Home » » BSE dan Ancaman PHK

BSE dan Ancaman PHK

Written By Agus M. Irkham on 10 Feb 2009 | 00:19

: agus m. irkham

Kebijakan buku murah melalui BSE (buku sekolah elektronik) yang diluncurkan Presiden SBY pada pertengahan Agustus 2008 lalu, dampaknya mulai dirasakan oleh banyak penerbit buku teks pelajaran. Mereka harus menanggung retur dan buku tak terjual. Menurut Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Darma, jika 250 penerbit anggota Ikapi masing-masing memiliki stok dua juta eksemplar buku, maka saat ini ada sekitar 500 juta buku yang tidak terjual (Kompas, 25/11/2008).
Dalam situasi demikian—ketika semua jalan keluar tertutup—tentu saja satu-satunya pilihan yang tersedia buat para penerbit adalah: melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran.

Sifat industri penerbit buku pelajaran
Saya melihat ancaman PHK itu sebagai satu bukti betapa penerbit buku pelajaran selama ini bersifat oligopolis. Meskipun jumlah penerbit buku pelajaran ratusan—yang berkesan persaingan sempurna—sejatinya yang benar-benar besar, yang menguasai pasar, dapat dihitung dengan jari. Besar dalam pengertian memiliki kapasitas produksi optimal, jaringan distribusi sangat luas serta berskala ekonomi tinggi. Sehingga ongkos produksi per eksemplarnya pun sangat efisien (kecil). Harga pokok produksi kecil mengakibatkan harga jual jadi relatif murah.

Tuntutan tingginya efisiensi di industri buku pelajaran, didorong oleh luas dan besarnya pasar. Penerbit buku pelajaran, dalam domain industri perbukuan, menjadi satu-satunya sub domain yang memiliki pasar paling raksasa. Satu judul buku sekali naik cetak tidak lagi 3000 atau 5000 eksemplar tapi bisa langsung 100.000 eksemplar, bahkan lebih.

Contoh sederhana yang dalam beberapa kesempatan sering saya sebut—untuk menggambarkan betapa besarnya potensi pasar buku pelajaran: taruhlah buku teks pelajaran bahasa Indonesia untuk SMA kelas 1, semester ganjil. Di Kota Semarang saja, ada kurang lebih 79 SMA, baik swasta maupun negeri, Jika tiap sekolah kita ambil jumlah minimal siswa kelas 1 (paralel) adalah 300 siswa. Maka total ada 23.700 siswa, yang dalam pandangan penerbit berarti eksemplar buku yang bakal terjual. Itu baru kelas 1 semester ganjil di Kota Semarang. Belum semester genap, di kelas yang lebih tinggi, di kota dan provinsi lain.

Apalagi setelah ada kebijakan BSE yang boleh dicetak dan diperjualbelikan dengan harga eceran tertinggi patokan pemerintah, Rp15.000. Penerbit sebelum memutuskan menerbitkan buku ajar harus menghitung terlebih dahulu jumlah minimal cetakan (skala ekonomi)—yang pastinya sangat besar, dan butuh modal besar pula agar dapat memenuhi harga jual patokan pemerintah. Termasuk mencatatkan item margin keuntungannya yang sudah digariskan pemerintah, yaitu hanya 15 persen.
BSE, alat saring

BSE merupakan alat saring buat penerbit buku ajar. Hanya penerbit-penerbit besar saja yang mampu bertahan. Lainnya akan rontok. Dengan kata lain, BSE merupakan alat pemerintah guna memaksa penerbit agar menjual buku pelajaran dengan harga murah. Dan dalam pandangan pemerintah, penerbit besar mampu melakukan itu. Jadi, dalam pandangan pemerintah, mahalnya harga buku pelajaran dapat disimpulkan karena banyaknya penerbit kecil yang ikut bermain. Karena kapisitas produksi kecil, skala ekonomi rendah, proses produksi tidak efisien, harga jual eceran per eksemplarnya pun jadi tinggi (mahal).

Tiap kebijakan kondisi trade off (ada pihak yang harus dikorbankan) sering kali tidak bisa dihindari. Dalam konteks kebijakan buku murah, nampak jelas penerbit buku pelajaran berkapasitas kecil menjadi pihak yang paling terkena getah.
Apa boleh buat, pemerintah, dalam hal ini Pusat Perbukuan (Pusbuk) harus mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yaitu terbukanya kesempatan para siswa mengakses buku ajar. Mendapatkan buku ajar dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau.

Dengan begitu, ada kesan memang, pemerintah menganggap sepi kepentingan para pekerja buku (editor, layouter, desainer, dan yang lainnya). Termasuk tidak memperhitungkan risiko ekonomi dan dampak sosial akibat pemutusan hubungan kerja.
Tindakan apa yang harus diupayakan para penerbit buku teks pelajaran dalam hal ini adalah Ikapi, agar penerbit tidak melakukan PHK besar-besaran? Pertama, melobi pemerintah agar diberi kesempatan menghabiskan stok buku yang belum laku.
Kedua, membawa masalah ini ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lantaran melalui BSE pemerintah (Pusbuk) berkesan hendak ”memonopoli” kembali pengadaan buku teks pelajaran. Sehingga nuansa pertentangan dan persaingan antara penerbit dan pemerintah (Pusbuk) tidak bisa ditutup-tutupi.

Ketiga, penerbit buku pelajaran mesti melihat kemungkinan untuk beralih menjadi penerbit buku umum. Meskipun, tentang ganti mengganti ini bukanlah persoalan mudah, tapi paling tidak sumber daya yang dimiliki seperti editor, layouter, desainer, dan yang lainnya masih dapat diberdayakan. Sehingga kalau memang tetap harus mem-PHK, tidak dilakukan secara besar-besaran

Menurut saya, di tahun 2009 ini, penerbitan buku umum akan semakin bergairah nan kompetitif. Akan bermunculan penerbit-penerbit baru, yang notebene-nya penerbit lama-buku teks pelajaran. Sedangkan di ranah penerbitan buku ajar, kian bersifat oligopolis. Hanya menyisakan segelintir penerbit saja yang mampu bermain. Yaitu mereka yang sejak mula tergolong arus utama, besar, dan mapan.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger