Home » » Berhentilah Mencela Perpustakaan!

Berhentilah Mencela Perpustakaan!

Written By Agus M. Irkham on 10 Feb 2009 | 00:15

: agus m. Irkham

Entah bagaimana suasana batin orang-orang yang begitu bersemangat menceritakan temuannya tentang perpustakaan yang buruk. Seolah-olah hanya ia saja yang tahu. Lalu tidak kuasa menanggung tahu itu. Hingga ia merasa seisi dunia harus segera diberitahu. Ia anggap temuan itu adalah liyan (lain). Ia tidak perlu merasa bersalah, membiarkan keburukan itu terjadi. Ia tidak perlu merasa menjadi bagian dari apa yang ia temukan.

Tapi anehnya, semangat untuk mengabarkan kepada dunia kok tidak terjadi, ketika misalnya menemukan perpustakaan yang baik. Apakah memang selama ini belum ada seorang pun yang mendapati perpustakaan daerah dalam kondisi baik?!
Ganjilnya, kok tidak ada ya, yang menulis tentang perpustakaan Kabupaten Wonosobo dengan konsep one stop information, membuatnya diganjar sebagai perpustakaan daerah (kabupaten dan kota) terbaik pertama (nomor tiga tingkat nasional) di Jawa Tengah. Meski terbilang perpustakaan ndeso, layanan buka sampai jam 9 malam. Tiap hari tak kurang 1000 pengunjung datang, baik sekadar membaca atau hanya meminjam. Perpustakaan yang para stafnya berkemampuan menjadi fasilitator rumah belajar-rumah belajar di beberapa kecamatan.

Lainnya, kok tidak ada ya, yang menulis tentang perpustakaan Kota Magelang, yang melengkapi varian layanannya dengan klinik baca tulis, turut menelorkan beberapa penulis yang tulisannya sudah mulai menghiasi beberapa media, baik regional (Jateng – DIY) maupun nasional.

Perpustakaan yang hanya memiliki 25 staf, itu pun mayoritas ibu-ibu,—pada awal September 2007 lalu nekat menyelenggarakan acara pameran perbukuan dan perayaan komunitas literasi selama lima hari. Dan sukses! Padahal acara serupa jika dikerjakan oleh birokrasi pemerintah bisa menghabiskan dana ratusan juta lantaran jumlah panitia yang sak ndayak (banyak sekali). Sudah begitu, sepi pengunjung.
Kok tidak ada ya, yang menulis tentang perpustakaan pendidikan nasional, Jakarta. Lazim disebut library@senayan, yang sanggup menghadirkan perpustakaan layaknya cafe. Mampu menjadi magnet buat mereka yang tidak saja suka buku, tapi juga nonton, nge-net, sekaligus ngobrol.

Sayang, orang-orang yang mengaku dekat dengan dunia kata, pustaka, perbukuan, justru lebih suka bernada sumbang,mencela, ketimbang menyumbang tenaga dan pikiran agar perpustakaan yang ideal dalam gambaran mereka dapat terwujud.
Saya justru kuatir, orang-orang demikian (pencela perpustakaan fundamentalis) jatuh pada verbalism. Sering mengritik, mencibir dan gaduh soal perpustakaan, lantas menganggap kegaduhan itu sebagai bentuk kerja nyata. Mereka sering menjadikan fakta (temuan) sebagai sasaran tembak. Dari soal petugas yang cemberut, buku berdebu, koleksi tidak lengkap, katalogisasi acakadut, dan lain-lain.

Mestinya perjalanan dilanjutkan pada upaya menelisik, bagaimana fakta itu bisa terjadi (realita). Apakah memang temuan-temuan itu merupakan sebab, bukan akibat? Apakah kekacauan itu disengaja oleh petugas perpustakaan atau sekadar hasil dari kekerasan struktural yang dilakukan negara, khususnya pemerintah daerah? Apakah para pegawai perpustakaan itu benar-benar benar pelaku ”kejahatan pustaka” atau hanya korban? Korban dari kebijakan yang memang tidak memihak kepada mereka (baca: perpustakaan).

Saya kira sudah saatnya teman-teman penggerak perbukuan, aktivis literasi, kerani pustaka, berhenti bernyaman-nyaman di menara gading. Hanya berkoar saja. Jangan hanya lincah menghentakkan jari di atas keyboard dan betah mematut diri di depan layar komputer. Turunlah. Sapa dan dengarkanlah kesulitan mereka, para pustakawan yang membutuhkan teman sekaligus advokasi dari luar (kalian). Saya yakin dalam perpustakaan-perpustakaan yang dinilai buruk itu ada satu dua mutiara. Yang jika digosok akan mengkilat, memesona. Adalah tugas para eksponen komunitas perbukuan untuk menemukan dan menggosok mutiara itu-mutiara itu.

Soal mutiara dalam lumpur perpustakaan daerah, ada satu kenyataan menarik ketika saya ke perpustakaan kabupaten Magelang (berada Jl. Dr. Sutomo, Muntilan). Kenyataan yang memaksa saya berulang kali mencubit kulit lengan lantaran disergap rasa tak percaya. Hari itu, saya mendapati salah satu petugasnya ”marah-marah” pada pengunjung. Selidik-punya selidik, kemarahan itu berawal dari salah satu pengunjung yang meminta tolong pada petugas untuk mencarikan buku. Lantas petugas langsung mencarikan dan dapat. Dengan enteng, si pengunjung berterima kasih, sambil meminta maaf. Seolah-olah permintaanya itu dianggap sebagai bentuk kesalahan. Nah, anggapan itu yang rupa-rupanya membuat si petugas “marah”.

”Anda salah, Anda tidak perlu minta maaf, saya digaji memang untuk melayani masyarakat, pengunjung, anggota perpustakaan, termasuk Anda. Saya tersinggung dengan permintaan maaf Anda.” Demikian kira-kira ucapan si petugas kepada pengunjung.
Buat para peresensi buku, tumbuhkanlah inisiatif masyarakat untuk berkontribusi meramaikan perpustakaan. Jadilah jembatan yang menghubungkan antara masyarakat pembaca, perpustakaan dan penerbit. Misalnya dengan program-program kreatif yang dirancang berjalan secara reguler: ketemu penulis, peluncuran buku, pelatihan menulis buku, pelatihan meresensi buku, bedah buku, dan sebagainya.

Mengapa demikian? Karena sepertinya—paling tidak untuk saat ini—buat menghidupkan perpustakaan kita tidak bisa mengandalkan pemerintah. Hak harus direbut. Daya tawar harus ditingkatkan. Kesadaran di masyarakat bahwa perpustakaan itu penting harus diledakkan. Karena selama ini, banyak sekali usulan pengembangan perpustakaan ditolak oleh pemerintah daerah (terutama dewan), lantaran dianggap lembaga yang tidak menghasilan uang. Sekaligus dianggap hanya usulan satu dua orang di perpustakaan, bukan dari masyarakat.

Nah tunggu apalagi, berhentilah berbusa-busa kata!
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger