: agus m. irkham
Matabaca, satu-satunya di Indonesia, majalah bulanan yang mengupas all about book Desember 2008 tutup usia. Setelah terbit perdana Agustus 2002. Genap enam tahun empat bulan Matabaca hadir, merekam, merayakan, dan mewarnai perkembangan dunia literasi, terutama perbukuan di tanah air. Dalam edisi pamungkas (Desember 2008) tidak ada penjelasan yang terang dan lengkap, mengapa majalah hasil gagasan Frans M Parera dan Dorothea Rosa Herliany itu harus berakhir. Apakah karena persoalan teknis, politis, atau ekonomis.
Sangkaan baik saya, kemungkinan besar karena persoalan cash flow belaka. Lantaran iklan yang masuk sedikit, terbukti di tiap edisinya hanya ada 1-2 iklan, sementara pemasukan dari hasil penjualan tidak dapat diandalkan. Padahal, selain biaya cetak dan distribusi, masih harus membayar honor penulis luar. Tentu saja keharusan itu turut menambah berat kondisi keuangan Matabaca.
Tukasan di atas saya sandarkan pada asumsi: Matabaca sudah dikelola oleh awak redaksi yang mumpuni, profesional, punya kompetensi, artinya secara teknis tidak ada masalah. Demikian pula secara politis. Matabaca secara khusus tidak dibackup oleh sponsor atau donatur tetap, sehingga dapat dipastikan tidak ada intervensi dari kuasa modal. Majalah yang tanggung jawab isinya digawangi penyair Joko Pinurbo ini berorientasi pada profit (ekonomis). Sehingga jejulur usia hidupnya memang benar-benar bergantung pada pada iklan dan penjualan majalah.
Idealnya memang begitu. Karena yang sudah-sudah, kemerdekaan redaksi (isi) linear dengan kemerdekaan di ranah keuangan/biaya oprasional. Tapi sayang, berdasarkan rekaman angka penjualan di beberapa toko buku, pada tiap edisinya rerata di bawah 50 persen jumlah stok awal. Sangat jarang yang melebihi angka 50 persen. Akibatnya returan lebih tinggi ketimbang yang laku. Tentu saja dalam jangka panjang situasi demikian sangat berbahaya.
Adanya kenyataan: harga yang naik saat usia Matabaca belum genap setahun, space untuk penulis luar yang berkurang, serta lembar halaman warna yang tidak sebanyak di edisi-edisi awal, sebenarnya sudah bisa dijadikan indikasi rumitnya hitung-hitungan ekonomi majalah terbitan Bank Naskah Gramedia itu.
Sejak kemunculannya, memang banyak pihak yang mempertanyakan: apa laku majalah serius seperti itu? Apa hitung-hitungan ekonominya masuk? Hingga ada yang menduga bahwa Matabaca menjadi proyek amalnya Bank Naskah Gramedia.
Menyimpan ironi
Jatuhnya Matabaca menyimpan ironi tersendiri. Matabaca tak lagi dapat dibaca justru pada saat sementara pihak mengatakan minat baca masyarakat terhadap buku sedang naik-naiknya, Saya jadi bertanya ulang, apa betul minat baca masyarakat kita tengah meningkat.
Tidakkah yang terjadi sebaliknya? Kematian Matabaca membuktikan bahwa membaca buku belum menjadi kegiatan populer, sehingga masyarakat memunyai kendala psikologis terhadap kehadiran majalah yang keseluruhan halamannya berisi tentang buku itu. Dan berdasarkan temuan saya, mereka yang tergolong mania buku saja tidak seluruhnya membaca (dan membeli) Matabaca, bagaimana yang baru kenal, dan awam.
Sebenarnya dari sisi konsepsi (filosofis dan teknis/isi), kehadiran Matabaca sudah mengarah pada sasaran pembaca yang sangat segmented, sehingga penggarapan pasar bisa menjadi lebih fokus. Yaitu mereka yang berkarya di ranah perbukuan (stakeholders). Dari penulis, penerbit, pembaca, distributor, pengelola toko buku, komunitas literasi, layouter, editor, desainer grafis, dan orang-orang yang bekerja di kegrafikaan. Tapi anehnya pelanggan yang berasal dari golongan captive market itu justru masih jauh dari angka yang diharapkan. Realisasinya kelewat kecil dibandingkan dengan potensi yang ada.
Menurut saya, ada dua kemungkinan yang menyebabkan keanehan itu terjadi, pertama, proses marketing yang berjalan tidak efektif. Pasar tidak membeli bukan karena sengaja, tapi lantaran tidak tahu. Tidak ngeh kalau ternyata ada majalah yang mengulas dunia perbukuan dari segala segi secara lengkap.
Yang kedua, karena memang pasar lebih tertarik pada proses mencari laba (teknis pekerjaan), ketimbang segi knowledge, isu, dan wacana tentang perbukuan dan keberaksaraan. Ada semacam kejenuhan dan ketidakpedulian dari masyarakat perbukuan sendiri.
Dari titik itu, maka kegagalan Matabaca dapat dibaca sebagai kegagalan para pekerja buku untuk merawat, memelihara, dan menghidupi keberaksaraan dari sisi gairah perayaan, dan promosi dunia perbukuan itu sendiri. Tapi sepertinya kurang elok juga, menempatkan pasar sebagai satu-satunya sebab.
Setelah Matabaca
Tradisi baik yang telah dirintis Matabaca tentu saja wajib kita apresiasi. Meskipun dalam kondisi berdarah-darah, ia mampu bertahan selama hampir tujuh tahun. Matabaca telah mengabarkan pada publik luas, betapa dunia perbukuan demikian menarik. Layaknya dunia lain, film dan musik. Matabaca menjadi jembatan bagi pembaca mula dan muda mengenal buku lebih dekat. Tanpa harus menyimpan kekuatiran dikatai tidak gaul.
Patah tumbuh hilang berganti. Mudah-mudahan setelah Matabaca akan muncul kembali majalah perbukuan. Hanya saja agar pengalaman Matabaca tidak berulang, media perbukuan ke depan hendaknya secara nyata didukung oleh stakeholders perbukuan. Bisa berupa pemasangan iklan, atau mencatatkan diri sebagai pelanggan. Dengan begitu kuntinuitas penerbitan dapat dipastikan, dan umur biologisnya lumayan panjang.►
Home »
» Belajar dari Berakhirnya Matabaca
Post a Comment