Home » » Datang, Serang, Menang!

Datang, Serang, Menang!

Written By Agus M. Irkham on 3 Feb 2009 | 23:56

: agus m. irkham

Ada banyak peristiwa terjadi di dunia perbukuan selama tahun 2008. Salah satunya, yang paling mengemuka adalah maraknya pameran buku yang diselenggarakan oleh eo (event organizer) perbukuan. Di Jawa Tengah, pameran tidak saja digelar di kota-kota besar, macam Semarang, dan Solo, tapi juga kota-kota kecil, seperti Wonosobo, Purwokerto, Pekalongan, Sragen, Jepara, Kudus, dan Batang.

Maraknya gelaran pesta buku yang digagas eo perbukuan itu melahirkan tiga lema penting: datang, serang, menang! Tiga lema tersebut menjadi modus aktivitas eo perbukuan. Mula-mula mereka mendatangi suatu daerah, melihat berbagai potensi dan kemungkinan pasar, menyerang—meyakinkan/melobi beberapa pihak untuk menggelar pameran buku, sambil menghitung tingkat keuntungan yang bakal dikantongi. Begitu pameran akan dibuka/diresmikan, mereka sudah bisa memastikan kemenangan. Bahkan pada beberapa kasus kemenangan sudah bisa dihitung sebelum pameran dibuka. Kemenangan itu berwujud keuntungan ekonomi (profit), dan suksesnya acara (benefit)

Dalam satu tahun satu eo perbukuan bisa lebih dari satu kali menggelar pameran di satu daerah. Belum lagi eo lainnya. Sekadar contoh, terjadi di Kota Semarang. Di awal tahun 2000-an boleh dikata, Kota Semarang masih sepi pameran buku. Setahun sekali saja belum tentu. Tapi tiga tahun terakhir ini, hampir dapat dipastikan ada pameran buku. Malah tidak hanya sekali tapi bisa tiga - empat kali. Dengan dua – tiga eo yang berbeda.

Munculnya eo perbukuan dapat dimaknai sebagai dampak langsung geliat industri perbukuan. Jumlah penerbit sudah ratusan, jumlah buku baru dalam satu bulan sudah ribuan judul, pilihan buku semakin beragam, pertumbuhan pasar buku juga positif. Dalam situasi pasar yang demikian kompetitif itu tentu saja penerbit tidak lagi bisa semata-mata mengandalkan toko buku. Apalagi toko buku sebagai saluran distribusi dan gerai jualan tidak semua dikelola dengan baik, terutama dalam pelaporan dan pembayaran penjualan. Akibatnya penerbit sering mengalami kesulitan likuiditas. Jadi kemunculan eo perbukuan dapat dibaca sebagai bentuk empati serta tawaran solusi atas persoalan penerbit.

Balik modal
Tentu saja, oleh penerbit uluran tangan itu disambut baik. Terbukti di setiap pameran, terutama yang diadakan di kota besar, pasti diikuti oleh ratusan penerbit. Mereka saling dahulu mendahului membeli stan. Tak jarang mereka harus gigit jari, karena stan habis. Yang menarik stan habis bukan karena penerbit yang ingin ikut kelewat banyak, tapi karena diborong oleh satu penerbit/distributor, mereka membeli tiga-empat stan sekaligus dengan harga khusus. Stan-stan itu bukan untuk dipakai sendiri, tapi cukup dipakai satu atau dua stan saja, sisanya di jual ke penerbit/distributor lainnya, dengan harga lebih tinggi dari harga bentukan eo.

Dalam praktik seperti itu, di hari pertama pameran, penerbit/distributor yang memborong stan sudah bisa balik modal. Selisih harga yang ia terima sudah cukup untuk membayar stan yang ia pakai. Entah modus seperti ini dapat disebut praktik gelap atau tidak. Karena yang sering berlaku, eo hanya berkepentingan terhadap terjualnya stan pameran. Tak soal, jika stan yang telah dibeli dioper ke pihak lain, bahkan kosong. Yang penting stan laku, duit sudah masuk. Publikasi tak perlu gila-gilaan. Maka bisa saja dalam satu pameran, kita jumpai begitu banyak penerbit yang ikut, stan penuh, tapi sepi pengunjung.

Kondisi demikian tentu saja melahirkan kekecewaan pada penerbit. Sebagai peserta pameran, mereka berharap banyak pengujung yang datang. Dengan begitu kemungkinan buku laku juga bertambah besar. Dan tingginya tingkat pengunjung linear dengan marak dan menariknya acara pendamping pameran. Itu sebab sebagian besar penerbit yang besar dan mapan menjadikan ada tidaknya dan menarik tidaknya acara pendamping sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan mengikuti pameran.

Ikut menjual buku
Praktik menarik lainnya dari eo perbukuan—untuk memuluskan modus: datang, serang, menang—mereka juga ikut menjual buku. Ini biasanya terjadi pada pameran yang diadakan di daerah, maksudnya bukan kota besar. Dan eo yang pegang belum begitu terkenal. Daya tawar mereka masih rendah. Baik ketika berhubungan dengan penerbit, distributor maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Untuk meyakinkan pemegang izin (birokrasi) di daerah, sponsor, dan masyarakat, mereka mengelola sendiri stan-stan yang ada. Panitia (eo) meminta penerbit dan distributor untuk mau menitipkan buku-buku mereka. Dengan sistem titip jual. Buku-buku itu oleh eo ditaruh di stan-stan sesuai dengan nama penerbit, distributor, dan nama eo itu sendiri, kemudian dijual kepada pengunjung. Penerbit dan distributor mau menitipkan buku-bukunya karena ada garansi orang (personal guaranty), faktor jarak, keterbatasan sdm kalau mau dijual sendiri, serta kemungkinan perluasan pasar.

Agaknya frekuensi penyelenggaraan pameran juga harus diatur. Mengingat agresifitas eo perbukuan berupa gelaran pameran buku yang bertubi-tubi dalam rentang waktu sempit, telah dirasakan oleh sementara pengelola toko buku sebagai sebuah ancaman.[]
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger