Home » » Sastra Jadoel, Riwayatmu Kini...

Sastra Jadoel, Riwayatmu Kini...

Written By Agus M. Irkham on 27 Feb 2009 | 00:10

: agus m. irkham

Di tengah riuhnya penerbitan novel chicklit, teenlit, dan momlit, penerbit Balai Pustaka nekat menerbitkan ulang buku-buku sastra era tahun 20-an dan 30-an. Sastra jadoel (jaman doeloe) itu dikemas ulang dengan mengganti tampilan kover, jenis kertas, font, dan layout isi. Bahkan ejaannya pun telah disesuaikan dengan EYD. Hanya gaya ungkap dan bahasa saja yang masih dipertahankan.

Tak kurang 16 judul sudah dikemas ulang. Beberapa di antaranya: Sitti Nurbaya-Kasih Tak Sampai (Marah Rusli), Atheis (Achdiat K. Mihardja), Layar Terkembang (Sutan Takdir Ilisjahbana), Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Idrus), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Salah Pilih (N. ST. Iskandar), dan Habis Gelap Terbitlah Terang (Armijn Pane). Balai Pustaka, penerbit yang berdiri pada 1917 itu merencanakan jumlah total buku yang akan dikemas ulang 35 judul.

Pamrih utama menerbitkan kembali sastra jadoel dengan pengemasan baru adalah dalam rangka menyapakan ragam ucap karya sastra mula, lengkap dengan isu-isu yang berkembang saat itu pada pembaca muda, terutama remaja. Harapan terjauh yang hendak dicapai adalah berupa meningkatnya apresiasi terhadap karya yang “betul-betul nyastra” di kalangan pembaca muda. Dengan begitu capaian rasa bahasa, kesadaran kemanusiaan, dan kebersejarahan mereka juga meningkat.

Tidak efektif
Rupa-rupanya Balai Pustaka hendak membangkitkan kembali romantisme masa lalu, ketika novel Sitti Nurbaya dan novel-novel seangkatannya menjadi bacaan wajib bagi para remaja kala itu. Seperti hendak mengatakan bahwa novel jadoel adalah chicklit di zamanya. Sebuah upaya mulia.

Namun pertanyaan adalah, efektifkah langkah itu? Mengingat remaja sekarang tumbuh di zaman posmodern yang melumerkan segala yang bersifat kanon. Menolak segenap sesuatu yang datang dari masa lalu, yang identik dengan keagungan, kesakralan, serta hal-hal besar lainnya.

Tentang penggunaan bahasa pun, remaja sekarang lebih memandang penting maksud ketimbang struktur kalimat. Kecenderungan berbicara dengan gaya ngingris, saya kira dapat menjadi contoh paling mewakili. Dan yang demikian ternyata tidak saja dalam bentuk bahasa ucap, tapi juga tulis. Meledaknya novel-novel chicklit atau yang segagrak dengan itu dapat dipandang sebagai wajah bahasa remaja sekarang. To the point, langsung pada sasaran, ceplas-ceplos, tanpa ba bi bu, ringkas, dan jelas, tidak mengundang multi tafsir.

Remaja saat ini hanya mau akrab dengan bacaan (novel) yang menggunakan bahasa keseharian (lisan), lengkap dengan ungkapan lingo/prokem gaul di sana sini. Kata dan bahasa yang digunakan langsung dapat ditelan, tidak perlu dikunyah telebih dahulu.

Buat remaja sekarang akan terdengar ganjil di telinga mereka jika ada petikan kalimat seperti ini: “Oh, Anakku, mukamu tak ubahnya warna jambu air yang sudah sempurna masak.” (ucapan tuan du Bussee kepada Corrie dalam novel Salah Asuhan-nya Abdoel Moeis).

Itu dalam hal ihwal bahasa, belum lagi perbedaan tantangan dan tentangan yang dihadapi remaja sekarang. Dan ternyata, meskipun sudah ada perubahan kover, tetap saja kurang menarik. Warna yang dipilih sebagian besar kusam. Ilustrasi yang ditorehkan pun, nuansanya masih terasa serius, nan suram. Jelas sekali akan kalah bersaing dengan kover novel-novel chicklit yang kebanyakan menawarkan keceriaan, meskipun dari segi capaian artistik agak artifisial.

Bahwa ada keberlangsungan permasalahan yang mewarnai novel-novel jadoel dengan masa sekarang, sehingga tetap bisa baca dalam perspektif ke-Indonesiaan saat ini, itu benar. Tapi, Balai Pustaka juga harus paham bahwa lebarnya bentangan jarak waktu novel jadoel dengan remaja sekarang, sebagai pembaca, turut pula menciptakan jarak psikologis dan sosial. Novel jadoel wajah baru masih dirasa terlalu serius. Modalitas kebahasaan yang dimiliki para remaja sekarang tidak sanggup untuk mendaras novel-novel seperti itu.
Apalagi sekarang ini ada perubahan mendasar dalam ranah keberangkatan awal (motivasi) membaca pada remaja. Membaca tidak lagi disandarkan pada kebutuhan memperluas cakrawala pengetahuan, memperkaya cara pandang terhadap suatu masalah, atau mempertajam matahati, tapi semata-mata aktivitas rekreatif, dan perburuan nilai tanda. Sarana memupuk rasa aman secara sosial. Hal itu menyebabkan buku-buku yang dibaca cenderung ringan, memiliki faedah praktis-jangka pendek, serta tidak menawarkan kedalaman.

Peran Munsyi
Sitti Nurbaya dan novel sezamannya sebagai produk budaya (cultural product) saya kira sudah tuntas menyelesaikan tugasnya. Tidak perlu lagi dibebani dengan berbagai tugas tambahan, mendisiplinkan para remaja dalam berbahasa Indonesia. Biarlah darma itu dilanjutkan para munsyi zaman ini. Munsyi, oleh Remi Silado (2005) dicandra sebagai komprehensi ganda antara seorang dengan inklanasi kesukacitaan berbahasa Indonesia, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seorang yang tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang kreatif dalam identitas kepujanggaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya.►
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger