Home » » Menyoal Keberaksaraan Perempuan

Menyoal Keberaksaraan Perempuan

Written By Agus M. Irkham on 4 Feb 2009 | 00:00

agus m. irkham

Awal tahun 2000. John Wood, pria berusia 36 tahun, mantan eksekutif di Microsoft tengah berada di ketinggian 12 ribu meter. Terbang melintasi Pasifik, dari Sydney hingga Los angeles. Dalam perjalanannya yang panjang itu, ia membaca laporan dari PBB tentang keadaan pendidikan di negara-negara berkembang.

Sekonyong-konyong ia terkejut begitu matanya tertumbuk pada deretan data yang menyatakan 850 juta orang di dunia tidak memiliki literasi dasar, alias buta huruf. Dan dari 850 juta tersebut, dua pertiganya adalah perempuan. Dengan kata lain dalam setiap sepuluh orang yang buta huruf, tujuh di antaranya adalah perempuan. Kebanyakan dari mereka berada di kawasan Asia.

Laporan yang dirilis PBB tersebut tidak berlebihan. PBB? Asia? Jangan jauh-jauh deh. Di Jawa Tengah misalnya. Sebagaimana yang pernah dilansir banyak media, sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah penduduk buta huruf yang berusia 15 – 44 tahun, hampir 70 persennya (480.612 orang) adalah perempuan.

Tersebar hampir di semua kabupaten dan kota di Jateng. Dengan persentase terbesar berada di kabupaten Brebes, Sragen, Banjarnegara, Blora, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Grobogan, Rembang, dan Pekalongan. Betul kalau ada simpulan yang menyatakan bahwa penyebab utama buta aksara adalah kemiskinan. Karena kesepuluh kabupaten tersebut memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Rata-rata di atas 30 persen. (jawa Tengah dalam Angka, BPS, 2006).

Fakta itu mempertegas laporan UNESCO tahun 2005 yang berjudul Keberaksaraan untuk Kehidupan (Literacy for Live). Laporan itu menyebutkan bahwa ada hubungan yang rapat antara kemiskinan sebagai sebab, dan buta aksara sebagai akibat. Di 30 negara berkembang, di mana angka kemiskinan tinggi, di situ pula tingkat melek huruf sangat rendah.

Lantas pertanyaan besarnya adalah: apa yang harus dilakukan pemerintah propinsi Jateng untuk menggerus tingginya angka buta aksara pada perempuan?

Dirikan perpustakaan
Ada dua. Pertama, mendirikan perpustakaan. Mengapa perpustakaan? Keberadaan perpustakaan ini penting, karena kasus membengkaknya angka buta huruf, di samping angka baru, juga berasal dari orang-orang yang sebelumnya sudah melek huruf, namun kembali mengalami buta huruf. Lantaran kemampuan teknis membaca yang mereka miliki, tidak pernah dipraktikkan. Bukannya malas atau tidak punya waktu karena larut dalam pekerjaan teknis. Tapi lebih kepada sulitnya mereka mengakses media baca/teks, khususnya buku.

Pada titik ini memfungsikan kembali perpustakaan desa, dan mendorong bertumbuhnya taman baca partikelir/swasta menjadi tidak bisa ditawar lagi. Baik yang dikelola oleh perseorangan, maupun oleh kelompok masyarakat atau komunitas. Kegiatan perpustakaan hendaknya juga harus menembus dinding. Tidak hanya memberikan kemanfaatan kepada orang perorang di sekitar tempat taman baca atau orang yang membaca di dalam gedung perpustakaan saja. Tapi juga masyarakat di luar gedung. Apalagi karena kondisi masyarakat yang memang masih harus terus disuapi agar terbiasa membaca buku.

Tak kalah penting, perpustakaan harus mampu menghubungkan antara apa yang dibaca masyarakat dengan aktivitas keseharian mereka. Membaca menjadi aktivitas yang memunyai kemanfaatan nyata, yang langsung dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berkaitan dengan ragam buku yang harus disediakan. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan langsung faedah membaca. Selain pengetahuan berkembang, pendapatan pun bertambah. Inilah yang disebut sebagai melek huruf secara fungsional. Buku berfungsi sebagai piranti meningkatkan kualitas hidup, terutama ekonomi.

Hadiah pendidikan
Kedua, mengirim anak-anak perempuan ke tempat yang semestinya, yaitu sekolah melalui program beasiswa pendidikan. Semacam program orangtua asuh, tapi khusus untuk anak perempuan. Program hadiah pendidikan selama hidup, dalam bahasa John Wood. Melalui Room to Read, yayasan yang didirikannya, ia membantu banyak anak perempuan di Asia sehingga memeroleh pendidikan layak.

Wujud bantuan itu adalah dengan membayar uang sekolah mereka, memberikannya dua seragam sekolah, dua pasang sepatu, tas, buku, peralatan sekolah, sepeda, asuransi sekolah, dan seorang mentor tangguh untuk memerhatikan kelompok pelajar muda itu. Biaya keseluruhan dari paket istimewa ini hanya 250 dollar AS per tahun. Atau sekitar Rp2,5 juta. Melalui Room to Read pula, terhitung sampai dengan akhir tahun 2006, ia telah mendirikan 3.600 perpustakaan di Asia. (John Wood, Leaving Microsoft to Change The World, 2007: 260, 266)

Salah satu alasan mendasar mengapa kita perlu memusatkan perhatian pada perempuan, adalah—meminjam pernyataan Usha, teman John Wood yang membantu menggerakkan program pendidikan untuk anak-anak perempuan di Nepal: ”Ketika Anda mendidik seorang anak alaki-laki. Anda mendidik hanya seorang anak laki-laki. Tetapi ketika Anda mendidik seorang anak perempuan, Anda mendidik seluruh keluarga, dan generasi berikutnya.”

Kita tidak bisa berharap banyak terhadap ikhtiar meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan, jika anak-anak perempuan tidak memunyai kesempatan untuk bersekolah.
Pemerintah dapat melibatkan swasta, agar memasukkan paket hadiah pendidikan dalam program tanggung jawab sosial di tiap perusahaan (CSR). Termasuk memberi kesempatan pada setiap orang yang berkecukupan secara ekonomi untuk mengubah masa depan satu anak perempuan. Bukankah sebuah karunia tak ternilai jika Anda diberi kesempatan untuk mengubah sejarah hidup orang lain melalui sejumlah kecil uang?[]
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger