: agus m. irkham
Usai tandas mengunyah tulisan Jusuf A.N tentang epigonisme karya sastra (Jawa Pos, 23/11/2008), saya menjadi tidak bisa menahan diri untuk segera menanggapi. Paling kurang ada tiga sangkaan Jusuf yang mesti ditilik lebih jauh apakah sangkaan itu berdasar atau tidak. Pertama, tren epigonisme disemati sebagai sesuatu yang aneh dan konyol, mengingat buku merupakan produk intelektual. Kedua, epigonisme dipicu oleh karakteristik pembaca dan pembeli buku di Indonesia yang lebih melihat kover ketimbang isi. Ketiga, pendalaman pasar melalui peniruan dianggap tidak mendidik, dekat dengan pembodohan publik pembaca.
Jusuf mengatakan bahwa novel Ayat Ayat Cinta dan Laskar Pelangi telah menjadi sumber peniruan. Sesal, dari awal hingga akhir tulisan, Jusuf tidak menyebut satu pun judul novel yang dianggap tiruan itu. Padahal di era penuh keterbukaan seperti sekarang ini, harusnya disebutkan. Penyebutan judul novel epigon, akan memudahkan pembaca untuk mengecek apakah tudingan Jusuf benar atau salah. Dan saya kira, dilihat dari kepentingan penerbit serta penulis penyebutan judul akan terasa lebih fair (adil).
Tapi baiklah, meskipun Jusuf tidak menulis satu pun judul novel epigon, dugaan saya, yang dimaksudkan Jusuf adalah novel-novel ini: Rumah Pelangi, Makrifat Cinta, Bait-Bait Cinta, Dzikir-Dzikir Cinta, Sabda-Sabda Cinta, Syahadat Cinta, dan Kasidah-Kasidah Cinta. Judul pertama disebut adalah peniruan atas novel Andrea Hirata, Laskar Pelangi. Sisanya, mengekor novel Ayat Ayat Cinta-nya Habiburrahman El Shirazy yang mega bestseller itu.
Nah, berangkat dari berderet judul novel di atas, mari kita ulik satu persatu sangkaan Jusuf itu.
Produk budaya
Pertama, bahwa buku merupakan hasil olah rasa, pikir (intelektual), serta pengalaman personal penulisnya itu benar. Tapi jangan lupa, buku juga produk budaya (cultural product). Sebagai produk budaya, salah besar, jika buku disangka sebagai semata-mata karya individual. Kini, ia sudah menjadi karya komunal. Bahkan industri. Untuk sampai pada penyelesaian proses pra cetak saja, satu buku menuntut campur tangan banyak pihak.
Mulai dari pemeriksa aksara, penata letak isi, desainer kover, ilustrator, hingga pembaca naskah proof. Belum lagi proses cetak, dan distribusi. Tiap tahapan proses butuh energi, ruang, waktu, dan uang tentu saja. Itu baru satu buku. Padahal penerbit kelas menengah saja rerata per bulan bisa meluncurkan 5-10 buku. Apabila masing-masing buku, minimal 3000 eksemplar, silakan Anda hitung sendiri besaran rupiah yang harus dikeluarkan.
Besarnya skala ekonomi produksi dan modal yang diputar, luasnya pasar yang akan disasar, banyaknya jumlah orang yang terlibat, serta tingginya tingkat persaingan antar penerbit mengharuskan diterapkannya logika-logika ekonomi industri pada usaha penerbitan buku.
Buku yang diterbitkan tidak lagi disandarkan pada idealisme (baru, beda, penting) belaka, tapi juga harus laku. Di hadapkan pada risiko besar, gagal atau berhasil, penerbit baru memilih main aman, yaitu dengan menjadi pemboceng gratis. Mencetak buku-buku yang serumpun dengan buku laris penerbit lain—yang biasanya sudah mapan.
Dalam domain industrial, peniruan sebagai strategi mencuri kue pasar/konsumen bukanlah barang baru. Dan itu sah-sah saja, sejauh bukan pembajakan, atau penjiplakan. Beberan beragam judul novel di atas—dalam konteks isi bukan tampilan kover—bolehlah kita sebut sebagai karya epigon, tapi dalam pengertian saduran dan keterpengaruhan, bukannya penjiplakan. Dalam bingkai itu novel epigon bukanlah sesuatu yang aneh apalagi konyol, sebaliknya kehadirannya dapat diperkirakan dan justru semakin memperkaya pilihan bacaan—dalam gagrak yang sama.
Kedua, epigonisme ditumbuh suburkan oleh karakteristik pembaca dan pembeli buku di Indonesia yang lebih melihat kover ketimbang isi. Tak jelas, metode penelitian/survei seperti apa yang digunakan Jusuf sehingga menghasilkan simpulan yang menyudutkan pembaca itu. Meskipun demikian, taruhlah, sangkaan Jusuf itu benar.
Pertanyaan selanjutnya adalah, itu sebab (aksi) atau akibat (reaksi)?
Saya melihatnya sebatas akibat. Meskipun ada yang mengingatkan: don’t judge by the cover!, tapi karena buku di-wraping, calon pembeli tidak bisa memastikan isi buku. Jadilah kover sebagai satu-satunya petanda isi buku. Dalam situasi demikian, tentu pembaca tidak bisa disalahkan.
Ketiga, terhadap tudingan Jusuf bahwa peniruan dianggap tidak mendidik, dekat dengan pembodohan publik pembaca, tangkisannya seperti ini: pembaca bukanlah entitas yang tetap. Kalau sudah bodoh, akan selamanya bodoh. Bukan seperti itu. Seiring berjalannya waktu, pembaca akan bertumbuh dan berkembang. Daya nalarnya akan meningkat dan kian kritis.
Karlina Leksono dalam esai berjudul Membaca dan Menulis: Sebuah Pengalaman Eksistensial—terkumpul dalam Buku dalam Indonesia Baru (1999) menandaskan bahwa membaca memungkinkan terbentuknya persimpangan antara dunia kehidupan pembaca dan dunia teks, sehingga berlangsung tindakan eksistensial pembaca yang membuat makna sendiri atas teks. Pembaca mampu melakukan refleksi atas dirinya dan mulai memahami dirinya sendiri, kemungkinan-kemungkinannya dan keberhinggaannya, lewat yang ia baca.
Dalam konteks para pembaca novel epigon, saya yakin pengalaman pertama membaca membuat mereka jadi terdidik untuk selektif saat membeli novel. Termasuk keputusan untuk (tidak) membaca lagi novel epigon. Jadi, berhentilah bersyak wasangka, Yusuf![]
Home »
» Meniru Buku Laris, Apa Salahnya?
Post a Comment