Update Artikel Terbaru
Showing posts with label Kiat Menulis Artikel. Show all posts
Showing posts with label Kiat Menulis Artikel. Show all posts

Menulis Artikel itu Gampang!

Written By Agus M. Irkham on 19 Jan 2009 | 16:26

: agus m. irkham

Widodo namanya. Guru sekolah menengah Negeri di wilayah Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ia yang kebetulan menjadi salah satu murid di Klinik Baca Tulis asuhan saya itu, suatu waktu bertutur. Isi tuturan berkisah tentang adanya lomba pemilihan guru berprestasi se-kapupaten Batang. Diharapkan paling kurang, tiap sekolah ada satu guru yang mewakili. Ia pun berniat ikut. Dan menjadi satu-satunya kandidat dari sekolah tempat ia mengajar. Namun, begitu mengetahui salah satu syarat seleksi adalah membuat esai/tulisan tentang pendidikan, ia pun merasa kecut. Lantas mundur teratur.

Meski sudah enambelas tahun mengajar, buat Widodo jarak antara otak dan saraf tangan tetap saja terasa jutaan kilometer. Menulis adalah pekerjaan super sulit. Secara hiperbolis, susahnya menulis ia ibaratkan: tengah duduk menghadap meja. Di atas meja ada kertas dan pena. Sebuah pistol mengarah persis ke kepalanya. Hanya ada dua pilihan buatnya, menulis atau di-dor. Maka dengan berat hati, tawaran terakhirlah yang ia pilih.

Tanpa bermaksud melakukan penyederhanaan kesimpulan—kebanyakan guru lumpuh menulis—kurang lebih, hal itu pula yang saya temui di Semarang akhir juni 2008. Saat itu saya berkesempatan menjadi pemateri pelatihan bertajuk: Pembelajaran Menulis yang Asyik, Menggairahkan Plus Menginspirasi. Dari sekitar 50 peserta yang semuanya adalah guru Bahasa Indonesia (SMA), yang tergolong rajin menulis kurang dari 10 persen! Dari jumlah itu, yang mengirimkan tulisannya ke media massa adalah 0 persen!

Apa gerangan penyebab kelumpuhan itu? Bukankah dalam keseharian mengajar, mereka sudah begitu rapat dengan aktivitas menulis. Meski dalam pengertian yang sempit. Seperti mencatat di papan tulis, menulis jurnal materi pelajaran, menulis presensi, mengoreksi tugas siswa, membuat silabus pelajaran-pembelajaran, dan sebagainya.

Simpulan awal saya, sebab guru lumpuh menulis adalah justru karena kelewat dekatnya mereka dengan aktivitas menulis itu (dalam pengertian sempit). Menulis dipahami sebagai sesuatu yang alamiah belaka. Sudah tradisi dalam pengertian yang negatif. Hingga dianggap sudah selesai. Menulis, ya menulis pelajaran. Titik. Dunia kata tidak dianggap sebagai pengetahuan. Sehingga pengkajian terhadap perkembangan yang menyertainya pun, macam quantum reading, dirasa tak perlu.

Beda salju dan es krim
Kondisi demikian kalau saya serupakan, memasarkan budaya menulis (esai, artikel, resensi, cerpen, kolom, karya ilmiah, dan seterusnya) di tengah keriuhan kegiatan mencatat pelajaran di kalangan guru, bak pinang tak berbelah dengan menjual es krim di kutub utara. Es krim itu tidak laku, lantaran di kutub utara (sekolah), ruahan es (dingin salju) tak berbatas jumlahnya, dan dapat ditemukan di setiap waktu, dan tempat.

Padahal salju dan es krim adalah dua hal yang berbeda. Bahwa keduanya sama-sama dingin, iya. Tapi bagaimana proses keduanya mewujud, tentu sangat berbeda. Salju bersifat alamiah, tetap, mengikuti kaedah kausalitas natural, dan tidak disengaja. Sedangkan es krim bersifat sengaja, by design, pekat rekayasa. Kehadiran es krim, mensyaratkan kreatifitas dan inovasi. Dingin itu dimasak, dibumbui, disajikan secara menarik. Jadilah es tidak sekadar menawarkan dingin. Tapi juga memberikan pengalaman yang berbeda-beda di tiap lidah pencecapnya. Dingin menjadi bernilai, ada harganya. Orang pun rela merogoh saku untuk bisa mencicipinya.

Mestinya, keakraban guru dengan dinginnya salju dapat dijadikan modal awal, untuk kemudian dikembangkan menjadi dinginnya es krim. Bukan sebaliknya. Lalu, di mana kemampuan guru memproduksi es krim (tulisan arti luas) mesti ditempatkan?

Menggali makna baru
Sudah lama, kaum pendidik, golongan cerdik pandai merumuskan tujuan pembelajaran, tidak semata-mata agar manusia mampu bertahan hidup. Tapi juga mengembangkan kehidupan lebih bermakna. Serta turut memuliakan kehidupan.

Dengan demikian kemampuan menulis pada guru harus diarahkan pada, meminjam istilah Machado, keterampilan mengajar belajar. Kalau selama ini ada pameo: guru biasa memberi tahu, guru baik menjelaskan, guru pintar menunjukkan, maka harus ditambah satu lagi: guru luar biasa mengilhami!

Ia, guru luar biasa yang prigel menulis, mampu menggerakkan siswanya untuk mencari dan menemukan beragam bahan pembelajaran. Melalui proses membaca dan menulis secara mandiri. Ia tindih dan berikan makna baru, tradisi menulis (menikmati dingin salju) yang sebelumnya sudah mbalung sungsum itu. Buat siswa, pelajaran mengarang menjadi sarana menemukan diri. Sebuah proses berdimensi kepemimpinan (leadership) dan kewirausahaan (entrepreneurship).

Apa sebab keterampilan menulis dapat ”mencetak” guru yang mengilhami? Ini tak lain tak bukan karena tabiat asli yang dimiliki oleh aktivitas menulis. Yaitu memberi kesempatan orang bereksperimen dengan bahasa, kata-kata dan kesukarannya. Memungkinkan perkembangan penalaran individu yang kritis, dan independen. Merupakan sarana menemukan sesuatu. Melejitkan ide baru, sarana ungkap diri, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep. Membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa. Menulis adalah kunci membaca, menyimak, dan berbicara. Itu artinya buat guru, menulis adalah sarana pembelajaran seutuh usia.

Saya yakin, kebutuhan siswa 10-20 tahun yang akan datang akan berbeda dengan kebutuhan siswa sekarang. Jika para guru tidak mau belajar dengan menambah pengetahuan, terbuka terhadap perkembangan terkini inovasi pembelajaran, menciptakan teknologi pembelajaran baru—semuanya dapat direngkuh melalui aktivitas menulis—maka kredibilitasnya akan jatuh di hadapan siswa.

Menulis artikel
Artikel merupakan salah satu jenis tulisan yang unik. Berisi tentang suatu yang ilmiah, tapi dikemas dengan bahasa yang cair, ngepop dan menarik. Tidak membuat dahi berkerut. Bahasa artikel adalah bahasa pinter. Jika ada pameo orang pintar membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah dipahami. Pameo tersebut berlaku untuk seorang penulis artikel.

Karena pembaca artikel di koran memunyai tingkat “mamah kertas” yang yang berbeda-beda, Anda harus betul-betul bisa membayangkan karakteristik pembacanya. Sehingga bisa menentukan gaya penulisan seperti apa yang akan Anda gunakan. Ini bertujuan untuk mengurangi resiko banyaknya jumlah pembaca yang tidak memahami tulisan Anda.

Salah satu cara untuk mengetahui apakah artikel Anda bisa dipahami oleh orang lain/pembaca, adalah dengan berempati menjadi orang lain. Kemudian Anda membaca artikel tersebut. Anggap artikel itu adalah tulisan orang lain. Jika Anda merasa bingung, berarti tingkat keterbacaan (readability) artikel itu tergolong rendah. Anda harus revisi, agar lebih mudah lagi dipahami. Kalau tidak terpaksa sekali, jangan menggunakan kata-kata sulit (asing). Gantilah kata-kata asing tersebut menjadi kata yang mudah dipahami oleh pembaca.

Tidak ada aturan tunggal atau baku, suatu artikel disebut bagus. Karena bagus-jeleknya sebuah artikel sebenarnya terletak pada suka tidak suka (like and dislike) redaktur, lebih tepatnya pembaca. Ibaratnya Anda suka makan bakso, ketika main ke rumah teman Anda, Anda ditraktir mie ayam. Anda tidak terlalu bersemangat memakannya. Lalu apakah mie ayamnya tidak enak? Belum tentu. Karena ternyata teman Anda memakannya dengan sangat lahap, sampai keluar keringat. Persoalannya bahwa Anda lebih suka dan mengharapkan ditraktir bakso.

Persis seperti artikel. Ketika artikel Anda tidak dimuat, lalu apakah artikel Anda jelek? Belum tentu. Siapa tahu artikelmu belum sesuai dengan keinginan dan kebutuhan sebagaian besar pembaca. Atau gaya tulisan Anda sulit dipahami. Meskipun begitu, ada sih sedikit rumusan sebuah artikel disebut baik, yaitu ketika artikel yang mampu menggerakkan pembacanya. Setiap kalimat yang tersusun membiak menjadi sebuah dialog yang hangat, akrab, dan membahagiakan. Gaya tulisannya unik khas dan beda hingga terus melekat di ingatan. Ia merupakan gabungan antara teks yang dibaca dan pengalaman penulisnya. Buah dari mengakrabi kehidupan. Membuat pembaca mendapatkan sesuatu setelah ia selesai membaca.

Saya punya cara jitu bagaimana melatih menulis artikel yang bagus. Yaitu dengan (awalnya) meniru penulis lain yang saya anggap pas banget dengan gaya yang saya maui. Cara demikian disebut bencmarking. Meniru bukan berarti, lantas saya sekedar copy paste saja, atau hanya sekedar mengekor. Saya coba “meniru” berbagai gaya menulis, lalu menggabungkannya menjadi satu tulisan utuh. Sampai kapan peniruan itu saya lakukan? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan latihan menulis terus menerus. Ternyata proses latihan yang terus tiap hari tanpa putus, membuat saya mulai berani untuk menulis dengan gaya sendiri.

Gaya tulisan penulis-penulis lain membantu saya menemukan gaya tulisan saya sendiri. Seperti itulah arti tulisan orang lain buat saya. Ia hanya sekedar menunjukkan jalan saja, tapi untuk sampai pada yang tujuan, saya harus berproses sendiri. Karena satu metode menulis tertentu untuk satu orang tepat, tapi belum tentu untuk orang lain. Meski begitu sebagai sebuah pilihan cara belajar, teramat sayang kalau harus dilewatkan.

Artikel yang oke
Artikel tergolong jenis tulisan ilmiah populer. Artikel merupakan salah satu jenis tulisan yang paling dikenal orang. Semua isi media massa, baik koran, majalah, maupun tabloid pasti memuat artikel. Nama rubriknya bisa macam-macam. Seperti wacana dan wacana lokal (Suara Merdeka), opini (Jawa Pos, Wawasan, Kompas Nasional), Forum (Kompas Jawa Tengah), Pendapat (Koran Tempo), Gagasan (Solo Pos), dan masih banyak lagi. Tapi isinya sama, yaitu tulisan berjenis artikel

Secara sederhana, artikel dapat dimengerti sebagai tulisan yang panjangnya tertentu (biasanya antara 4500 s.d 6500 karakter atau huruf, termasuk spasi). Berisi pendapat, opini atau pandangan pribadi penulisnya yang diperkuat dengan data dan referensi.

Artikel yang khas, unik dan beda dapat dicandrai dengan membaca judul, lead atau pemantiknya atau ada yang menyebut entry point, gaya penyajian isi serta dan paragraf akhir penutup artikel. Dua hal pertama yang saya sebut, peranannya sangat paling, tapi bukan berarti dua hal terakhir tidak penting. Judul dan pemantik menjadi sangat penting, karena menjadi perhatian pertama (calon) pembaca. Pembaca memutuskan untuk membaca artikel secara lengkap atau tidak biasanya setelah membaca judul dan paragraf pertama artikel.

Maka dari itu, berilah judul artikel dengan judul yang mudah diingat sekaligus “menggigit.” Sebab pembaca hanya perlu 4 detik untuk menyimak. Intimidasilah pembaca agar tergerak untuk membaca saat itu juga. Agar menggigit judul harus relevan, ada hubungannya dengan isi artikel yang Anda tulis. Provokatif, dapat menimbulkan hasrat ingin tahu dan antusiasme pembaca. Di dalamnya terkandung-sebuah kesimpulan. Singkat, mudah ditangkap maksudnya, pendek kalimatnya, dan enteng diingatnya.

Judul bisa memakai plesetan frase-frase yang sudah terkenal misalnya: “Preman Tapi Mesra”. Plesetan dari lagunya grup musik Ratu, Teman Tapi Mesra. “Buruk Muka Struktural, Cermin Sosial Dipecah”. Plesetan dari peribahasa Buruk Muka, Cermin Dibelah. “Jaring Pengamen Sosial”. Plesatan dari Jaring Pengaman Sosial. Atau menggunakan kata yang memunyai kesamaan rima seperti: “Kekerasan, Keti dan Rok Mini.” “Televisi, Kaya Laba Miskin Wacana.” “Manajemen Kurangajar Buku Ajar.” “Bahaya Bangsa Tanpa Minat Baca.”

Setelah judul, sekarang giliran pemantik. Pemantik harus mampu “berbicara,” meninju, menerbitkan rasa penasaran, hingga pembaca bersemangat untuk membaca paragraf-paragraf selanjutnya. Pemantik jangan terlalu panjang cukup dengan 3-5 kalimat pendek. Tiap kalimat antara 5 hingga 10 kata. Salah satu cara menguji apakah sebuah pemantik “bicara” atau tidak adalah dengan membacanya keras-keras. Kalau nafas Anda terasa habis dan tersengal-sengal ketika membacanya, berarti pemantik itu terlalu panjang.

Di bawah ini saya beri contoh pemantik artikel:

“Kalau cowok berbaju ngepas, dibilang macho. Kalau cewek berrok mini, dibilang porno. Kalau cowok banyak pacarnya, dibilang lumrah. Kalau cewek banyak pacarnya, dibilang murah. Itu dulu, sekitar tahun 1989-1990-an awal. Sekarang? Cewek berrok mini, apalagi pede membuka lebar keti (ketiak), justru menjadi tipe cewek yang paling ingin dipacari.”
(Kekerasan, Keti dan Rok Mini. Suara Merdeka, 19 Februari 2006)

Kalau Anda perhatian kalimat di atas, Anda akan menemukan beberapa kata yang memunyai liris sama: macho-porno, murah-lumrah. Kata-kata itu menjadi “amunisi”, hingga pemantik terasa mudah dibaca dan enak didengar. Pemantik juga bisa berupa kutipan langsung. Tujuanya untuk mengagetkan pembaca, sambil mengajak mereka langsung masuk ke dalam tulisan kamu. Sumber kutipan bisa dari buku, ucapan orang lain yang kita dengar, atau pengalaman Anda sendiri, ketika berbicara dengan orang lain. Agar Anda bertambah plong, saya kasih contohnya lagi ya!

“Mas, coba nulis tentang budaya baca warga Semarang, tapi yang mengarah pada optimisme, jangan sebaliknya, justru mendatangkan rasa pesimis dan apatis.” Pinta Joko Pinurbo, penyair asal Yogya, peraih penghargaan Katulistiwa Literary Award 2005, sekaligus wakil pemimpin redaksi majalah Matabaca. Saat itu kami satu mobil dalam perjalanan dari Depok menuju Jakarta. Usai menghadiri talk show “Membangun Komunitas Baca dan Tulis” di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia 20 Maret 2003. Saya mengiyakan saja permintaan itu, saya tampung, untuk kemudian…lupa!”
(“Budaya Baca Warga Semarang.” Kompas Jawa Tengah 30 Mei 2006, berjudul).

Isi artikel yang disukai pembaca adalah artikel yang tidak berkesan menggurui, tidak bertele-tele, mengandung unsur humor, dan jika memaparkan data, tidak membuat pembaca bingung. Buatlah paparan data itu mudah dipahami oleh pembaca yang paling awam sekalipun.

Sekarang ada yang namanya kaedah jurnalisme presisi. Secara sederhana, oleh Eriyanto (1999) diartikan sebagai metode penulisan (dan atau artikel) dengan menggunakan penelitian ilmu sosial kuantitatif. Peristiwa, karakteristik, tingkah laku, atau sikap diubah menjadi angka-angka untuk ditelaah dan dianalisis.

Apa guna meneliti sebelum menulis? Pertama membantu kita mengurangi kesalahan, ketidakakuratan, ketidakobjektifan tulisan. Kedua, kita benar-benar menjadi orang yang tahu bukan sekadar pengamat atau pembuat analisis. Paparan data bisa berwujud tabel, diagram, grafik, dan sebagainya.

Dan terakir adalah penutup atau closing. Tutup tulisan Anda dengan kalimat (paragraf) yang mengundang pembaca tersenyum sekaligus merenung. Membuat penasaran, mengompori pembaca untuk memberikan tanggapan (polemik), atau berupa penegasan sikap yang bersifat mengajak. Contoh:

(1)
“Masyarakat cilukba adalah masyarakat hangat-hangat tahi ayam. Gampang heboh, latah, emosinya gampang tersulut, tapi juga gampang lupa. Kemarin ramai bicara soal kenaikan harga BBM, sekarang sibuk berbicara soal impor beras, besok soal reshuffle kabinet, lusa entah larut tentang apalagi. Ketika ditanya soal itu semua, modus jawabannya hanya satu: sudah lupa tuh! “
(“Dari Buta Huruf Sampai Cilukba.” Kompas 17 Februari 2006)

(2)
“Di tengah rencana pemerintah menghidupkan kembali komando teritorial (KOTER), pengawasan ketat terhadap pesantren-pesantren, dan setiap warga negara dihimbau untuk segera mendaftarkan nomor ponsel yang dimiliki—himbauan berbau paranoid. Tentu upaya melejitkan potensi humoris yang dimiliki tiap individu menjadi begitu relevan. Namun, ini harapan Saya, mudah-mudahan saja kita tidak meninggal gara-gara Mati Ketawa Cara Rus… eh Indonesia!”
(“Mari Menertawai Diri Sendiri.” Kaltim Post, 22 November 2005)

Bersihkan tulisan Anda dari kesalahan penulisan huruf, terutama kesalahan ejaan kata asing. Jangan sampai artikel yang Anda kirim penuh dengan “bedak” yang menutup kesalahan penulisan yang kelewat banyak. Endapkan saja sehari-dua hari, baca lagi. Baca versi cetaknyadi (print out), karena akurasinya lebih tinggi dibandingkan membaca langsung di layar komputer.

“Kebersihan” tulisan sangat membantu redaktur membaca dan menyeleksi tulisan. Jika baru membaca judulnya saja, sudah menemukan kesalahan huruf, tentu untuk membaca tulisan selanjutnya menjadi malas. Memastikan tulisan bersih dan benar (clear and correct) akan sangat membantu kenyamanan pembaca. Karena berdasarkan pengalaman saya, saya pernah mengirim tulisan, meskipun sudah mati-matian saya edit, tetap saja ada satu dua huruf yang kelewat. Padahal artikel sudah kadung saya kirim. Singkat cerita ketika dimuat, ternyata kesalahan itu belum dibetulkan. Meski tidak mengurangi substansi isi keseluruhan tulisan, tetap saja saat dibaca terasa mengganggu.

Mata baru belajar menulis
“Menulis itu sulit!”
Jujur, saya kaget mendengar kalimat itu. Bukan apa-apa, sebab kalimat yang sempat saya ikat tersebut keluar dari sosok yang selama ini dikenal luas sebagai penyebar virus baca tulis—Hernowo. Kalimat yang di tujuh bukunya selalu ia simpulkan sebagai mitos.

Obrolan kami bermula ketika saya memenuhi undangan temu peresensi buku Mizan, pertengahan Agustus 2007 lalu, di jalan kaliurang, Yogyakarta. Kebetulan Hernowo menjadi salah satu pembicara di perhelatan bertajuk ”Buku Melangitkanku” itu.

Saat itu sembari menunggu acara dimulai, kami berbaku cakap tentang proses kreatif, lantas berujung ke soal menjamurnya sekolah menulis dan pelatihan menulis. Menyoal betapa gampangya orang menghubungkan antara pelatihan kepenulisan satu-dua hari, bahkan hanya 2-3 jam, dengan perolehan: mendadak menjadi penulis, tulisannya dimuat media, menerbitkan buku dan meraup keuntungan ekonomi (uang) dari menulis.

Maraknya pembelajaran menulis dan pelatihan menulis boleh dibilang akibat perkembangan positif dunia penerbitan buku. Jika data dari Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) dapat dijadikan sandaran, sampai dengan akhir tahun 2005 saja, tak kurang ada 625 penerbit. Atau sekitar 800 penerbit, jika penerbit di luar IKAPI dihitung. Jika tiap tahun, taruhlah tiap penerbit menerbitkan 12 judul buku baru. Maka tiap tahun akan ada penambahan 9.600 judul buku baru. Padahal untuk ukuran penerbit besar dalam setahun bisa menerbitkan ratusan judul buku. Tentu, capaian angka minimal itu menjadi daya tarik tersendiri buat muka-muka baru, untuk ambil bagian dalam bisnis isi, yakni dengan turut menulis buku.

Pelatihan menulis misalnya, berlangsung tidak saja melalui sistem kelas (off line), tapi juga via internet (e-mail). Yang termasuk off line, diantaranya: Jakarta school yang digawangi AS Laksana, dan Yayan Sopyan (mantan wartawan tabloid Detak). Pena Learning Centre, dibidani Farid Gaban, Yogya Writing School, Sekolah Menulis Tarbawi, Sekolah Bunga Lotus bikinan Saiman Artisto, penulis skenario Brownies, dan Sekolah Menulis Dokarim (Aceh).

Sedangkan yang online, contoh terdekat—sekarang sedang mekar-mekarnya—
Belajar Menulis dot com (www.belajarmenulis.com) yang dirintis oleh pendiri milis penulis lepas, Jonriah Ukur yang akrab disapa Jonru.

Besaran “investasi program” yang dipatok masing-masing “lembaga” pun berbeda. Termasuk durasi waktu pelatihan. Dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Dari datu-dua jam, hari, minggu, hingga satu semester. Meski berbeda mereka bertemu dalam satu titik: menjadi penulis bukan impian. Menulis itu bisa dilakukan siapa saja. Menulis bukan masalah bakat, tapi soal keterampilan. Sampai di sini, kita pun dapat menyimpulan bahwa: perolehan kemampuan menulis di sekolah menulis adalah tujuan, bukannya alat. Mudahnya, orang ikut sekolah menulis dijamin akan menjadi penulis!

Menjadikan kemampuan menulis menjadi tujuan itu sah-sah saja. Meski nuasa kelewat menyederhanakan, tak dapat dihindari. Karena hanya menyangkut ranah materi (karya, harta). Lagian, kalau itu yang dijadikan satu-satunya tujuan, justru akan menjadi senjata makan tuan, jika ternyata lulusannya tidak bisa menerbitkan satu buku. Atau tidak ada satu pun, tulisannya nongol di media.

Maka dari itu, rekomendasi saya—yang merupakan simpulan akhir obrolan dengan Hernowo—pembelajaran menulis harus diarahkan pada upaya melakukan penjelajahan, penguraian dan pemahaman diri (self digesting). Membuat para peserta berani membuka diri. Hingga memampukan mereka mengenali segi-segi unik yang melekat pada dirinya.

Oleh Hernowo, secara mudah self digesting dapat dipahami sebagai sesuatu yang akan memampukan kita untuk merumuskan diri setahap demi setahap. Hingga kita akan diantarkan menuju sebuah wilayah yang mengajak kita untuk mengenal diri kita lebih baik.

Hasil akhir dari penjelajahan diri melalui aktivitas menulis adalah: kebahagiaan. Ini sebenarnya tujuan akhir dari pembelajaran menulis. Menulis hanya sekadar alat. Alat untuk memproduksi kebahagiaan. Kebahagiaan yang dirangsang dari dalam. Karena buat apa menulis, menerbitkan buku, dapat uang banyak, tapi jiwa tetap dilanda kekuatiran dan kecemasan.

Maka dari itu, jika seseorang sudah merasakan bahagia saat menulis, percaya deh sama saya, menerbitkan buku, atau tulisan dimuat di media massa hanya soal waktu saja. Dalam konteks ini, ungkapan ”menulis itu mudah” mendapati dasarnya. Inilah yang disebut mata baru belajar menulis. Dan ke sudut itu semestinya pembelajaran menulis diarahkan.►
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger