Home » » “Keajaiban” Pemasaran Al-Quran

“Keajaiban” Pemasaran Al-Quran

Written By Agus M. Irkham on 20 Jan 2009 | 20:19

: agus m. irkham

Buat Anda yang muslim, izinkan saya bertanya. Apakah Anda memunyai Al-Quran? Berapa eksemplar yang Anda punyai? Al-Quran itu Anda beli sendiri atau dibelikan orang lain? Kapan Al-Quran itu dibeli?

Besar kemungkinan jawaban Anda seperti ini: Punya, satu eksemplar, dibelikan orangtua, wah lupa kapan, karena sudah lama sekali, yang saya ingat saat itu baru saja memasuki usia baligh.

Jawaban yang menerbitkan kesimpulan, penerbitan Al-quran cepat mengalami kejenuhan. Bagaimana tidak jenuh, sekali beli, dipakai hingga mati. Kalau memang membeli lagi, biasanya menunggu hingga Al-quran yang dimiliki betul-betul sudah tidak bisa terpakai—karena lama tidak dibaca. Bisa karena ada halaman yang sobek, dimakan rayap, atau debu yang menempel kelewat tebal. Dan yang demikian siklusnya bisa puluhan tahun.

Sepintas, jalinan klausul jenuhnya penerbitan Al-Quran di atas masuk akal. Tapi ketika menilik lebih dalam gerak hidup penerbitan Al-Quran, simpulan itu menjadi tidak bunyi. Ini sekadar contoh, Karya Toha Putra (KTP), Semarang. Penerbit yang mengkhususkan diri mencetak Al-Quran dan kitab kuning itu mengaku kuwalahan melayani permintaan pasar. Dalam satu tahun, tak kurang dua juta eksemplar Al-Quran diserap pasar.

Padahal dari sisi harga dibandingkan dengan penerbit lain, relatif paling mahal. Sudah begitu KTP mengambil kebijakan produksi zero stock alias semua produk dilempar keluar, tidak menyimpan cadangan produk di gudang. Untuk varian produk Al-Quran, KTP mengeluarkan 99 seri/edisi. Penandaan seri dengan menggunakan 99 nama Allah (asmaul husna). Di tiap seri bisa memiliki lebih dari 4 variasi ukuran. Seri yang dimaksudkan di sini terbatas hanya pada perbedaan disain dan warna kover, ukuran, serta tampilan isi (bergaris, ayat pojok).

Gelaran temuan tersebut baru di KTP, belum di penerbit lainnya. Karena ternyata apa yang dialami KTP juga dialami penerbit lainnya. Dengan kuantitas dan kualitas cetak yang tentu saja bervariasi.

Lalu apakah dengan begitu pemasaran Al-Quran dapat dikatakan mengandung keajaiban?

Sepintas memang demikian. Hingga orang mulai menghubungkan keajaiban itu dengan kedudukan Al-Quran sebagai mukjizat. Tapi kalau mau kita telisik, sejatinya ajaib hanya kesan. Tetap saja model penjualan dan pola penerbitan Al-Quran dapat dicatat sebagai sesuatu yang common sense. Memenuhi kaedah pemasaran yang secara umum telah dikenal.

Lantas, siapa sebenarnya sasaran market penerbitan Al-Quran? Meskipun belum diketahui secara persis besaran kontribusi masing-masing, pasar potensial Al-Quran dapat dikategorikan sebagai berikut.

Pertama kolektor Al-Quran. Barangkali lebih tepat kalau disebut sebagai pencinta Al-Quran. Setiap ada model baru Al-Quran, baik menyangkut tampilan kover, warna, ukuran, dan halaman isi, pasti langsung dibeli. Misalnya KTP mengeluarkan 99 seri. Dengan tiap seri katakanlah ada 5 macam variasi ukuran. Maka buat seorang kolektor, Al-Quran berjumlah 495 (99 x 5) eksemplar itu akan langsung diborong.

Kedua, para muslimin yang hendak melangsungkan pernikahan. Dalam setiap pernikahan hampir dapat dipastikan Al-Quran dijadikan maskawin, di samping tentu saja Anda pasti tahu…seperangkat alat shalat. Anda bisa menghitung sendiri, dalam satu bulan berapa ribu, bahkan (mungkin) ratus ribu orang yang melangsungkan pernikahan. Dengan kata lain—simpulan yang agak berlebih—selama ada peristiwa penikahan, selama itu pula eksistensi penerbit Al-Quran akan tetap terjamin.

Ketiga, anak-anak yang sudah menyelesaikan pembelajaran membaca huruf hijaiyah melalui iqro maupun qiroati akan meneruskan pembelajarannya dengan langsung membaca Al-Quran. Nah pada kesempatan itu, biasanya sebagai wujud rasa syukur dan bahagia orangtua akan membelikan Al-Quran untuk si anak. Market share lapis ketiga ini besaran yang paling mendekati jumlah pastinya juga bisa dihitung. Penghitungan itu bisa dimulai dengan menghitung jumlah taman pendidikan Al-Quran yang ada di satu wilayah (kabupaten, propinsi, nasional).

Keempat, Al-Quran juga sering digunakan sebagai hadiah pernikahan, ulang tahun, khitan, dan waqaf. Khusus untuk terakhir yang disebut, biasanya pembelian berlangsung secara besar-besaran dan melibatkan institusi, bukan penjualan retail yang sifatnya pribadi/personal. Pada beberapa kejadian, bahkan institusi langsung memesan ke penerbit yang sekaligus bertindak sebagai pencetak. Pesan langsung karena alasan teknis. Misalnya logo dan nama institusi yang harus tertulis di kover. Atau waqaf Al-Quran itu diberikan dalam rangka peristiwa/kejadian khusus.

Faktor yang menentukan mengapa sebuah institusi memesan langsung ke penerbit, yang lalu-lalu bukan didasarkan pada harga (keunggulan komparatif), apalagi hasil kasak-kusuk atau kuatnya tim pelobi (pemasaran) satu penerbit, tapi semata-mata ditentukan oleh kualitas dan rekam jejak penerbit (keunggulan kompetitif).

Pasar Al-Quran yang kelima adalah santri yang baru masuk ke pesantren. Meskipun sebelumnya mereka sudah memunyai Al-Quran, biasanya oleh orangtuanya akan dibelikan lagi. Ada juga, santri senior, karena kelewat sering menjamah Al-Quran, mengakibatkan kertas lecek, akhirnya membeli Al-Quran lagi. Dengan demikian pesantren dapat disebut sebagai stakeholders inti penerbit Al-Quran. Irisan terbesar pasar yang kelima ini berada di pulau jawa.

Penerbitan Al-Quran memang tergolong unik. Keunikan itu misalnya menyangkut harga jual. Pembeli biasanya langsung mengiyakan harga yang ditawarkan penjual. Berapa pun harganya. Ada semacam beban psikologis, berupa rasa malu jika akan menawar. Menginginkan surga kok minta diskon. Karena di alam bawah sadar calon pembeli, membeli Al-Quran sama dengan membeli surga. Keunikan lainnya, penerbit tidak perlu membayar royalti penulisnya. ►
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger