Home » » Indonesiaku (Masih) Kurang Buku

Indonesiaku (Masih) Kurang Buku

Written By Agus M. Irkham on 27 Feb 2009 | 00:07

: agus m. irkham

Judul di atas, pernah digunakan Tiras (10/5/1996) ketika melansir perkembangan penerbitan buku di Indonesia yang merujuk pada laporan UNESCO (Statistical Year Book, 1993). Berdasarkan laporan UNESCO, jumlah judul buku baru yang diterbitkan “sebesar” 0,0009 persen dari total penduduk. Artinya hanya 9 judul buku baru untuk setiap satu juta penduduk.

Itu dulu, sekarang?

Ada dua pernyataan penting menyangkut Indonesia dan (minat baca dan tulis) buku. Pertama, berlangsung pada 19/12/2008. Saat meluncurkan Toko Buku Gramedia di Grand Indonesia, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa bangsa yang maju pasti memiliki masyarakat yang maju pula. Masyarakat yang maju ditopang oleh masyarakat yang gemar membaca (buku). Reading society menjadi prasyarat utama menuju advance society.

“Kalau kita ingin jadi advance society harus berangkat dari reading society. Ini adalah jalan yang tepat,” terang Presiden SBY yang juga penulis buku Indonesia on The Move itu.

Kedua, terjadi pada 27/1/2009. Saat memberikan sambutan pembukaan Kompas Gramedia Fair ke-22 di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengungkapkan bahwa Indonesia perlu mengatasi ketertinggalan dari segi minat baca dan jumlah penerbitan buku. Di Vietnam, harga buku dipastikan murah karena ada subsidi dari pemerintah. Buku-buku literatur sastra terkenal dunia dapat dibaca warga Vietnam dengan harga murah dan mudah didapat di toko buku. (Kompas, 28/1)

Pernyataan pertama mendedahkan harapan, pernyataan kedua membeberkan kenyataan. Kenyataan bahwa Indonesiaku (masih) kurang buku. Sekadar perbandingan, coba sandingkan dengan Vietnam. Indonesia dengan penduduk 225 juta setiap tahun hanya memproduksi 8.000 judul buku. Sedangkan Vietnam dengan 80 juta penduduk sudah memproduksi 15.000 judul. Padahal Vietnam baru merdeka tahun 1968. Duapuluh tiga tahun setelah Indonesia merdeka. (Tajuk Rencana Kompas, 31/1)

Artinya di Indonesia, 35 judul buku baru per satu juta penduduk. Sedangkan Vietnam sudah 187 judul buku baru per satu juta penduduk. Vietnam melesat jauh di atas rerata negara berkembang, yaitu 55 judul buku baru per satu juta penduduk.

Di Indonesia secara absolut, pertambahan jumlah judul buku baru per satu juta penduduk dari tahun 1993 hingga 2008 adalah 26 judul. Namun secara relatif (pertahunnya), hanya 1,73 judul. Sangat memprihatinkan.

Bagaimana kenyataan itu dapat dijelaskan? Lewat pintu mana kita harus masuk, agar dapat ”memahami” beberan perangkaan di atas? Langkah konkret seperti apa yang harus dijangkah agar musim kemarau buku di Indonesia, berakhir.

Stakeholders perbukuan
Tak salah lagi, langkah konkret yang harus kita jangkah adalah melalui pintu bernama: stakeholders perbukuan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam dunia perbukuan meliputi, dari sisi produksi (pemerintah, penerbit); distribusi (toko buku); konsumsi (pembaca).

Di Vietnam, harga buku murah karena ada subsidi. Saya kira, tak berlebihan jika pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama. Tidak selamanya subsidi berdampak negatif. Terlebih yang disubsidi adalah produk budaya ilmu pengetahuan. Subsidi itu bisa dalam bentuk regulasi perpajakan, maupun kestabilan harga bahan baku, terutama kertas.

Subsidi akan memungkinkan tiap penerbit memenuhi skala ekonomi produksi. Mampu mencetak buku baru dalam jumlah sangat efisien (harga pokok produksi minimal). Karena hpp minimal, harga jual buku pun jadi murah—dengan asumsi proses distribusi berlangsung sangkil dan mangkus.

Toko buku adalah ujung tombak distribusi buku. Mereka menjadi terminal akhir dari rentetan proses yang berlangsung di industri perbukuan. Menjadi satu-satunya saluran paling dominan—selain pameran—yang mendekatkan buku pada masyarakat. Maka dari itu jika ingin memerluas sebaran buku, perbanyaklah jumlah toko buku. Tentu dengan tetap memerhatikan pemerataan sebaran.

Karena sekarang ini toko buku aktif, baik besar maupun kecil, jumlahnya masih belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah pembeli buku. Sudah begitu, keberadaannya pun masih terpusat di ibu kota propinsi dan kabupaten. Sangat jarang kita dengar atau temui ada toko buku berada di wilayah kecamatan. Kalaupun ada lebih tepat disebut toko alat tulis dan kantor (stationery) ketimbang toko buku. Mestinya, di tiap kecamatan, minimal ada satu yang benar-benar toko buku.

Tentang toko buku di kecamatan, pada akhir 2002 saya bertemu dengan Frans M. Parera, salah satu anggota Dewan Buku Nasional (DBN). Dalam pertemuan yang berlangsung di Jakarta itu, terungkap bahwa DBN tengah merancang program pembukaan toko buku di tiap kecamatan potensial di seluruh Indonesia. Sebuah gagasan berani, pikir saya saat itu. Entah, sekarang sudah sampai tahap apa rancangan program tersebut. Terlaksa, atau sebaliknya, terlupa. Andai terlupa atau dilupakan, sudah saatnya gagasan itu diingat kembali, lebih penting dari itu direalisasikan.

Upaya yang dilakukan pemerintah, penerbit, dan toko buku manfaatnya tidak akan terlalu besar buat perkembangan industri perbukuan, jika tidak disertai dengan perubahan adab, kebiasaan, dan budaya yang diakrabi sebagian besar masyarakat: berbicara, dan menonton ke budaya baca dan tulis.

Apa pasal? Karena, hanya di masyarakat yang memiliki kebiasaan baca dan tulis tinggi saja, buku sebagai produk budaya ilmu pengetahuan akan dinilai tinggi. Beruntung, empat tahun terakhir ini, di berbagai belahan daerah di tanah air lahir beragam komunitas baca tulis (literasi/perbukuan). Secara mandiri, mereka mengambil inisiatif untuk bergabung dalam satu rombongan besar bernama Gerakan Indonesia Membaca!

GIM adalah gerakan berkelanjutan, bersifat kultural edukatif yang berupaya memperbanyak akses informasi, memfasilitasi dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya kepada masyarakat dalam penguatan budaya baca. Sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menguak kecintaan akan ilmu pengetahuan, seni dan nilai-nilai kemanusiaan.

Gerakan ini mensosialisasikan aktivitas membaca dan menulis di tingkat lokal (local literacy) serta mendukung tumbuhnya perpustakaan-perpustakaan komunitas (community libraries) di Indonesia. Semua aktivitas diarahkan kepada upaya pelayanan, fasilitasi dan promosi baca tulis.►
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger