Home » » Mereposisi Peran Forum Lingkar Pena

Mereposisi Peran Forum Lingkar Pena

Written By Agus M. Irkham on 29 Jun 2009 | 21:54



: agus m. irkham

Kemapanan melahirkan kemandekan. Pameo itu yang kini menghampiri Forum Lingkar Pena (FLP). Meskipun yang kasat terlihat dinamis, tapi sejatinya ritmis. Berputar ulang. Itu-itu saja. Saling berlepasan, crash program. Mulai dari arisan naskah yang akan dipertukarkan dengan dana untuk perhelatan internal, dan amal, penggalangan dana, acara peluncuran buku, pelatihan menulis, jumpa penulis, pendirian taman baca (Rumah Cahaya), hingga diskusi penulisan. Jika sangkaan itu menuntut asnad, silakan tengok isi milis forum ini.

Tahun 2009 ini, FLP genap berusia 12 tahun. Ibarat manusia, umur 12 tahun tentu masih jauh untuk disebut matang. Tapi untuk ukuran umur organisasi, 12 tahun bukanlah waktu yang pendek. Sudah saatnya FLP menengok kembali apa saja yang telah dilakukan, apa yang belum, lebih penting lagi—setelah demikian mapan—akan dibawa ke mana organisasi kepenulisan ini? Apakah sudah puas, merasa cukup karena telah didaulat menjadi organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia? Lega, karena telah disebut sebagai pabrik penulis? Sebutan yang kalau mau dijereng lebih lebar, bisa berarti satu ungkapan bernada eufemis sarkastis. Apakah program-program yang dihelat selama ini sudah mengarah kepada pembangunan kapasitas FLP sebagai sebuah organisasi?

Seiring dengan perubahan kondisi keberaksaraan di Indonesia, saya kira FLP juga harus berubah. Dalam pengertian visi dan strategi pencapaian tujuan. Kalau sepuluh tahun pertama bisa saya sebut sebagai fase lahir dan tumbuh yang syarat dengan aktivitas yang saling berlepasan, lebih fokus pada konsolidasi internal, maka sepuluh tahun kedua bisa diarahkan pada fase pengembangan. Pengembangan yang ditujukan pada kelompok sasaran yang lebih luas, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberaksaraan (stakeholders), serta mereka yang menjadi bagian dari program keberaksaraan (shareholders). Isu-isu yang diangkat pun, seyogianya harus berubah.

Jika saat kelahirannya, 1997 FLP boleh dikata menjadi satu-satunya komunitas yang menyerukan betapa pentingnya aktivitas keberaksaraan (membaca-menulis), maka sekarang ini, paling kurang mulai awal tahun 2000-an FLP tidak sendirian. Puluhan komunitas literasi lahir, tumbuh, dan berkembang. Ada yang eksis hingga kini, namun tidak sedikit pula yang pingsan, mati suri, dan mati. Namun, beragamnya komunitas literasi tersebut, ternyata tidak disertai pula dengan keberagaman tujuan, aksi, dan program yang digagas. Hampir semuanya bertemu pada satu lokus: perbukuan, yang meliputi aktivitas membaca-menulis-menerbitkan-meluncurkan buku, mendirikan taman baca, mengadakan lomba menulis, dan pelatihan kepenulisan. Ada banyak irisan kegiatan antara FLP dengan komunitas literasi lainnya. Hingga pada titik itu FLP kehilangan keunikannya.

Perlu dipikirkan bersama (repositioning), peran (ke depan) yang hendak dimainkan FLP seiring dengan perubahan situasi dan kondisi keberaksaraan di Indonesia. Peran yang akan menambah nilai dan bobot kontribusi FLP— dalam konteks komunal, bukan individual/salah satu atau dua eksponennya—kepada perkembangan dan kemajuan keberaksaraan di Indonesia.

Pada kesempatan kali ini, izinkan saya beriur usul, 2 (dua) kerja besar yang dapat dilakukan FLP guna meningkatkan kapasitas dan peranannya di dunia keberaksaraan.
Baik di tingkat lokal, regional, lebih-lebih dalam cakupan nasional dan internasional.
Kerja besar yang saya ajukan adalah pertama, RISET LITERASI, dan yang kedua, mendirikan SEKOLAH MENULIS yang dikelola dengan kaidah-kaidah industrial.

RISET LITERASI
Saya memimpikan di tiap akhir tahun FLP mengadakan jumpa pers (press conference) yang melansir hasil-hasil penelitian keberaksaraan (riset literasi). Riset tersebut murni dilakukan FLP dengan menggandeng pihak lain. Sekaligus memberikan rekomendasi dan proyeksi kepada stakeholders keberaksaraan tentang misalnya: kecenderungan tema buku yang bakal dicari orang di tahun depan (sebagai upaya penulis/FLP agar tidak didikte penerbit), pergeseran pola pengelolaan taman baca, penyebutan 20 Buku Rekomendasi untuk Perpustakaan Sekolah dan Rumah, pemetaan arah dan gerak komunitas literasi, dan sebagainya.

Dengan demikian, tiap akhir tahun, para stakeholders keberaksaraan, terutama penerbit dan pembaca akan menunggu-nunggu, kira-kira buku apa yang akan menjadi tren atau kecenderungan. Layaknya dunia mode—buku sebagai gaya hidup. FLP menjadi pusat rujukan/nara sumber/referensi banyak pihak ketika berbicara tentang keberaksaraan (temasuk di dalamnya, adalah dunia perbukuan). Ingin tahu peta keberaksaraan di Indonesia? Silakan datang ke Forum Lingkar Pena.

SEKOLAH MENULIS
Saya membayangkan SEKOLAH MENULIS forum lingkar pena (SM FLP) dikelola dengan sistem managemen modern. SM FLP mengembangkan materi pelatihan menulis, dan membakukannya menjadi kurikulum (content) yang bersifat baku, tetap, reguler, dan pasti. Tidak hanya kurikulum tapi juga menyangkut standar cara pengajarannya (context), dan kualifikasi instuktur/pengajarnya. Kurikulum tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat teknis menulis, tapi menyangkut pula sisik melik dunia perbukuan dari sisi industrinya.

SM FLP juga mengeluarkan semacam daftar buku wajib baca di tiap jenjang dan varian kelasnya, di samping tentu saja mengeluarkan (mencetak) modul-modul pelatihan yang akan digunakan sebagai buku pegangan para siswanya. Sebagai pilot project bisa memilih kota yang memiliki sumber daya, dana, serta pasar yang besar. Jakarta misalnya. Setelah sistem yang dijalankan mapan, baru membuka ”cabang” di daerah-daerah. Sebagai acuan/bahan perbandingan-pertimbangan bisa dengan mengadopsi cara-cara yang telah digunakan primagama (menggunakan sistem franchise).

Dengan menaklik potensi sumber daya yang dimiliki FLP, saya berkeyakinan, RISET LITERASI dan SEKOLAH MENULIS bukanlah sesuatu yang di atas langit sana, sebaliknya sangat realistis.
--------------------------------------------------------
Usul saya (mudah-mudahan berkenan) tentang ”Repositioning Forum Lingkar Pena” ini menjadi salah satu agenda penting yang dibicarakan di Munas, Agustus 2009 nanti. Wadahnya bisa berupa LOKAKARYA atau SEMILOKA yang bersifat terbuka. Mengundang pembicara yang mewakili kepentingan keberaksaraan. Misalnya dari Praktisi Perbukuan, Instruktur Literasi, dan orang yang termasuk Generasi Awal FLP. Harapannya FLP dapat dibedah dengan pisau (perspektif) industri perbukuan, dan komunitas literasi. Tapi titik pusat perhatiannya bukan lagi pada karya, tapi pada FLP-nya itu sendiri (capacity/institutional building).

Simpulan-simpulan penting yang didapatkan dari LOKAKARYA ini dapat dijadikan semacam rekomendasi atau masukan penting dalam rapat PLENO, ketika membicarakan tema: ”Setelah FLP berusia 12 Tahun, lantas hendak dibawa ke mana?” Sekaligus menjadi masukan penting pula buat pengurus baru ketika menyusun program kerja. Apakah masih akan berkutat dengan program penambahan anggota baru dan pembukaan cabang/wilayah, atau mulai berani untuk menggeser pusat perhatiannya ke arah penguatan eksistensi institusi. Sehingga antara anggota dan lembaganya saling bertumbuh. Bukan sebaliknya. Eksponenya kian besar, lembaganya tidak berkembang.♦
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

Friday, January 14, 2011 8:35:00 pm

GAGASAN SEGAR MAS BOS... I LIKE IT

Friday, January 14, 2011 11:22:00 pm

tks. satu kali, baik sekali kalau FLP bisa memperjuangkan item asuransi buat penulis di tiap klausul Surat Perjanjian Penerbitan.

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger