukan. Ketiga, seruan untuk senantiasa berjamaah. Bersatu dalam barisan yang diikat dengan tali bernama persamaan aqidah. Layaknya pemuda-pemuda Ashabul-Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi (18) ayat 13-25.

Berkelompok untuk sesuatu yang bermanfaat, dan menjadi sarana untuk saling nasihat menasihati dalam sabar dan takwa. Mengasah kesadaran diri untuk berani mengambil tanggungjawab/amanah yang lebih berat. Jamaah yang pada akhirnya mampu melahirkan sosok-sosok yang langgeng (istiqomah) dalam berfikir dan bertindak untuk kebaikan umat muslim. Pada wilayah yang lebih luas. Dalam ranah persoalan kemanusiaan-kehidupan yang lebih dalam.

Jamaah yang mencitrakan tongkrongan global paradigma global. Bukan sebaliknya tongkrongan global paradigma lokal. Satu ungkapan yang saya gunakan untuk menunjukkan bermunculannya berbagai komunitas (jamaah) yang didasarkan pada apa-apa (benda) yang dipunyai. Benda yang menunjukkan hasil dari kreatifitas dan teknologi canggih. Tapi benda tersebut digunakan untuk sesuatu yang entah. Sesuatu yang tidak ada sangkut paut dengan kebenaran. Alih-alih mampu memberikan kemanfaatan ke publik luas, justru semakin membuat pemiliknya, anggota jamaah/komunitas kian tercerabut dari akar persoalan umat yang sesungguhnya.

Setelah membaca buku ini, ada semangat yang meluap-luap pada diri saya untuk mencari nama-nama sahabat Nabi. Sekaligus merekam peristiwa yang pernah berlangsung di antara mereka. Kejadian yang tergelar di masa-masa paling baik dalam jelujur kisah kehidupan manusia di dunia itu. Tidak hanya itu, juga kisah kehidupan dan akhlak generasi sesudahnya, yaitu generasi salafussaleh.

Tentu yang demikian tidaklah istimewa buat mereka yang karib dengan jalan dakwah dan dekat dengan jamaah. Tapi buat saya yang sebelumnya begitu dekat dengan wacana-wacana dekonstruksi, kajian-kajian komunisme sosialisme, lekat dengan komunitas-komunitas yang longgar dan liberal, baik dalam pemikiran, sikap, maupun tindakan, pilihan untuk kembali ke rahim Islam menjadi jalan yang tidak mudah untuk saya tempuh.

Jalan Cinta Para Pejuang membukan tabir yang selama ini menghijabi mata batin saya. Bahwa sumber terang yang saya cari selama ini selamanya tidak akan pernah memberikan pencerahan-penyadaran. Selagi di sini, di batin ini, di hati ini mengalami kegelapan. Gelap di dalam mencari terang di luar. Saya sibuk menyalakan lilin, membawanya berjalan, berharap nyala lilin itu mampu menerangi tiap langkah kaki yang saya ayunkan. Sementara, pada waktu berbarengan saya dengan sengaja menutupi mata ini dengan selembar kain tebal. Sebuah pemandangan yang paradoksal. Itulah kehidupan saya. Kehidupan sebelum menemukan Jalan Cinta Para Pejuang.

Saya menyakini, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua by design. Termasuk apa yang terjadi pada saya kaitannya dengan Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A. Fillah, dan Pro U Media, penerbit buku itu. Walaupun kesan awal yang muncul, sepertinya serba kebetulan.

Awalnya, ini agak bersifat pribadi. Begini ceritanya. Saya menikah akhir tahun 2004. Di awal tahun 2005 istri saya diundang menjadi salah satu pembicara di acara peluncuran majalah di Yogyakarta. Selain istri, ada pembicara satu lagi, ustadz Mohammad Fauzil Adhim. Di sinilah untuk pertama kali saya mendengar nama Salim A. Fillah disebut. Ceritanya saat itu Ustadz Fauzil bertutur soal kecenderungan buku-buku epigon bertema pernikahan dini. Ia merujuk nama Salim sebagai contoh. Bukan contoh yang buruk, melainkan contoh yang baik. Meskipun tema sama, tapi Salim mampu menyajikan dengan adonan, dan cara penyajian yang berbeda. Demikian kira-kira ucap Ustadz Fauzil.

Usai acara, sesampainya di rumah saya bertanya ke istri, Salim itu siapa? Maka mulailah istri saya bercerita panjang lebar. Mulai dari keberanian Salim nikah dini, kesannya terhadap buku karya Salim yang berjudul Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, hingga rencana mewawancarai Salim untuk salah satu majalah remaja terbitan Jakarta. Jujur dari cerita yang panjang lebar itu hanya satu yang menerbitkan rasa ketertarikan saya, yaitu bahwa istrinya Salim pernah nge-kos di rumah adik nenek istri saya.

Tapi ketertarikan itu tidak sampai membetot rasa ketertarikan saya untuk segera membaca buku karya Salim itu. Buat saya yang saat itu masih riuh dengan persoalan-persoalan besar—perkembangan politik, kekuasaan, praksis pendidikan, masa depan kemanusiaan, strategi perubahan, pengangguran, saluran transformasi, kemiskinan, dan persoalan-persoalan besar lainnya—buku tentang pernikahan, dini pula, saya anggap sebagai persoalan sepele nan domestik.

Waktu terus berjalan. Awal Juni 2009 saya diundang Forum Lingkar Pena Semarang menjadi pemateri pelatihan penulisan. Pelatihan berlangsung di gedung serba guna Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Di sinilah saya bertemu dengan sosok yang saya dengar namanya kurang lebih 5 tahun lalu itu. Salim A. Fillah menjadi pemateri kedua. Kesan saya pada Salim hanya satu kata: muslim ideolog. Itu saja. Meskipun usia biologisnya masih muda, paling kurang jika dibandingkan dengan saya, tapi umur kesadaran dan luasan wilayah sosial dan tanggungjawabnya lebih tinggi nan luas.

Setelah pertemuan yang ’tidak disengaja’ tersebut, lantas apakah saya serta merta mencari anak-anak rohani (baca: buku-buku)nya?

Belum!

Hingga akhirnya Allah SWT., ’memaksa’ saya untuk membaca karya Salim. Bagaimana cara Allah SWT memaksa saya? Ikuti terus tulisan ini.

Maret 2009. Pro U Media, penerbit buku asal Yogya, yang merupakan satu-satunya penerbit yang dipilih Salim—entah kalau yang terjadi sebaliknya, Salim yang dipilih penerbit—mengadakan lomba resensi buku. Singkat cerita, alhamdulilah resensi saya atas buku berjudul Republik Genthonesia menjadi pemenang pertama. Resensi tersebut saya kirim ke panitia, kalau tidak salah kira, pekan ketiga bulan Juli 2009, menjelang batas akhir penerimaan naskah lomba. Atau sekitar satu bulan setelah saya bertemu Salim. Jika pembaca berkeinginan mendaras hasil timbangan saya atas buku karya Mbah Dipo tersebut silakan berkunjung ke link berikut: http://kubukubuku.blogspot.com/2009/07/dari-ceriwis-personal-ke-ceriwis.html

Ahad, 11 Oktober 2009. Saya memenuhi undangan penerimaan hadiah. Acara dikemas dalam acara asyik full manfaat bertajuk Syawalan Tumplek
Bleg Pro-U Media. Ada satu ungkapan yang sampai sekarang masih saya ingat, ungkapan ini keluar dari salah satu pembawa acara yang bergaya gojek (bercanda) saat mencandai pengunjung yang mayoritas pelajar SMA dan Mahasiswa. “Hujan air saja tidak mau berangkat ngaji, bagaimana kalau di Palestina, di sana kan hujan peluru!” Ditimpali dengan suara hehehe di akhir ungkapan itu.

Di helatan inilah untuk kali kedua saya bertemu, bersalaman, bertegur sapa, dan maaf, ber-cipiki cipika ukhuwah dengan Salim. Di gelaran acara ini pula saya mendapatkan gambaran yang utuh atas diri Salim, karya, dan penerbit (orang-orang yang berhimpun di Pro U Media). Kelak Allah SWT., kembali mempertemukan saya dengan Salim di acara Temu Penulis Pro U—justru pada saat buku saya masih dalam proses penyuntingan—belum terbit. Baik sangka saya, barangkali Allah SWT., hendak mensegerakan proses lahirnya kesadaran pada diri saya.
Selain mendapatkan hadiah berupa uang tunai, saya juga mendapat hadiah buku. Ada sekitar 20-an judul buku, salah satunya adalah Jalan Cinta Para Pejuang. Dari titik inilah saya mulai mendaras karya Salim. Jadi proses pembacaan itu saya lakukan setelah saya mendapatkan bingkai dan kacamata yang lumayan benderang tentang kedirian penerbit dan penulisnya.

Pesan tersirat dari Jalan Cinta Para Pejuang, Pro U Media, dan Salim A. Fillah adalah ketiganya bisa optimal karena berkah berjamaah. Penulis menjadi representasi penerbit. Demikian sebaliknya penerbit menjadi pintu awal para (calon) pembaca mengenal penulis dan karyanya. Integrasi seperti ini yang saya lihat sering lepas. Dan selimut integrasi itu satu yaitu kesamaan aqidah yang lurus.

Lalu, apa bentuk implikasi strategis paling nyata yang dihasilkan usai membaca Jalan Cinta Para Pejuang? Implikasi yang memberikan manfaat tidak saja hanya untuk diri si pembaca (personal), yakni saya, tapi juga lingkungan di sekitar saya (komunal-sosial).

Sejak lulus kuliah strata satu, Juli 2004 saya memutuskan diri untuk bekerja lepas, dengan alasan tidak mau terikat. Tepatnya tidak mau diperintah dan tidak mau terikat dalam komitmen berjangka panjang. Tiap tawaran pekerjaan yang mengharuskan saya memiliki atasan dengan jam kerja tetap—nine to five—saya tolak. Filosofi saya adalah tetap bekerja, bukan bekerja tetap. Jadi ada saja yang saya kerjakan. Mulai dari jualan buku, menjadi editor buku, penulis lepas di koran, menjadi trainer kepenulisan, hingga menjadi konsultan di BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Saya sungguh menikmati ‘petualangan’ itu.

Hingga pada satu titik, saat sendiri, saat hening di kebeningan waktu menjelang fajar batin saya bertanya: sampai kapan saya akan menjalani kehidupan seperti ini. Kesenangan berpetualang, membuat saya hampir-hampir tidak memiliki sahabat, alih-alih jamaah yang ikatannya sekuat kerabat. Yang ada adalah semua relasi didasarkan pada target-target pekerjaan bersifat material. Tapi pada waktu yang sama, saya juga belum memiliki ketetapan hati untuk mengakhir episode petualangan itu. Hingga akhirnya saya ‘dipaksa’ oleh Allah SWT., untuk membaca Jalan Cinta Para Pejuang.

Buku itu memberikan tambahan pemahaman dan kesadaran: sudah saatnya saya mengakhiri petualangan itu, dan beralih pada upaya untuk menyemai benih kebaikan dan perubahan, menyirami, menyiangi, memelihara hingga tumbuh dan berbuah. Gaya hidup soliter (superman, personal) harus saya ganti menjadi sikap hidup solider (superteam, komunal, berjamaah).

Akhirnya Mei 2010, secara penuh saya bergabung ke dalam keluarga besar Sekolah Alam Islam Terpadu Auliya. Lembaga pendidikan yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah ini memberikan layanan pembelajaran mulai dari Play Group, Taman Kanak-Kanak, hingga Sekolah Dasar. Dan secara khusus saya diserahi tanggungjawab untuk membidani kelahiran SD-nya.

SAIT Auliya ini saya identifikasi sebagai tempat berhimpunnya orang-orang muda yang terus saja bermimpi tentang terbentuknya kesadaran umat yang menjadikan nilai-nilai islam sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan dan pemberdayaan potensi kemanusiaan dalam kehidupan aktual. Serta melejitkan semangat berpengharapan kepada golongan yang lemah secara sosial, ekonomi, terutama pendidikan.

Saya melihat di Kendal telah tumbuh golongan menengah muslim. Golongan menengah dapat dicandrai melalui ukuran tingkat kesejahteraan ekonomi, peranan sosial, dan tingkat pendidikan. Jika merujuk pada sejarah perubahan peradaban yang senantiasa digerakkan
oleh golongan menengah, maka para orangtua yang ’menitipkan’ putri-putrinya di SAIT Auliya ini memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan. Sungguh sayang, jika potensi itu hanya berhenti pada kata pontensi, lantaran tidak ada wadah yang berperan sebagai katalisator, penyatu, sehingga pontensi-potensi itu menjadi sinergi.

SAIT Auliya kami tempatkan sebagai wadah bagi para walimurid untuk berbagi informasi, inspirasi, empati, pengetahuan dan pemahaman tentang pendidikan dan kepengasuhan. Harapannya mereka akan menjadi sosok yang berkarakter, menjadi orangtua yang kredibel, soleh, cerdas, sekaligus profesional. Sebuah modal penting untuk memulai ikhtiar perubahan.

Pada akhirnya, dengan penuh takzim harus saya ucapkan: Jazakumullah akh. Salim.

Sarjana Kuadran Pertama

Written By Agus M. Irkham on 27 Nov 2010 | 16:50



: agus m. irkham

”Naiklah ke lantai tertinggi gedung bertingkat. Buka salah satu jendelanya, dan meludahlah. Maka dapat dipastikan ludah itu akan jatuh mengenai orang-orang di bawah gedung. Dan minimal satu dari orang yang terkena ludah itu adalah sarjana, pengangguran pula!” Demikian candaan yang saya dapat dari seorang pemateri pelatihan wirausaha beberapa waktu silam.

Tentu saja, Anda tidak harus percaya dengan guyonan satir motivator wirausaha itu. Tapi meskipun begitu, tetap saja cerita itu mengandung kebenaran. Paling kurang memunyai simpulan yang sama dengan banyak pengamat ekonomi bahwa angka pengangguran di negeri ini masih sangat tinggi. Baik yang absolut maupun relatif. Ironinya, tingginya angka pengangguran itu disumbang pula oleh golongan yang mestinya tidak lagi memiliki kendala untuk mendapatkan pekerjaan, yaitu para sarjana.

Jumlah sarjana menganggur di Indonesia pada 2010 mencapai 1.142.751 orang atau naik 15,71 persen dibandingkan dengan 2009. (Kompas, 23/9/2010). Atau secara absolut naik 600 persen dibandingkan tahun 2005 (183.629 orang).

Apa sebab para sarjana ini sulit mendapatkan pekerjaan?

Selama ini, galibnya terjadi di hampir semua perguruan tinggi, indeks prestasi kumulatif (ipk) masih menjadi sesuatu yang utama untuk dikejar para mahasiswa. Ipk diperoleh dengan mengalikan bobot nilai suatu mata kuliah dengan jumlah sks tiap matakuliah tersebut dibagi seluruh sks yang telah diambil. Batasan angka tertinggi ipk adalah 4,0 (empat koma nol). Ipk menunjukkan kemampuan akademik mahasiswa dan seberapa jauh ia menyerap dan memahami matakuliah yang sudah diambil. Ukuran yang dipakai bersifat kuantitatif. Dengan kata lain ipk adalah hasil dari kerja otak kiri mahasiswa. Hanya merujuk pada kecerdasan intelektual (hard skill).

Tidak ada yang salah dengan upaya mendapatkan ipk tinggi itu. Hanya saja yang patut direnungkan, ternyata ipk tinggi tidak menjamin para mahasiswa ini mudah diterima bekerja. Kalaupun diterima mereka sulit sekali mengembangkan karir. Apa pasal? Ternyata menurut hasil beberapa penelitian, kesuksesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola emosi atau tergantung pada tingkat kecerdasan sosialnya. Semakin cerdas sosial, semakin sukses. Demikian kira-kira kalau boleh saya sederhanakan.

Oleh karenanya, dapat saya ajukan satu simpulan bahwa salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk mengurangi angka pengangguran, terutama yang terjadi pada kaum sarjana adalah dengan meningkatkan kemampuan atau kecerdasan emosional mereka. Kalau kecerdasan intelektual diwakili dengan istilah indeks prestasi kumulatif (ipk dengan huruf kecil) maka kecerdasan emosional, sebut aja sebagai indeks peradaban kumulatif (IPK dengan huruf besar). IPK mencerminkan hasil kerja otak kanan. Bersifat kualitatif (soft skill) dan memiliki segi kemanfaatan jangkan panjang.

Pada titik itu, saya kira akan menjadi pekerjaan rumah besar buat para pengelola perguruan tinggi, terutama di Jawa Tengah untuk merancang sistem perkuliahan yang nantinya tidak saja ipk para wisudawannya tinggi tapi juga juga level kesadaran kemanusiaannya (IPK) memukau.

Jika antara ipk dan IPK ini kita buat menjadi garis yang saling menyalip (memotong), garis horizontal menunjukkan capaian ipk, sedangkan garis vertikal menunjukkan IPK, maka mestinya tujuannya pendidikan di perguruan tinggi adalah mendorong para lulusannya (sarjana) masuk ke dalam kuadran pertama.

Kuadran pertama adalah kuadran yang memuat para sarjana berindeks prestasi kumulatif dan indeks peradaban kumulatif tinggi. Kuadran inilah yang paling ideal, lantaran menghasilkan sarjana yang mumpuni di ranah intelektual, dan menggetarkan di lapangan kesadaran. Yang selalu terjaga mata hatinya. Jika ada yang mengatakan bahwa mahasiwa adalah agen perubahan (agent of change), maka wujud aktualnya adalah sarjana/mahasiswa kuadran pertama ini.

Selanjutnya adalah kuadran kedua. Sarjana kuadran kedua adalah tipikal mahasiswa aktivis. Lantaran jarang masuk kuliah, indeks prestasi kumulatifnya dua koma astaghfirullah. Namun Indeks Peradaban Kumulatif-nya tiga koma masyaallah. Taruhlah sarjana kuadran kedua ini tertolak saat melamar kerja di perusahaan, mereka akan cepat mengubah haluan. Tidak menjadi pencari kerja tapi pencipta lapangan kerja. Minimal memperkerjakan diri sendiri.

Bagaimana dengan sarjana kuadran keempat? Kuadran keempat adalah untuk mahasiswa safety players. Dan ini menjadi kecenderungan umum mahasiswa. Lulus cepat, ipk tinggi. Jadi cara berfikirnya sangat linear. Ada dua nasib yang menanti sarjana kuadran keempat ini. Jika berkarir di akademik, yang paling logis dan jamak akan menjadi dosen. Andai berkarir di industri/perusahaan/birokrasi, sulit sekali untuk mendapatkan posisi kunci.

Yang paling harus dihindari oleh para pemegang kepentingan pendidikan perguruan tinggi adalah menghasilkan sarjana kuadran ketiga. Di kuadran ini para mahasiswa yang lulus tidak saja berindeks prestasi kumulatif rendah, indeks peradaban kumulatifnya pun jeblok. Sudah tidak pintar intelektual, secara sosial pun bebal.

Satu-satunya prestasi sarjana kuadran ketiga adalah meningkatkan tambunnya angka pengangguran dari kaum sarjana. Dan merujuk pada bentangan perangkaan tentang pengangguran, dengan berat hati harus saya katakan, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia yang berjumlah tak kurang dari 2.900 perguruan tinggi itu masih menghasilkan sarjana kuadran ketiga ini. Duh!

Agar Indeks Prestasi Kumulatif = Indeks Peradaban Kumulatif

Written By Agus M. Irkham on 19 Oct 2010 | 22:52


: Sebuah epilog atas buku 24 Cara Mendongkrak IPK

Ukuran yang teramat sering digunakan untuk menilai sukses tidaknya seorang mahasiswa/sarjana adalah indeks prestasi kumulatif atawa IPK. IPK didapat dari skor nilai dikalikan jumlah sks (sistem kredit semester) dibagi jumlah total sks yang telah diambil. Skala tertinggi IPK adalah 4,00. Artinya jika IPK semakin mendekati 4,00 berarti semakin istimewa. Semakin sukses luar biasa! Terlepas apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan kualitas orangnya atau tidak. Yang jelas IPK telah disepakati sebagai paramater atau ukuran keumuman.

Di kalangan mahasiswa berlaku hukum tidak tertulis, tapi tahu sama tahu. Yaitu IPK minimal 3,00 sebagai IPK psikologis. Angka yang akan menimbulkan rasa aman sekaligus kebanggaan. Aman karena ”lebih mudah” mengisi lowongan kerja. Rerata perusahaan mensyaratkan IPK minimal pelamar 3,00. Dan bila si pelamar lulus dari perguruan yang kurang favorit, biasanya standarnya meningkat. Bangga, karena bisa melampui IPK 2,00. Seberapa besarnya angka di belakang koma, taruhlah 99 (2,99) tetap saja disebutnya ber-IPK dua koma. Beda dengan IPK 3 meskipun di belakang koma 01 (3,01) tetap disebut ber-IPK tiga koma.

Ini kecenderungan yang sering kali tidak bisa dibendung. Yaitu lulus hanya sekadar lulus meskipun indeks prestasi komulatif (IPK) tinggi, tapi penguasaan dan pemahaman terhadap ilmu yang dipelajari sangat kurang. Tak jarang ketika ujian nyontek, dengan berbagai macam cara. Dulu semasa saya masih kuliah, sangat mudah menemukan coretan-coretan berisi rumus, definisi, dan lain-lain di kursi kuliah, dipinggir-pinggir tembok, bahkan ada juga yang merajahkan contekan itu ke tubuhnya.

Mestinya sesuai dengan namanya universitas, sarjana yang hasilkan mempunyai kesadaran universal, mengumum, mensemesta. Orientasi tidak sekadar mencari dan mendapatkan pekerjaan, tapi beralih kepada upaya menciptakan lapangan kerja baru. Paling tidak kalau memang harus menjadi pekerja, harus diniati bagian dari pembelajaran, yang pada titik tertentu akan kelauar dan membangun bisnisnya sendiri.

Atau menjadikan pekerjaannya itu sebagai sarana memberikan perhatian, kepedulian, dan bantuan-bantuan konkret kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Jadi sebenarnya, tidak masalah jika memang harus menjadi oranga gajian, yang penting bagaimana menempatkan gaji, uang dan pekerjaannya itu.

Lantas apakah dengan IPK tinggi akan menjamin kemudahan seorang sarjana menjalani julujur kehidupan karir dan pekerjaan?

Awal Juli 2009, saya mengisi acara unjuk bincang di Universitas Muhammadiyah Magelang. Helatan tersebut diprakarsai oleh Dekanat Fakultas Ekonomi. Dalam sambutan pembukaannya, Bapak Dekan mengatakan bahwa, IPK tinggi memang penting. Tapi ternyata kenyataannya di lapangan, lulusan dengan IPK tinggi justru memiliki soft skill yang rendah. “Keterampilan lunak” itu meliputi kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi, mengatasi konflik, dan lain-lain yang lebih mengedepankan kecerdasan emosional.

Apa yang disampaikan pak Dekan di atas menyisakan pertanyaan kunci: apa yang salah dengan sistem perkuliahan, sehingga indeks prestasi kumulatif yang mencerminkan prestasi intelektual tidak sama dengan indeks peradaban kumulatif yang merujuk pada kemampuan emosional atau soft skill tadi?

Mencari jawaban atas pertanyaan itu menjadi begitu penting. Tanpa ada upaya mencari jawaban yang sahih, maka yang kemudian terjadi adalah dominannya sikap pragmatisme. Satu-satunya yang hendak dikejar saat kuliah adalah IPK tinggi, tanpa memedulikan bagaimana IPK tinggi itu diperoleh.

Berdasarkan amatan saya, temuan yang dikemukakan Pak Dekan telah mengandung jawaban. Yaitu, mengapa IPK tidak sama dengan “IPK” karena di dalam proses perkuliahan jarang sekali menggunakan pendekatan yang dapat mengoptimalkan potensi kecerdasan emosional yang dimiliki oleh setiap mahasiswa. Mahasiswa juga cenderung duduk, diam, pulang. Tidak mau ”bereksperimentasi” dengan potensi emosi yang mereka miliki.

Apa bentuk nyata dari proses perkuliahan yang dapat melejitkan kecerdasan emosional mahasiswa? Saya kira salah satu jawaban yang dapat saya ajukan adalah persis seperti yang telah tertulis di buku ini. Keduapuluhempat cara mendongkrak IPK ini sepenuhnya saya susun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan emosional (soft skill) bukan semata-mata target-target intelektual (hard skill).

Maka tak berlebihan kiranya, jika buku ini saya sebut sebagai salah satu solusi atau jalan keluar agar Indeks Prestasi Kumulatif = Indeks Peradaban Kumulatif.♦

Melongok Politik Perberasan Kita

Written By Agus M. Irkham on 8 Mar 2010 | 16:43




Judul Buku :
Politik Beras dan Beras Politik
Penulis :
Purbayu Budi Santosa
Penerbit :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Tebal :
xxviii + 289 hlm
Cetakan I :
Maret 2010


”Pengurangan kemiskinan harus dengan program
yang menyentuh langsung mereka yang terjerat kemiskinan.
Sayang, tidak 1 persen pun dari 20 miliar dollar AS
dana Bank Dunia yang mengalir ke kredit mikro.”


—Muhammad Yunus—


Tanda yang sangat kentara bagi hadirnya modernisme akhir (baca: kapitalisme lanjut) adalah pergeseran pola konsumsi dan produksi. Konsumsi yang semula berdasarkan kebutuhan atau nilai guna, bergeser pada nilai tanda (baca: gengsi). Sementara pada sektor produksi, tidak lagi melulu berkutat pada competitive advantage, tapi telah bergeser pada produksi citra (image).

Konsumsi dan produksi kini melaju pada satu titik: hiperealitas. Istilah yang digunakan Baudrillard untuk menjelaskan keadaan runtuhnya realitas, yang diambil oleh rekayasa model-model (citraan, halunisasi, simulasi), yang dianggap lebih nyata dari realitas sendiri, sehingga perbedaan antara keduanya menjadi kabur (Yasraf, 2004).

Dalam bingkai ekonomi, hiperealitas tersebut adalah economic bumble. Kondisi perekonomian yang merujuk pada kondisi besar di luar, tapi kosong di dalam. Apa yang terlihat dari luar, sungguh berbeda dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam.

Salah satu jejak praksis ”ekonomi balon udara” dalam ranah mikro berekonomi—konsumsi—adalah kebijakan pangan (baca: perberasan) di Indonesia
Keinginan pemerintah untuk mengendalikan inflasi—sebagai ukuran kestabilan ekonomi makro—menjadi single digit membuahkan kebijakan: impor beras.

Harga beras di luar negeri memang lebih murah—akibat pengusahaan yang efisien—ketimbang harga di dalam negeri. Tapi bukan berarti hal ini menjadi ayat pembenaran impor. Karena impor yang terus menerus akan berbahaya. Terjadinya peningkatan impor hanya akan memicu kenaikan harga beras internasional. Karena dalam jangka panjang semakin besar ketergantungan terhadap impor, harapan untuk memperoleh pasokan beras murah justru tidak terjamin.

Impor hanya relevan untuk mengendalikan harga dalam jangka pendek. Bukan malah dijadikan salah satu instrumen politis demi memperolah kesan (citra) bahwa pemerintah mampu meraih swasembada pangan (beras). Atau minimal disangka mampu mencipta dan menjaga kestabilan ketersediaan beras.

Stok beras yang diperdagangkan di pasaran dunia hanya 11-12 juta ton per tahun. Atau sekitar 5 persen dari total produksi global. Indonesia jumlah penduduknya besar dan pengeluaran untuk beras sekitar 25 persen dari pendapatan rumah tangga. Sangat riskan jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional. Penekanan terhadap harga kebutuhan pokok (pangan murah), terutama pangan (beras) melalui impor justru menjadi langkah balik komitmen pemerintah merevitalisasi pertanian dan mengangkat hidup petani.

Kebijakan pangan murah (cheap food policy) selama ini menggunakan instrumen operasi pasar. Alasannya berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1999, sebagian besar (76 persen) rumah tangga adalah konsumen beras dan hanya 24 persen sisanya produsen beras.

Di perkotaan, konsumen beras sekitar 96 persen atau hanya empat persen saja yang merupakan produsen beras. Di pedesaan, konsumen beras sekitar 60 persen atau hanya 40 persen penduduk desa yang merupakan produsen beras. Implikasinya setiap kenaikan 10 persen harga beras, akan menurunkan daya beli masyarakat perkotaan sebesar 8,6 persen dan masyarakat pedesaan sebesar 1,7 persen atau dapat “menciptakan” dua juta orang miskin baru.

Ironi Petani Indonesia
Bagaimana sebenarnya memahami politik perberasan di Indonesia? Bagaimana mungkin Indonesia, negara agraris (di lihat dari jumlah tenaga kerjanya), yang sebelumnya mampu swasembada berubah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Centang perenang politik perberasan nasional salah satunya bersumber pada struktur pasar beras.

Ternyata struktur pasar beras di Indonesia bersifat oligopolis. Beras yang ada di pasar hanya sekitar 20 persen dari total produksi. Sementara sebanyak 80 persen lagi digunakan petani sebagai produsen untuk dikonsumsi. Kondisi ini mengakibatkan petani selalu dalam posisi tawar yang tidak menguntungkan. Mudah sekali untuk dipermainkan.

Selama ini bentuk intervensi pemerintah terhadap perberasan nasional melalui kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG). Kebijakan HDG merupakan komitmen pemerintah untuk menjamin harga pasar, paling tidak sama dengan harga dasar. Kebijakan ini akan efektif apabila ada ketercukupan dana untuk membeli seluruh kelebihan produksi maupun kemampuan menghalangi impor.

Hal mendasar dilakukannya kebijakan harga beras adalah memberikan rangsangan bagi petani untuk berproduksi. Melindungi dan menjamin harga yang layak bagi konsumen, memberikan keuntungan yang wajar bagi pedagang dan pengusaha penggilingan. Dan menciptakan hubungan fluktuasi harga yang wajar di dalam negeri terhadap harga beras di pasar dunia.

Tapi, ternyata implementasinya relatif sulit. Karena volume pengadaan variabel (beras) selalu berubah, sesuai dengan dinamika pasar. Ditambah dengan sifat usaha tani yang sangat tergantung dengan musim/pola musiman panen padi serta jumlah penduduk.

Contohnya ketika musim panen tahun 2000, HDG ditetapkan sebesar Rp1400 per kilogram. Kenyataan di lapangan hanya Rp700-800. Rendahnya harga gabah pada tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sebanyak 47,96 persen dari 4.825 observasi—menunjukkan harga gabah di bawah/sama dengan harga dasar.
Saat itu banyak petani yang mengeluh bahwa HDG hanya berlaku di subdolog yang sedang melakukan pengadaan pangan nasional. Karena petani tidak bisa berhubungan langsung dengan sub dolog saat menjual gabahnya. Pedaganglah yang menikmati harga dasar gabah tersebut. Sementara petani tidak.

Pemerintah juga tidak serius untuk meningkatkan pendapatan petani melalui HDG. Terbukti setiap kenaikan HDG diikuti pula dengan kenaikan harga pupuk. Belum lagi setiap kenaikan harga dasar gabah selalu diikuti dengan kenaikan harga-harga makanan selain beras, dan sarana produksi tani (saprotan) lainnya.
INTP yang Rendah
Sebenarnya hal mendesak yang perlu dilakukan adalah memperbaiki mekanisme penyaluran beras petani ke dolog, menurunkan harga pupuk dan obat-obatan serta desentralisasi manajemen persedian pangan. Karena tingginya harga pupuk serta saprotan membuat Indeks Nilai Tukar Petani (INTP) menjadi relatif kecil. Berkisar 103 hingga 105.

INTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dari pasar terhadap produksi pertaniannya, dengan indeks harga yang dibayar petani untuk mendapatkan sarana produksi pertaniannya, barang serta jasa yang dikonsumsinya. Jika INTP di atas 100, secara implisit menunjukkan tingkat kesejahteraan petani meningkat. Namun bila di bawah 100 yang terjadi adalah sebaliknya. Kesejahteraan petani turun dan cenderung semakin memerihatinkan.

Intervensi pemerintah terhadap perberasan melalui penggunaan tarif (harga dasar) tidak bekerja efektif. Bahkan gagal menjadi instrumen yang dapat melindungi petani. Tarif yang rendah membuat petani semakin terpuruk. Sejalan dengan tidak terbendungnya limpahan beras impor dari negara-negara produsen beras. Petani (Indonesia) justru mati di lumbung (negerinya) sendiri. Ironi.

Ironi perberasan. Entri itulah menjadi isi Bagian Kedua buku yang tengah Anda genggam ini. Beras dalam konteks jalannya roda pemerintahan di Indonesia, memang telah menjadi lema penting, jika tidak mau dikatakan paling penting. Maka bagi siapapun yang memerintah, ia akan ”dipaksa” untuk menomorsatukan persoalan ketahanan pangan (beras). Keberhasilan dan kegagalan suatu kabinet pun (pemerintah) selalu dilekatkan dengan sejauh mana ia bisa memberikan kepastian dan kecukupan pangan—ketersediaan—beras bagi segenap warga negara. Bahkan, penyebab jatuhnya kekuasaan Orde Lama (Soekarno), dan Orde Baru (Soeharto) kalau mau dikejar lebih jauh, ujung-ujungnya disebabkan oleh karena keduanya gagal mempertahankan ”swasembada pangan”. Dari sini lahirlah dua terma kunci: ”politik beras” dan ”beras politik”.

***

Sungguh, saya ingin sekali Anda menjadikan buku ini sebagai “peta” ketika Anda akan memulai meniti jejak perjalanan pembangunan di Indonesia. Terutama setelah memasuki era reformasi. Melalui proses dokumentasi yang tekun, serta pisau analisis yang tajam Prof. Purbayu mampu menampilkan tulisan-tulisan yang tidak saja analitik dan kritis, tapi juga mudah dipahami.

Jika pada Bagian Pertama Anda telah diperlihatkan ”wajah” politik perberasan kita, maka pada bab sebelumnya, Bagian Pertama Anda akan diajak menelisik perkembangan sektor pertanian serta praksis politik pembangunan.

Sejauh ini sektor pertanian, terutama pangan, diposisikan sebagai sektor yang menunjang sektor industri. Artinya demi kemajuan dan berkembangnya sektor industri, sektor pertanian ”dikendalikan”. Pengendalian yang justru melahirkan dua bentuk tekanan-himpitan pembangunan (double squeeze development). Harga produk pertanian dipertahankan rendah agar bisa menunjang proses sektor industri. Tapi pada waktu yang sama, pemerintah tidak mampu menekan harga-harga input pertanian, yang note bene-nya merupakan hasil aktivitas industri. Dua bentuk himpitan pembangunan tersebut telah sukses mengantarkan mayoritas petani dalam kubang kemiskinan dan tekanan hidup.

Kondisi tersebut diperparah dengan strategi politik pembangunanisme (developmentalism) yang mendewakan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada akhirnya memang tinggi, tapi karena minus pemerataan (equality), yang kemudian terjadi adalah yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Jarak ketimpangan pendapatan perkapita riil antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain bisa sangat lebar dan dalam.

Karena itu Prof. Purbayu memberikan rekomendasi untuk memutar arah strategi pembangunan. Yang semula condong ke industri (berteknologi canggih dan berbasis bahan baku impor), beralih ke pertanian (modern, agroindustri). Yang semula kelompok sasaran (target groups) kebijakan lebih banyak untuk masyarakat kota, hendaknya mulai sekarang harus digeser ke kawasan pinggiran (masyarakat pedesaan).

Sementara pada Bagian Ketiga, Prof. Purbayu mengintroduksi tentang betapa pentingnya (jiwa) wirausaha bagi upaya mengurangi—jika tidak bisa dihilangkan sama sekali—tingginya jumlah pengangguran (terdidik) dan kemiskinan. Dan kalau kita mau menilik lebih jauh, ternyata jiwa kewirausahaan tersebut merupakan wujud kontekstual semangat Sumpah Pemuda. Yaitu semangat untuk berani beda dan berani pulang!

Sumpah Pemuda 1928 meledak karena adanya kesadaran yang bersifat monoklausal. Ada kesamaan persepsi, mengenai siapa yang harus dijadikan musuh bersama (common enemy), dan kesadaran tentang penyebab utama kegagalan menendang kolonialisme (ketercerai-beraian). Para pemuda saat itu, sadar betul bahwa identitas kebangsaan itu tidak bisa didasari pada diversifikasi rasial dan kultural.

Lahirnya kesadaran satu nusa, bangsa, dan bahasa dipicu oleh tiadanya persatuan dan kesatuan mengusir kolonialisme Belanda. Hasil penting sumpah pemuda di satu sisi adalah tercapainya kesimpulan bersama bahwa Belanda adalah musuh bersama, dan di sisi lain disepakatinya satu cara ”tercepat” untuk mencapai kemerdekaan, yaitu persatuan.

Sekarang ini yang menjadi musuh bersama adalah persoalan kemiskinan dan pengangguran. Yang pada akhirnya kualitas hidup masyarakat jadi rendah. Tidak hanya ekonomi tapi juga kualitas partisipasi politik, sosial, dan budaya. Kalau diukur dari sini, Indonesia tergolong negara gagal. Gagal memberikan jaminan kesejahteraan hidup bagi tiap warga negara.

Nah, salah satu solusi untuk mengatasi problem kemiskinan dan pengangguran tersebut adalah dengan menjadikan pilihan hidup berwirausaha sebagai jihad akbar. Keberanian memulai berwirausaha inilah yang saya sebut sebagai berani beda. Berani berbeda dengan pilihan sebagian besar orang yang menginginkan bekerja di kantor. Melamar pekerjaan sebagai staf dan karyawan.

Menurut Prof. Purbayu, secara sederhana kewirausahaan dapat diartikan sebagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang menuju sukses. Kreatifitas adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang.

David McCleland, seorang psikolog sosial berpendapat suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai wirausahawan (entrepreuneur) sedikitnya dua persen dari jumlah penduduk. McCleland tidak berlebihan. Paling tidak jika kita membaca struktur masyarakat yang terdapat di beberapa negara manca.

Singapura misalnya. Menurut laporan Global Entrepreuneurship Monitor (GEM) tahun 2005, negara transit ini memiliki wirausaha sebanyak 7,2 persen dari total penduduk (tahun 2001 hanya sebesar 2,1 persen). Amerika Serikat, yang mendapat sebutan lokomotif perekonomian dunia, pada tahun 1983, dengan penduduk sebanyak 280 juta sudah memiliki enam juta wirausaha ( 2,14 persen) dari total penduduknya.

Bagaimana kita? Di Indonesia diperkirakan hanya 400.000 orang yang menjadi pelaku usaha mandiri, sekitar 0,18 persen dari populasi. Padahal menurut rekomendasi McCleland paling kurang kita membutuhkan 4,4 juta wirausaha.

Berani pulang kampung, dalam konteks sekarang adalah keberanian kaum sarjana untuk kembali ke rumah tempat mereka lahir dan besar. Bukannya melakukan migrasi intelektual dengan pergi ke kota yang lebih banyak didorong oleh motivasi bersifat material. Semangat berani pulang adalah semangat yang dimiliki oleh seorang intelektual sejati. Yaitu intelektual, golongan sarjana yang dapat berfungsi di tempat mana pun yang membutuhkan kemanusiaan mereka. Termasuk di kampung asal mereka.

Langkah “bunuh diri sosial” ini sangat diperlukan, mengingat terbatasnya kualitas sumber daya manusia (dilihat dari pendidikan terakhir yang ditamatkan) di kampung, terutama di desa-desa. Akibatnya, masyarakat desa hidup tanpa ada advokasi dan perlindungan atas serangan nilai yang datang dari luar. Kalau kondisi demikian dibiarkan, maka kesenjangan antara kehidupan desa-kota akan terus berlangsung. Padahal persentase terbesar warga negara adalah mereka yang tinggal di desa.

***

“Siapa yang tidak percaya dan merasa tidak bisa,” Ungkap Muhammad Yunus, peraih Hadiah Nobel 2006 untuk bidang Ekonomi. “Hendaknya jangan menghalangi yang merasa bisa dan mampu.”

Ungkapan Yunus terebut memberikan isyarat kepada kita bahwa dirinya yakin bisa dan mampu dengan apa yang telah ia mulai kerjakan—mengentaskan para pengemis di Bangladesh dari kenistaan hidup. Dan keyakinan Yunus terlunasi. Tahun 2006 The Royal Swedish Academy of Sciences mengganjar Muhammad Yunus dengan Hadiah Nobel berkat perjuangannya—melalui lembaga keuangan yang ia rintis sejak berusia 27 tahun, Grameen Bank—Yunus berhasil meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas hidup ekonomi rakyat Bangladesh yang sebelumnya tertanam di lubang kemiskinan.

Menariknya, saat ditanya apa yang menginspirasi Yunus hingga mendirikan Bank untuk Pengemis itu. Dengan jujur guru besar ilmu ekonomi kelahiran Chittagong 1940 itu menjawab: “Saya terinspirasi setelah melihat cara kerja Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memberikan berbagai kredit pedesaan dengan tanggungjawab bersama.”

Jawaban Yunus itu tentu saja membuat kita kaget sekaligus malu. Sepertinya Yunus hendak mengatakan keberhasilan atau kegagalan, sesungguhnya lebih disebabkan oleh sikap mental daripada kapasitas mental.

Kalau dibawa ke ranah yang lebih riil—dalam konteks pembangunan di Indonesia—sikap mental tidak percaya diri terhadap konsep dan strategi pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal dan teramat percaya dengan konsep-pemikiran Barat, justru telah sukses mengantarkan bangsa ini pada stagnasi pemerataan kesejahteraan (ekonomi) masyarakat.

Padahal sudah cukup lama juga, Ann Dunham, ibu Barack Obama yang telah banyak menghabiskan waktunya di Indonesia, mengingatkan. “Pemerintah Indonesia,” tulis Ann dalam disertasinya ”Peasant Blacksmiting in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds (1992), “Terlalu terjebak kepada pemikiran para pakar Barat, yang menganggap sepele dan tidak berarti keberadaan Ekonomi Kerakyatan.”

Pandangan yang pertahankan Ann di jurusan Antropology University of Hawaii at Manoa (UHM) itu ini membantah pandangannya dua orang Indonesianis ternama Boeke dan Geertz, yang menyatakan: pertanian dan industri kecil pedesaan tidak akan memajukan ekonomi rakyat pribumi.

Akibat dari jerat pemikiran yang membelenggu tersebut para pemegang kuasa politik, dan ekonomi di Indonesia justru mengembangkan model pembangunan negara Barat. Padahal model pembangunan itu tidak cocok dengan negara Indonesia.

Meskipun begitu, bukan berarti kita mengharamkan konsep Barat. Kemungkinan untuk kita ambil tetap ada. Hanya saja pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi (faktor kelokalan) yang senyatanya ada dan terjadi di Indonesia. Pentingnya belajar dari negara lain—terutama asia dan Amerika Latin serta beberapa tokoh ekonomi peraih Hadiah Nobel—sebagai bagian dari ikhtiar melepaskan perangkap (utang) menjadi fokus Prof. Purbayu pada Bagian Keempat buku ini.

***
Meskipun “Politik Beras, dan Beras Politik” merupakan buku kumpulan tulisan, linearitas tema, konsistensi sikap, dan penjelasan yang diberikan penulisnya masih tetap menuju pada satu lokus: Politik Pertanian, Kemandirian, dan Pembangunan. Jika di sana-sini masih ditemukan semacam pengulangan-pengulangan, maka sesungguhnya itu untuk menunjukkan betapa yang diulang tersebut sangat penting kedudukannya.

Terakhir, mudah-mudahan setelah Anda selesai mendaras buku ini, Anda akan menjadi lebih mafhum mengapa ada banyak paradoks, dan kontradiksi terjadi di negeri ini. Nah, dari titik kepahaman dan kesadaran terhadap anomali itu, Anda bisa meneruskan perjalanan: menentukan diri akan berada di posisi mana, akan mengambil inisiatif sebagai apa, dan hendak terhimpun dalam barisan yang mana. Menjadi bagian dari solusi atau sebaliknya, ironi!♦

Puasa, dari Syariat sampai Hakikat

Written By Agus M. Irkham on 27 Aug 2009 | 00:11



: agus m. irkham

Semuanya merayakan ramadhan. Tak hanya televisi, radio, koran, dan pusat perbelanjaan, tapi juga industri perbukuan. Perayaan itu berupa penerbitan buku bertema agama Islam, khususnya seputar ibadah puasa ramadhan. Naga-naganya oleh penerbit, bulan puasa ini hendak dijadikan bulan baca buku agama. Kehadiran buku agama di bulan puasa menjadi semacam angop (kuap) bagi penerbit. Setelah sebelumnya berjibaku dengan penerbitan buku non agama.

Meskipun begitu, puasa (ramadhan) sebagai tema buku, tidak semata-mata lahir ketika bulan ramadhan. Ada beberapa penerbit yang menelurkan buku bertema puasa, bukan di bulan suci itu. Berdasarkan pembacaan saya, ada perbedaan antara buku tentang puasa yang terbit di bulan ramadhan dan luar bulan ramadhan. Yang pertama disebut lebih banyak berbentuk buku utuh dan banyak mendaras puasa dari segi syariat (syarat rukun puasa, dan segaris itu), amalan-amalan, serta keutamaan-keutamaannya. Sedangkan yang disebut sesudahnya, bahasan puasa lebih pekat kepada hal-hal yang berdimensi tasawuf/hakikat (personal-imanensi), dan memandang puasa sebagai bentuk ibadah yang berfaedah sosial-transformatif.

Tentu saja perbedaan-perbedaan itu membawa pula pada perbedaan pembaca yang hendak disasar. Buku puasa syariat lebih ditujukan pada kelompok pembaca awam (muslim). Simpul-simpul penanda buat kategori ini adalah, mereka punya kegairahan beribadah puasa, tapi secara ilmu belum mengetahui detil syarat rukun sah dan batalnya puasa. Mau berguru tidak ada waktu. Maka, satu-satunya kesempatan berguru adalah pada buku. Di luar itu, dorongan mereka melaksanakan ibadah puasa lebih karena kalkukasi-kalkulasi keuntungan pahala (surga). Ketimbang sebagai metode menggarap diri yang harus dilakukan dan hayati guna menyatukan dua identitas diri, baik sebagai makhluk budaya (kuasa atas diri) maupun makhluk qudrati (diri yang dikuasai Dia—Allah).

Berbeda dengan buku puasa syariat, buku puasa tasawuf/hakikat dialamatkan kepada khalayak mukmin, yang sudah melampaui dimensi syariat. Melampaui jangan diartikan meninggalkan syariat. Mereka adalah golongan muslim terdidik (educated). Baik lahir dari pesantren, komunitas kajian, maupun perguruan tinggi (Islam). Sudah pasti ceruk pasar golongan ini lebih sempit dan dangkal dibandingkan dengan ceruk pasar buku puasa syariat.

Dalam tulisan ini, patut saya sorongkan dua contoh buku yang masuk ketegori buku puasa tasawuf/hakikat—meskipun pembahasan tentang puasa menjadi bagian dari, bukan isi keseluruhan buku. Yaitu buku berjudul Mencari Nama Allah yang Keseratus dan Hidup Lebih Bermakna. Kebetulan dua buku yang saya ajukan itu sama-sama ”karya” Muhammad Zuhri, dan sama-sama diterbitkan Serambi.

Pak Muh—demikian sapaan Muhammad Zuhri, oleh Dr. Peter G. Riddel, dosen senior Islamic Studies di Brunel University dan doktor studi Islam dari Australian National University—disebut sebagai pembaharu pemikiran sufistik Islam di zaman posmodern ini. Sejak kecil ia memiliki ciri tidak dapat naik sepeda dari sebelah kiri, sehingga ia menaikinya dari sebelah kanan dan turun di sebelah kanan juga, seolah suatu isyarat tentang jalan hidupnya di kemudian hari.

Aktualisasi pemikiran tasawufnya berupa kreativitas yang positif (amal saleh). Bingkai ini pula yang dipakai Pak Muh untuk membuka tabir rahasia (makna kontekstual) di balik ibadah puasa: sikap globalis yang akurat. Berupa kesadaran akan kelangkaan sumber daya alam, serta kesadaran akan kebersamaan hidup. Saat berpuasa adalah saat berdialog dengan sumber kenikmatan, berupa sikap/kesediaan untuk menunda. Nanti, nanti, nanti, demikian kata orang yang tengah berpuasa ketika kenikmatan menghampiri.

Berpuasa adalah kesanggupan untuk menunda kenikmatan. Puasa akan memaksa pelakunya berlaku sabar dengan kenikmatan, meskipun itu terang-terang sudah menjadi haknya. Puasa memahamkan kepada kita tentang arti penting materi. Seteguk air putih bisa menghilangkan rasa lapar dan haus seharian. Dengan demikian, ibadah puasa dapat dibaca sebagai bentuk partisipasi orang beriman terhadap sifat kemanajeran Tuhan di muka bumi. Ia telah ikut berkonstribusi menunda kiamat materi akibat eksploitasi dan eksplorasi tak terkendali—hasil dari kesadaran seorang serakah yang mengetahui terbatasnya sumber daya alami.

Berpuasa adalah kerelaan pelakunya untuk berkorban demi kepentingan bersama demi terselenggaranya kehidupan paska jatah hidupnya usai. Ia akan tampil sebagai sosok yang memiliki keteguhan hati di dalam menatap kenyataan dan pandangan positif terhadap kemungkinan. Pak Muh menulis: Seorang yang berpuasa telah dikaruniai kondisi diri yang tidak cedera oleh perubahan ruang dan pergeseran waktu. Efek psikologis yang demikian itu wajar bagi seseorang yang telah berbuat sesuatu atau memberikan dirinya buat masa kini dan masa depan.

Kehadiran buku tentang puasa, baik ditinjau dari sisi ilmu (syariat) maupun segi laku (tasawuf) secara tidak langsung mengabarkan kepada publik tentang kualitas perjalanan keberagamaan umat Islam di Indonesia. Keduanya tidak perlu dihadirkan dalam ruang perdebatan dan pertentangan, apalagi disalahmengerti: kehadirannya saling menegasi. Justru sebaliknya, harus dimengerti sebagai sesuatu yang saling melengkapi. Buku mana yang ingin Anda cicipi, itu menunjukkan karir spiritual Anda kini.♦

Dari Ceriwis Personal ke Ceriwis Kolosal

Written By Agus M. Irkham on 19 Jul 2009 | 23:42




: agus m. irkham

Judul Republik Genthonesia
Penulis Mbah Dipo
Penerbit Pro You, Yogyakarta
Cetakan I 2009
Tebal 254 Halaman

Pasca 1998, setiap orang begitu mudah berbicara tentang ketidakberesan dan pelanggaran, terutama yang dilakukan oleh negara. Jika sebelumnya kritik adalah haram, setelah Soeharto lengser keprabon, kritik menjadi 200 persen halal. Bahkan tiap orang merasa wajib ceriwis terhadap segala problem kebangsaan. Harga sebuah kritikan menjadi demikian murah. Kebanyakan orang menganggap kritikan menjadi sesuatu yang biasa. Akibatnya, seorang pengiritik kehilangan keistimewaannya—matilah si pengkritik.

Keceriwisan dan kritik dalam kadar yang cukup, bisa menjadi vitamin untuk banyak orang. Menyadarkan orang atas ketertiduran kesadaran. Namun ketika ceriwis itu telah mencapai kuantitas melebihi kebutuhan, timbul masalah baru. Kritik dianggap suatu kelaziman, oleh karenanya tidak perlu diperhatikan.

Selain itu, faedah sosial keceriwisan seseorang di tengah massa yang juga ceriwis menjadi demikian kecil. Apa arti gumaman satu orang di tengah teriakan banyak orang. Apa arti terang senter di siang hari. Apa arti nyala lilin dibandingkan terang sinar lampu. Adanya tidak menggenapkan. Tiadanya pun tidak mengganjilkan.

Berderet pertanyaan itu yang muncul usai saya tandas mendaras buku setebal 254 halaman ini. Atas dasar konteks perubahan orde keceriwisan itu pula, kritik Mbak Dipo, penulis buku ini saya golongan sebagai bentuk kesadaran yang terlambat.

Keterlambatan itu dapat kita masuki dari modus lahirnya kesadaran. Yaitu bermula dari konstruksi (tesis), dekonstruksi (antitesis), dan konstruksi baru (sintesa). Republik Genthonesia masih berada di ranah dekonstruksi. Sama halnya dengan buku-buku wacana keceriwisan yang terbit 8-9 tahun lalu, macam Bangsa Saya yang Masih Menyebalkan (Eep Saefullah Fatah), Orde Para Bandit (Benny Susetyo), dan Penjahat Gaya (Orde) Baru (James T. Siegel).

Padahal, proses gerakan penyadaran publik kini tengah bergerak ke titik konstruksi baru (sintesa). Wacana dekonstruksi telah banyak ditinggalkan orang, publik luas juga sudah capek dengan wacana tersebut. Mereka lebih tertarik untuk menekuni tawaran solusi atau konstruksi ulang/baru atas suatu masalah.

Sudah begitu, keceriwisan Mbah Dipo agak berbau sinisme. Semua yang berada di luar dirinya, terkesan buruk dan tidak benar. Sampai dengan halaman 200, saya gagal menggolongkan bahwa Mbah Dipo ini sebenarnya seorang Indonesia atau bukan. Karena seluruhnya bernada pesimis, persis seperti yang tertulis di tiap sub yang mengikat 44 judul tulisan itu: Sisi Kelam, Sisi Buram, dan Sisi Kelabu. Dari 254 halaman, hanya 20 persennya saja yang mengabarkan tentang kebaikan dan optimisme hidup. Sebuah perimbangan yang sangat tidak menguntungkan untuk proses perbaikan suatu bangsa.

Membaca Republik Genthonesia adalah membaca potongan-potongan pengalaman keseharian Mbak Dipo. Bukan hasil sebuah pengamatan utuh atas suatu masalah yang lengkap dengan pendekatan akademik yang ketat. Jadi agak berlebihan memang jika kita berharap akan mendapatkan pembahasan—menyangkut mana gejala, mana sumber masalah, dan bagaimana solusinya—terhadap tiap masalah yang diusung Mbah Dipo secara komprehensif dan memadai.

Angop personal, angop kolosal
Wadah pertama tulisan-tulisan yang terhimpun di buku yang bukan buku ini pun bukan buku, tapi blog. Tabiat asli blog memang memuat catatan keseharian atau semacam diary (catatan harian/jurnal). Dan tujuan awal blog biasanya sekadar curhat, berbagi keresahan. Pada titik itu, sulit bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa Republik Genthonesia hanya sekadar abab atas angop/kuap Mbah Dipo di tengah keletihannya menjalani jelujur waktu sehari-hari sebagai dokter sekaligus “pengusaha” muda.

Angop, atau kuap adalah pemberhentian sementara (transit) antara kedigdayaan akal dan kuasa waktu ketidaksadaran. Angop merupakan mekanisme mikro, sekaligus makro kosmos yang bersifat given. Ketika tubuh lelah, pikiran mentok, ia muncul begitu saja, tanpa kita undang guna menyeimbangkan kembali kondisi fisik dan psikis.

Angop memberi kita waktu, meski sebentar, guna menimbang ulang, apa-apa yang telah kita lakukan di hari itu. Sudahkah baik dan benar. Apakah pelipatan waktu dan jarak yang selama ini terjadi telah menggiring kita ke dalam situasi selalu tidak punya kesempatan untuk melakukan perenungan-perenungan. Karena bisa jadi tanpa sadar, setiap hari kita hanya disibukkan dengan penjelajahan ruang yang bersifat fisikal. Padahal ruang gerak dan bertumbuhnya umat manusia adalah tanggung jawab.

Soal angop, Cak Nun (1996) pernah berujar: “Kegiatan hidup sesungguhnya adalah mengakumulasikan sejumlah “keletihan” yang menindih. Ketika kita letih dalam “festival ketidaksanggupan” menjawabnya, kita memerlukan angop, bikin ventilasi, jendela untuk kesumpekan jiwa kita. Makin letih, makin perlu angop. Oleh karena itu, lanjut Cak Nun, masyarakat, mengalirnya sejarah, senantiasa juga membutuhkan angop-angop. Agar supaya kesehatan kehidupan tetap terpelihara.”

Angop dibutuhkan tidak saja oleh mereka yang dalam hidup sering kalah, terpinggirkan, tidak dianggap penting. Tapi juga golongan masyarakat yang selalu tampil menjadi pemenang. Terlebih mereka yang setiap hari melipat dunia, dan mengalami berkali-kali kematian!

Maka dalam bingkai angop, Republik Genthonesia adalah wujud ketidakberdayaan penulisnya untuk mengubah apa-apa yang ia golongan sebagai kenyataan yang kelam, buram, dan kelabu yang jumlahnya mencapai 44 lema atau entry itu. Melalui Republik Genthonesia, Mbah Dipo mengajak kita untuk angop berjamaah. Dari angop personal menjadi angop komunal, bahkan kolosal.

Republik Genthonesia beda
Satu hal yang membedakan—untuk tidak mengatakan kelebihan—buku terbitan Pro You ini dengan buku-buku wacana dekonstruksi lainnya adalah kemasannya: kover dan gaya tulisan yang komikal, cair, plesetan, guyon, jauh dari kesan bakal mengerutkan dahi pembacanya. Padahal ragam tema yang ditulis di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan besar nan berat: pendidikan, utang luar negeri, kebebasan beragama, politik luar negeri, cara berfikir, hedonisme, reformasi, kualitas layanan kesehatan, kemiskinan, takdir, dan hal-hal berat lainnya.

Hal ini pula yang membuat saya tidak terlalu kuatir dengan pertanyaan: Di zaman penuh kebebasan berekspresi, masih penting dan bergunakah suatu kritikan—seperti yang saya tulis di awal timbangan buku ini. Karena letak persoalannya ternyata bukan pada kritik itu sendiri, tapi lebih kepada bagaimana kritik itu dilontarkan.

Mbah Dipo dengan begitu lincah, misalnya, menghubungkan antara film perjuangan dengan praktik komprador kapitalisme (hlm 12), korupsi dengan kosmetik spiritual (hlm 106), kentut dengan potensi kerusakan suatu bangsa (hlm 137), pencuri sandal dengan praktik kolonialisme baru (hlm 17). Deretan bukti tajamnya mata batin Mbah Dipo tersebut dapat saya perpanjang lagi.

Metafora yang dikemukakan Mbah Dipo sekaligus sedikit mengatasi pula keterbatasan Republik Genthonesia sebagai buku berwacana dekonstruksi yang semula saya sangkai terlambat.

Dan naga-naganya Mbah Dipo paham pameo ini: di bawah matahari tidak ada lagi sesuatu yang baru. Maka tugas seorang penulis adalah menemukan ragam ucap dan pola ekspresi kebahasaan yang beda atas satu tema atau pokok masalah yang sama. Pemahaman Mbah Dipo bertemu dengan kemafhuman Pro You atas produk, bahwa isi (content) itu penting, tapi belum cukup. Isi yang baik harus disempurnakan dengan kemasan (context) yang istimewa pula.

Kecairan bahasa yang digunakan serta kover yang komikal mengisyaratkan kepada kita, bahwa Republik Genthonesia disasarkan kepada pembaca muda. Lebih spesifik mereka yang tengah duduk di bangku SMA dan kuliah. Judul yang digunakan pun sudah mengarah ke situ. Genthonesia, adalah hasil “kawin paksa” antara kata “Gentho” dan “Indonesia”. Perkawinan paksa kata yang kini juga tengah digandrungi golongan muda.

Hanya saja, saking besarnya kehendak Mbah Dipo untuk mencairkan tulisannya, ia terlalu royal menggunakan idiom (bahasa) Jawa. Hingga penerbit berasa perlu membuat footnote atawa catatan kaki. Berapa jumlah footnote-nya? Tak main-main, 266! Jauh lebih banyak dibandingkan keseluruhan tebal buku.

Tentu tujuan pemberian catatan kaki adalah untuk memperjelas makna kata. Dan memang tujuan itu terlunasi, tapi harus dibayar mahal, berupa ketidaknyamanan saat membaca. Terlalu banyak jeda. Sedikit-sedikit menilik ke bawah. Bahkan saya yang termasuk orang Jawa kontingental—ini meminjam istilah Mbah Dipo—selalu tergoda, tidak tahan untuk tidak melihat penjelasan tiap kata yang diberi footnote. Tapi jika footnote diabaikan, resikonya jadi tidak terlalu ngeh dengan maksud kalimat. Karena Mbak Dipo banyak sekali menggunakan bahasa Jawa prokem (preman) yang saya sendiri tidak paham.

Tak terbayang kepusingan yang bakal dialami pembaca yang bukan orang Jawa dan tidak paham bahasa Jawa. Pada titik itu, sadar atau tidak Mbah Dipo telah benar-benar ”menjajah” orang Jawa dan non Jawa.

Maka cara paling tepat membaca Republik Genthonesia adalah dengan pelan-pelan (mendaras). Biar sedikit, yang penting paham. Tidak perlu mengejar target halaman terbaca. Apalagi, karena Republik Genthonesia adalah buku kumpulan tulisan, Anda bisa mulai membacanya dari halaman manapun. Tidak harus dari depan. Tapi mulai di tengah atau belakang pun bisa, tanpa harus kuatir kehilangan alur berfikir penulisnya.

Terlepas dari kekurangan di atas, Republik Genthonesia patut dibaca oleh, terutama golongan muda. Bukan saja karena yang menulis—Insan Agung Nugroho, nama asli Mbah Dipo tergolong masih muda—baru berusia 35 tahun, tapi buku ini telah mengajak secara kreatif golongan muda untuk kritis, dan ceriwis. Mengajak pembaca menemukan realita (konteks) di balik fakta (teks). Mengajak tiap aku untuk turut pula membubuhkan “catatan kaki” atas tiap peristiwa yang dialami. Mengolah kekritisan dan keceriwisan itu menjadi energi untuk menggagas kerja-kerja nyata-kreatif. Dengan begitu harapannya Anda akan menemukan diri sebagai aku yang men-semesta. Bukan diri yang dipenuhi syak wasangka dan ego-ego pribadi.♦

Televisi dalam Pusaran Prasangka

Written By Agus M. Irkham on 26 May 2009 | 19:31




: agus m. irkham

Judul Buku
Berani Notak TV?!

Penulis
Kun Sri Budiasih

Penerbit
DAR! Mizan, Bandung

Tahun Terbit
2005

Kata Pengantar
Idi Subandhy Ibrahim

Tebal Buku
190 halaman


Kalau Saya tanya: Apakah Anda pernah menonton sinetron? Dan Anda menjawab: Tidak pernah! Barangkali Anda tengah belajar berdusta. Sesibuk apapun Anda, secuek apapun Anda, setabah apapun Anda, tetap, suatu saat, entah itu pagi, tengah hari, malam, atau dini hari, sinetron akan memaksa mata Anda memperhatikannya. Kalau tidak dari televisi, minimal dari orang lain. Mengapa? Karena Anda hidup di dunia yang mayoritas manusia tidak akan mematikan televisi.

Mendengar kata televisi, besar kemungkinan yang akan mampir di benak kita adalah segala bentuk prasangka: Dehumanisasi (ini istilah Kuntowijoyo alm.). Istilah yang merujuk pada proses pemretelan kemanusiaan yang dimiliki penontonnya (biasa disebut pemirsa). Pemretalan tersebut menyebabkan pemirsa mengalami ketertelanjangan (cabul). Gaya hidup mewah, menafikan proses, menjual mimpi, penglepasan tak terkendali atas hasrat seksual (pacaran, selingkuh, seks bebas), perebutan harta tak berkesudahan, kekerasan fisik, perendahan mental, menjual kedodolan, mistik—menjadi modus sinetron Indonesia—menggiring pemirsa ke gelanggang ketercabulan sosial. Penelanjangan segala bentuk rahasia, pengeksposan segala bentuk tanda, pengungkapan segala bentuk makna, unlimited, tanpa reserve

Menu Restoran Teve
Membaca pagina demi pagina buku ‘Berani Nolak TV?!’ karya Bunda Kun (demikian ia akrab dipanggil) ini, kita dibawa pada sikap kritis terhadap menu acara teve. Dari madu hingga racun, tulis Bunda. Televisi bisa menjadi madu karena informasi pendidikan politik, kesehatan, kerumahtanggaan, dan lain-lain informasi dapat disajikan dengan tampilan yang menarik, atraktif nan menghibur. Contohnya adalah berbagai acara kuis dan talk show. Kuis menawarkan uji kepekaan dan wawasan pada penonton (hlm 65).
Televisi—racun, melalui sinetron yang mengumbar air mata, keculasan, film yang mempertontonkan syahwat dan mengundang birahi, telenovela yang jauh dari kenyataan hidup yang dijalani, serta tayangan yang mengkampanyekan kesyirikan: Dunia Lain, Gentayangan, Uka-Uka, Di Sini Ada Setan. Hingga Bunda menulis bahwa hantu merupakan bintang teve masa kini (hlm 80).

Penonton teve Indonesia yang notebene-nya adalah negara berkembang, memunyai karakteristik sama. Yaitu sama-sama tidak mempunyai referensi/ literasi dalam menonton atau membaca media. Tidak ada reserve terlebih critism terhadap acara teve. Sekaligus masih tetap berlakunya salah satu ciri manusia Indonesia, temuan Mochtar Lubis (2001)—bahwa manusia Indonesia suka hal-hal yang berbau klenik dan misteri, di samping instan, dan suka menyalahkan pihak lain. Kenyataan ini menyadarkan kita tentang betapa teve kita telah menjadi industri budaya. George Gerbner menyebut sebagai agama baru.

Pada pagina ke-98 Bunda menyajikan data menarik, yaitu kategorisasi sejumlah reality show yang ternyata berpola. Dari lelucon (Spontan, Ngacir, Kopaja, Kacian Deh Lo, Berani Dong, Ide Jahil, Tantangan), cinta remaja (Katakan Cinta, H2C, Playboy Kabel), jumpa artis (Mimpi Kali Yee, Selebriti Nginep, Ketok Pintu, CCK), memancing emosi (Mbikin Orang Panik, Susahnya Minta Maaf, Emosi, Bikin Kejutan), dan horor (paranoid)

Disamping soal reality show, bisnis aib juga menjadi sasaran kritik Bunda: Kabar-Kabari, KISS, Hot Shot, Buah Bibir, Bibir Plus, Mafia Gosip, Peri Gosip, Hot Gosip, dlsb. Berderet nama acara tersebut Bunda simpulkan dengan ajakan satir: “Mari kita makan saudara.” (hlm. 84)
Spasi Intepretasi
Mengetahui perkembangan teve dari sisi acara—salah satu gizi yang dapat kita peroleh dari buku mungil ini. Menerbitkan buku ini, boleh jadi Bunda Kun memunyai empati tinggi terhadap kegerahan sementara orang (penonton teve). Lantaran buku ini hadir di saat banyak pihak membicarakan program acara yang tidak mendidik. Sebelumnya, buku-buku tentang teve jarang sekali yang menjadikan program acara sebagai pusat perhatian. Kalau boleh menyebut contoh, Neil Postman (1995) Menghibur Diri Sampai Mati. Yang isinya pekat dengan pandangan pesimistik Postman terhadap teve. Atau Dedy Mulyana (Bercinta dengan Televisi, 1997) yang lebih melihat dampak sosial dan psikologi teve terhadap manusia/ penonton. Atau Veven Sp. Wardana (2000) yang mencoba membaca teve sebagai bagian dari perkembangan budaya massa.

Maka buku ini mengambil positioning lain. Merupakan spasi intepretasi, bagian dari memberikan advokasi kepada masyarakat berupa media literacy (pendidikan melek media). Membaca buku ini kita jadi paham betapa teve memang pisau bermata dua. Bisa berguna sekaligus dapat melukai.

Meski content/ isi suatu buku penting, tapi belum menjadi formula kemenangan. Rupa-rupanya, karena Bunda Kun lebih menaruh porsi perhatiannya kepada isi, aspek kemasan (context) agak terabaikan. Terbukti tampilan isi melulu didominasi oleh tulisan (abjad). Alangkah lebih menariknya jika mau ditambahkan grafik, diagram pie, gambar contoh tayangan teve, dan lain-lain hingga membuat mata tetap berbinar, bukannya berkaca-kaca karena menahan kantuk.
Kekurangan buku ini, kalau tidak mau disebut kelemahan adalah penggunaan metode analisis isi (contents analysis) ketika mencoba mengkritisi teve, jelas sangat bersifat sementara. Karena program acara bisa dengan cepat berubah. Tidak dalam hitungan tahun, bulan bahkan. Jadi besar kemungkinan kalau buku ini dibaca pada tahun 2007, artinya 2-3 tahun setelah penerbitannya, sudah tidak lagi up to date. Solusi yang ditawarkan pun masih sangat bersifat normatif. Padahal jalan keluar yang bersifat praktis, macam “Mantra Penjinak Teve,” sangat ditunggu-tunggu orang. Yang normatif itu pun dilihat dari sisi produser acara (jujur, efektif, objektif, perkataan mulia, etik bahasa, dan pilihan kata yang baik).

Bunda Kun, ibu rumah tangga yang menjalani kehidupannya sebagai single parent lantaran sang suami tercinta tengah belajar di luar negeri ini, pernah ikut seleksi KPID (Komite Penyiaran Independen Daerah), mengasuh putrinya—Hanifa—yang ketika review ini ditulis baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-5. Dus, plus-minus kita harus mengakui betul-betul diperlukan keuletan sekaligus kebetahan menongkrongi teve. Hingga Bunda Kun berhasil menghadirkan buku ini di hadapan pembaca.♦

Mengintip Jeroan Tv




: agus m. Irkham


Judul Buku
Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia

Penulis
Sunardian Wirodono

Penerbit
Resist Book

Cetakan I
Desember 2005

Jumlah Hlm
xix + 177 hlm (termasuk Indeks)

Berdasarkan sumber pendapatan yang dapat menjamin continuity siaran, tv dapat dibedakan dalam dua kategori: televisi kabel/satelit berlangganan (cable/satelit television), dan televisi komersial (broadcast television). Di Indonesia perkembangan tv berlangganan terbilang masih seret. Maklum, harus bayar, karena tidak mengandalkan perolehan iklan. Lain halnya dengan perkembangan televisi komersial. Tv jenis ini mengandalkan perolehan iklan untuk menjamin keberlangsungan siaran dan stok acara. Pemirsa tidak dikenakan ongkos. Stasiun tv di Indonesia, macam RCTI, TPI, Indosiar, ANTV, Lativi, MetroTV, TV7, SCTV, tergolong ke dalam tv komersial (broadcast).

Dari mana tv broadcast ini mendapat iklan? Tentu saja dari program acara yang ditayangkan. Salahsatunya sinetron (hlm. 26). Sinetron menjadi wadah bagi bertemunya kepentingan tv ( perolehan iklan), PH (nominal harga jual program acara yang tinggi), dan pengiklan (keterjualan produk). Dan ketiganya bertemu dalam satu locus: audience rating.

Audience rating adalah persentase suatu acara tv yang ditonton oleh pemilik televisi dalam satu populasi. Jadi audience rating menunjukkan jumlah orang yang menonton satu mata acara tertentu dibagi dengan total kepemilikan tv dalam satu populasi tertentu. Audience rating dijadikan ukuran buat pemasang iklan untuk beriklan di tv. Jadi logikanya jika audience rating tinggi maka promosi produk jadi efisien, kemungkinan keterjualan produk juga tinggi.

Buat stasiun tv, audience rating bisa dijadikan ‘barang dagangan’—keunggulan komparatif (comparative advantaged) ketika menawarkan programnya ke calon pengiklan (perusahaan). Jadi kalau audience rating tinggi maka perolehan iklannya juga tinggi. Dan anehnya, PH pun menempatkan audience rating sebagai bobot penaik nominal harga jual program yang ditawarkan ke stasiun tv. Sebelum program acara ditayangakan, PH sudah memastikankan digit audience rating yang bakal didapat.

Sebuah episode sinetron yang mestinya sudah habis, lantaran beraudience rating tinggi, stasiun tv pun bisa ‘memaksa’ PH untuk memproduksi kembali. Lahirlah apa yang dinamakan sebagai sinetron kejar tayang, sinetron tambal sulam. PH, awalnya usaha rumahan (sesuai dengan namanya: rumah produksi) tapi kini telah menjadi pabrikan. Yang dalam sehari bisa memproduksi lebih dari satu episode sinetron.

(Pabrik sinetron) Multivision Plus dalam sehari bisa memproduksi 9 (episode) sinetron sekaligus untuk ditayangkan di tiga teve, Star Vision, Prima Entertainment, Rapi Film sehari bisa 3 produksi. Satu pemain karena terikat dengan kontrak eksklusif seperti yang diterapkan Multivision Plus, sehari bisa shooting tiga sinetron sekaligus.

Penulis skenario benar-benar hanya menjadi tukang tulis (hlm. 32). Dalam satu hari harus menulis 3 naskah sekaligus. Hingga tak jarang ketika semua kru dan pemain sudah siap di lokasi shooting, naskah belum turun, atau naskah dikembangkan sesaat sebelum shooting dimulai, atau untuk menghabiskan waktu dengan menambah dialog panjang yang sebenarnya tidak perlu. Relasi antara produser tv dan PH yang demikian menjadi bukti betapa modal ekonomi telah mendominasi wilayah pemilik modal kebudayaan.

Di samping menjadi pembonceng gratis, karena safety, telah terbukti meraup audience rating tinggi, dan siklus produk bisa langsung dipacu untuk sampai pada titik optimal keuntungan, ada juga stasiun tv yang bereksperimentasi dengan meluncurkan program baru. Inovasi, yang harapannya bisa menjadi trend setter. Dengan tetap mengorder ke PH.

Kondisi ini menjadi dasar pijakan tv menawarkan program acara yang ‘gado-gado’, supermarket. Segala acara ada, satu sinetron bisa ditonton untuk segala umur. Apalagi melihat kenyataan bahwa kepadatan kepemilikan teve yang masih rendah. 1 televisi bisa ditonton oleh lebih dari 3 orang. Naifnya, oleh produser tv, sinetron yang menjual mimpi dikatakan bentuk empati mereka terhadap masyarakat miskin. Mereka diberi sesuatu yang dimiliki masyarakat atas, tidak sebaliknya. Kalah di realitas sesungguhnya, menang di kehidupan sinetron. Biar tetap ‘waras’ orang miskin harus terus diberi mimpi.

Membaca buku Sunardian wirodono, kita diajak mengintip jeroan tv. Hanya saja jeroan yang dikuak Sunardian demikian pekat dengan sisi negatifnya saja. Tanpa solusi.. Sepertinya buku ini oleh Sunardian, sengaja dijadikan katarsis. Bentuk apology, sebagai praktisi pertelevisian yang tidak berdaya. Sunardiann hanya memberikan satu pilihan: matikan tv mu!

Jelas ajakan tersebut mengada-ada. Tidak realistis. Apalagi untuk sementara orang yang sudah kadung menjadikan tv sebagai satelit bagi keseluruhan orbit wadag, akal, gerak, dan perasaan. Menjadi kiblat bagi ukuran sistem nilai: baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek, bermoral-immoral, kaya-miskin. Mereka rela menjadwal ulang aktivitas keseharian demi dapat ”masuk” ke dalam tv.♦
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger