Home » » Gelap di Dalam Mencari Terang di Luar

Gelap di Dalam Mencari Terang di Luar

Written By Agus M. Irkham on 1 Dec 2010 | 02:20



:: agus m. irkham

Jalan Cinta Para Pejuang. Ada 3 hal penting yang saya dapatkan dari buku anggitan Salim A. Fillah itu. Pertama, terbaca benar bahwa penulisnya sangat mencintai ilmu. Kedua, ajakan untuk menjadikan kisah-kisah para sahabat Rasul SAW sebagai acuan. Bukan selalu menjadikan teks yang ditulis oleh orang Barat, sebagai rujukan. Ketiga, seruan untuk senantiasa berjamaah. Bersatu dalam barisan yang diikat dengan tali bernama persamaan aqidah. Layaknya pemuda-pemuda Ashabul-Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi (18) ayat 13-25.

Berkelompok untuk sesuatu yang bermanfaat, dan menjadi sarana untuk saling nasihat menasihati dalam sabar dan takwa. Mengasah kesadaran diri untuk berani mengambil tanggungjawab/amanah yang lebih berat. Jamaah yang pada akhirnya mampu melahirkan sosok-sosok yang langgeng (istiqomah) dalam berfikir dan bertindak untuk kebaikan umat muslim. Pada wilayah yang lebih luas. Dalam ranah persoalan kemanusiaan-kehidupan yang lebih dalam.

Jamaah yang mencitrakan tongkrongan global paradigma global. Bukan sebaliknya tongkrongan global paradigma lokal. Satu ungkapan yang saya gunakan untuk menunjukkan bermunculannya berbagai komunitas (jamaah) yang didasarkan pada apa-apa (benda) yang dipunyai. Benda yang menunjukkan hasil dari kreatifitas dan teknologi canggih. Tapi benda tersebut digunakan untuk sesuatu yang entah. Sesuatu yang tidak ada sangkut paut dengan kebenaran. Alih-alih mampu memberikan kemanfaatan ke publik luas, justru semakin membuat pemiliknya, anggota jamaah/komunitas kian tercerabut dari akar persoalan umat yang sesungguhnya.

Setelah membaca buku ini, ada semangat yang meluap-luap pada diri saya untuk mencari nama-nama sahabat Nabi. Sekaligus merekam peristiwa yang pernah berlangsung di antara mereka. Kejadian yang tergelar di masa-masa paling baik dalam jelujur kisah kehidupan manusia di dunia itu. Tidak hanya itu, juga kisah kehidupan dan akhlak generasi sesudahnya, yaitu generasi salafussaleh.

Tentu yang demikian tidaklah istimewa buat mereka yang karib dengan jalan dakwah dan dekat dengan jamaah. Tapi buat saya yang sebelumnya begitu dekat dengan wacana-wacana dekonstruksi, kajian-kajian komunisme sosialisme, lekat dengan komunitas-komunitas yang longgar dan liberal, baik dalam pemikiran, sikap, maupun tindakan, pilihan untuk kembali ke rahim Islam menjadi jalan yang tidak mudah untuk saya tempuh.

Jalan Cinta Para Pejuang membukan tabir yang selama ini menghijabi mata batin saya. Bahwa sumber terang yang saya cari selama ini selamanya tidak akan pernah memberikan pencerahan-penyadaran. Selagi di sini, di batin ini, di hati ini mengalami kegelapan. Gelap di dalam mencari terang di luar. Saya sibuk menyalakan lilin, membawanya berjalan, berharap nyala lilin itu mampu menerangi tiap langkah kaki yang saya ayunkan. Sementara, pada waktu berbarengan saya dengan sengaja menutupi mata ini dengan selembar kain tebal. Sebuah pemandangan yang paradoksal. Itulah kehidupan saya. Kehidupan sebelum menemukan Jalan Cinta Para Pejuang.

Saya menyakini, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua by design. Termasuk apa yang terjadi pada saya kaitannya dengan Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A. Fillah, dan Pro U Media, penerbit buku itu. Walaupun kesan awal yang muncul, sepertinya serba kebetulan.

Awalnya, ini agak bersifat pribadi. Begini ceritanya. Saya menikah akhir tahun 2004. Di awal tahun 2005 istri saya diundang menjadi salah satu pembicara di acara peluncuran majalah di Yogyakarta. Selain istri, ada pembicara satu lagi, ustadz Mohammad Fauzil Adhim. Di sinilah untuk pertama kali saya mendengar nama Salim A. Fillah disebut. Ceritanya saat itu Ustadz Fauzil bertutur soal kecenderungan buku-buku epigon bertema pernikahan dini. Ia merujuk nama Salim sebagai contoh. Bukan contoh yang buruk, melainkan contoh yang baik. Meskipun tema sama, tapi Salim mampu menyajikan dengan adonan, dan cara penyajian yang berbeda. Demikian kira-kira ucap Ustadz Fauzil.

Usai acara, sesampainya di rumah saya bertanya ke istri, Salim itu siapa? Maka mulailah istri saya bercerita panjang lebar. Mulai dari keberanian Salim nikah dini, kesannya terhadap buku karya Salim yang berjudul Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, hingga rencana mewawancarai Salim untuk salah satu majalah remaja terbitan Jakarta. Jujur dari cerita yang panjang lebar itu hanya satu yang menerbitkan rasa ketertarikan saya, yaitu bahwa istrinya Salim pernah nge-kos di rumah adik nenek istri saya.

Tapi ketertarikan itu tidak sampai membetot rasa ketertarikan saya untuk segera membaca buku karya Salim itu. Buat saya yang saat itu masih riuh dengan persoalan-persoalan besar—perkembangan politik, kekuasaan, praksis pendidikan, masa depan kemanusiaan, strategi perubahan, pengangguran, saluran transformasi, kemiskinan, dan persoalan-persoalan besar lainnya—buku tentang pernikahan, dini pula, saya anggap sebagai persoalan sepele nan domestik.

Waktu terus berjalan. Awal Juni 2009 saya diundang Forum Lingkar Pena Semarang menjadi pemateri pelatihan penulisan. Pelatihan berlangsung di gedung serba guna Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Di sinilah saya bertemu dengan sosok yang saya dengar namanya kurang lebih 5 tahun lalu itu. Salim A. Fillah menjadi pemateri kedua. Kesan saya pada Salim hanya satu kata: muslim ideolog. Itu saja. Meskipun usia biologisnya masih muda, paling kurang jika dibandingkan dengan saya, tapi umur kesadaran dan luasan wilayah sosial dan tanggungjawabnya lebih tinggi nan luas.

Setelah pertemuan yang ’tidak disengaja’ tersebut, lantas apakah saya serta merta mencari anak-anak rohani (baca: buku-buku)nya?

Belum!

Hingga akhirnya Allah SWT., ’memaksa’ saya untuk membaca karya Salim. Bagaimana cara Allah SWT memaksa saya? Ikuti terus tulisan ini.

Maret 2009. Pro U Media, penerbit buku asal Yogya, yang merupakan satu-satunya penerbit yang dipilih Salim—entah kalau yang terjadi sebaliknya, Salim yang dipilih penerbit—mengadakan lomba resensi buku. Singkat cerita, alhamdulilah resensi saya atas buku berjudul Republik Genthonesia menjadi pemenang pertama. Resensi tersebut saya kirim ke panitia, kalau tidak salah kira, pekan ketiga bulan Juli 2009, menjelang batas akhir penerimaan naskah lomba. Atau sekitar satu bulan setelah saya bertemu Salim. Jika pembaca berkeinginan mendaras hasil timbangan saya atas buku karya Mbah Dipo tersebut silakan berkunjung ke link berikut: http://kubukubuku.blogspot.com/2009/07/dari-ceriwis-personal-ke-ceriwis.html

Ahad, 11 Oktober 2009. Saya memenuhi undangan penerimaan hadiah. Acara dikemas dalam acara asyik full manfaat bertajuk Syawalan Tumplek
Bleg Pro-U Media. Ada satu ungkapan yang sampai sekarang masih saya ingat, ungkapan ini keluar dari salah satu pembawa acara yang bergaya gojek (bercanda) saat mencandai pengunjung yang mayoritas pelajar SMA dan Mahasiswa. “Hujan air saja tidak mau berangkat ngaji, bagaimana kalau di Palestina, di sana kan hujan peluru!” Ditimpali dengan suara hehehe di akhir ungkapan itu.

Di helatan inilah untuk kali kedua saya bertemu, bersalaman, bertegur sapa, dan maaf, ber-cipiki cipika ukhuwah dengan Salim. Di gelaran acara ini pula saya mendapatkan gambaran yang utuh atas diri Salim, karya, dan penerbit (orang-orang yang berhimpun di Pro U Media). Kelak Allah SWT., kembali mempertemukan saya dengan Salim di acara Temu Penulis Pro U—justru pada saat buku saya masih dalam proses penyuntingan—belum terbit. Baik sangka saya, barangkali Allah SWT., hendak mensegerakan proses lahirnya kesadaran pada diri saya.
Selain mendapatkan hadiah berupa uang tunai, saya juga mendapat hadiah buku. Ada sekitar 20-an judul buku, salah satunya adalah Jalan Cinta Para Pejuang. Dari titik inilah saya mulai mendaras karya Salim. Jadi proses pembacaan itu saya lakukan setelah saya mendapatkan bingkai dan kacamata yang lumayan benderang tentang kedirian penerbit dan penulisnya.

Pesan tersirat dari Jalan Cinta Para Pejuang, Pro U Media, dan Salim A. Fillah adalah ketiganya bisa optimal karena berkah berjamaah. Penulis menjadi representasi penerbit. Demikian sebaliknya penerbit menjadi pintu awal para (calon) pembaca mengenal penulis dan karyanya. Integrasi seperti ini yang saya lihat sering lepas. Dan selimut integrasi itu satu yaitu kesamaan aqidah yang lurus.

Lalu, apa bentuk implikasi strategis paling nyata yang dihasilkan usai membaca Jalan Cinta Para Pejuang? Implikasi yang memberikan manfaat tidak saja hanya untuk diri si pembaca (personal), yakni saya, tapi juga lingkungan di sekitar saya (komunal-sosial).

Sejak lulus kuliah strata satu, Juli 2004 saya memutuskan diri untuk bekerja lepas, dengan alasan tidak mau terikat. Tepatnya tidak mau diperintah dan tidak mau terikat dalam komitmen berjangka panjang. Tiap tawaran pekerjaan yang mengharuskan saya memiliki atasan dengan jam kerja tetap—nine to five—saya tolak. Filosofi saya adalah tetap bekerja, bukan bekerja tetap. Jadi ada saja yang saya kerjakan. Mulai dari jualan buku, menjadi editor buku, penulis lepas di koran, menjadi trainer kepenulisan, hingga menjadi konsultan di BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Saya sungguh menikmati ‘petualangan’ itu.

Hingga pada satu titik, saat sendiri, saat hening di kebeningan waktu menjelang fajar batin saya bertanya: sampai kapan saya akan menjalani kehidupan seperti ini. Kesenangan berpetualang, membuat saya hampir-hampir tidak memiliki sahabat, alih-alih jamaah yang ikatannya sekuat kerabat. Yang ada adalah semua relasi didasarkan pada target-target pekerjaan bersifat material. Tapi pada waktu yang sama, saya juga belum memiliki ketetapan hati untuk mengakhir episode petualangan itu. Hingga akhirnya saya ‘dipaksa’ oleh Allah SWT., untuk membaca Jalan Cinta Para Pejuang.

Buku itu memberikan tambahan pemahaman dan kesadaran: sudah saatnya saya mengakhiri petualangan itu, dan beralih pada upaya untuk menyemai benih kebaikan dan perubahan, menyirami, menyiangi, memelihara hingga tumbuh dan berbuah. Gaya hidup soliter (superman, personal) harus saya ganti menjadi sikap hidup solider (superteam, komunal, berjamaah).

Akhirnya Mei 2010, secara penuh saya bergabung ke dalam keluarga besar Sekolah Alam Islam Terpadu Auliya. Lembaga pendidikan yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah ini memberikan layanan pembelajaran mulai dari Play Group, Taman Kanak-Kanak, hingga Sekolah Dasar. Dan secara khusus saya diserahi tanggungjawab untuk membidani kelahiran SD-nya.

SAIT Auliya ini saya identifikasi sebagai tempat berhimpunnya orang-orang muda yang terus saja bermimpi tentang terbentuknya kesadaran umat yang menjadikan nilai-nilai islam sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan dan pemberdayaan potensi kemanusiaan dalam kehidupan aktual. Serta melejitkan semangat berpengharapan kepada golongan yang lemah secara sosial, ekonomi, terutama pendidikan.

Saya melihat di Kendal telah tumbuh golongan menengah muslim. Golongan menengah dapat dicandrai melalui ukuran tingkat kesejahteraan ekonomi, peranan sosial, dan tingkat pendidikan. Jika merujuk pada sejarah perubahan peradaban yang senantiasa digerakkan
oleh golongan menengah, maka para orangtua yang ’menitipkan’ putri-putrinya di SAIT Auliya ini memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan. Sungguh sayang, jika potensi itu hanya berhenti pada kata pontensi, lantaran tidak ada wadah yang berperan sebagai katalisator, penyatu, sehingga pontensi-potensi itu menjadi sinergi.

SAIT Auliya kami tempatkan sebagai wadah bagi para walimurid untuk berbagi informasi, inspirasi, empati, pengetahuan dan pemahaman tentang pendidikan dan kepengasuhan. Harapannya mereka akan menjadi sosok yang berkarakter, menjadi orangtua yang kredibel, soleh, cerdas, sekaligus profesional. Sebuah modal penting untuk memulai ikhtiar perubahan.

Pada akhirnya, dengan penuh takzim harus saya ucapkan: Jazakumullah akh. Salim.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger