Home » » Buku untuk Perubahan

Buku untuk Perubahan

Written By Agus M. Irkham on 18 Mar 2009 | 22:03



: agus m. irkham

Judul itu yang menjadi tema World Book Day (hari buku sedunia), dua tahun lampau. Benarkah sebegitu besar pengaruh buku? Hingga didaulat sebagai sarana (tools) menuju perubahan. Perubahan ke arah perbaikan dan kualitas hidup tentu saja. Tapi, bukankah tetap saja yang paling menentukan adalah pembacanya? Artinya, sebesar apapun kandungan gizi sebuah buku, kalau tidak dibaca, hanya tinggal onggokan kertas bertumpuk. Tak bermakna. Alih-alih memunyai faedah sosial. Bahwa teks memunyai hak atas makna, itu betul. Tapi bahwa pembaca memunyai hak yang sama pula untuk mencipta makna, itu juga tidak salah. Dengan demikian hanya buku-buku yang dibaca saja yang memunyai potensi melakukan perubahan. Apa pasal?

Karena membaca memungkinkan terbentuknya persimpangan antara dunia kehidupan pembaca dan dunia teks. Sehingga berlangsung tindakan eksistensial pembaca yang membuat makna sendiri atas teks. “Pembaca seperti menerapkan makna tekstual ke dalam kehidupan konkretnya,” ujar Karlina Leksono Supeli. Berpartisipasi di alam kesamaan makna yang ada di dalam teks.

Puncak pemahaman atas sebuah karya tulis tercapai ketika pembaca memahami dirinya lebih baik. Memahami dirinya dengan cara yang berbeda. Secara sederhana, pembaca mampu melakukan kemungkinan-kemungkinan dan keberlangsungannya, lewat apa yang ia baca.

Buku bukan hanya jendela dunia, melainkan di dalam buku ada hidup dan kehidupan itu sendiri. Karena membaca bukan suatu kegiatan yang ditambahkan melainkan yang berjalin dengan makna teks. Para pembaca adalah pencipta-bersama makna. Teks menjadi sebuah kehadiran yang mengatasi kungkungan waktu.

Masih menurut Karlina—mengiyakan yang dikemukakan Virginia Woolf—cara terbaik untuk membaca adalah dengan (juga) menulis. Dengan menulis, seorang mencoba bereksperimen dengan bahaya kata-kata dan kesukarannya. Membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkit kepekaan terhadap kemanusiaan.

Adam Malik, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Bung Karno—founding fathers Indonesia—adalah sekadar beberapa nama yang hidup dan perjuangan mereka banyak terinspirasi buku. Buat mereka proses pembacaan terhadap buku memercikan sinar pencerahan dan geliat perubahan.

“Seluruh waktu kupergunakan untuk membaca.” Ucap Bung Karno, dalam sebuah perbincangan dengan Cindy Adams. Secara jujur Bung Karno mengakui, kalau dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Swami Vivekananda, Mahatma Gandhi, dan J. Krishnamurti, melalui buku-buku mereka.

Bahkan bagi Bung Karno, membaca bukanlah monolog, tetapi dialog. “Di dalam dunia pemikiranku, aku pun berbicara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris; aku berhadapan dengan Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Karl Marx, Friederich Engels, dan Lenin dari Rusia. Aku juga bisa mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand, dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Prancis.”

Virus Bacaan
Berbicara soal buku dan perubahan, sulit bagi saya untuk tidak menyebut nama
McClelland, seorang psikolog sosial yang tertarik pada masalah–masalah pembangunan. McClelland mempertanyakan, mengapa ada bangsa-bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, dan ada yang tidak. Dia memperbandingkan bangsa Inggris dan Spanyol, yang pada abad ke-16 merupakan dua negara raksasa yang kaya raya. Sejak saat itu Inggris terus berkembang menjadi semakin besar. Namun Spanyol menurun menjadi negara lemah. Mengapa bisa terjadi demikiani? Apa penyebab timbulnya ketimpangan kemajuan tersebut?

Setelah mencari beberapa aspek melalui penelitian dan pembuktian yang nyata, akhirnya McClelland menemukan jawabannya. Ternyata faktor penentu perbedaan itu terletak pada (buku) cerita dan dongeng anak-anak yang terdapat di kedua negeri tersebut. Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 itu mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi” (need for achievement). Sedangkan cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melo, tarian, justru—membuat penikmatnya lunak hati, meninabobokan.

McClelland juga mengumpulkan 1300 cerita anak-anak dari banyak negara dari era 1925 dan 1950. hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerita anak-anak yang mengandung nilai achievement (hasrat berprestasi) yang tinggi pada suatu negeri, selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan yang tinggi pula, pada negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian. Penelitian McClelland menghasilkan satu kesimpulan: buku (bacaan) memunyai kekuatan mengubah seseorang.

Linear dengan pernyataan novelis-jurnalis, Mochtar Lubis: “Buku, senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan dalam nilai-nilai manusia dan kemasyarakatan.”

Menyadari itu semua, tidak berlebihan kiranya kalau saya katakan: orang tidak gemar membaca (buku), hampir kehilangan segalanya dalam hidup!♦
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Anonymous
Wednesday, March 18, 2009 10:52:00 pm

membaca adalah hidupku,
hidupku adalah membaca, :)

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger