Home » » Pemilu dan Keberaksaraan Media

Pemilu dan Keberaksaraan Media

Written By Agus M. Irkham on 10 Mar 2009 | 01:43

: agus m. irkham

Pemilu legeslatif kian dekat. Kurang dari dua bulan lagi, pesta demokrasi itu akan dihelat. Pihak yang paling sibuk di hari-hari menjelang ”Indonesia Memilih” itu, tentu saja partai politik dan para calon legeslatif. Mereka menggiring preferensi politik masyarakat melalui beragam simulasi pertandaan. Mulai dari iklan politik via televisi, baliho, spanduk, stiker, hingga selebaran. Sayangnya, semua itu dilakukan tidak dalam rangka melaksanakan civic education, tapi lebih digerakkan oleh kepentingan jangka pendek, perolehan kursi.

Simulasi citra, melalui bahasa dan simbol digunakan sebagai alat pelanggengan kekuasaan, khususnya dengan cara memanipulasi tanda, sehingga menghasilkan berbagai distorsi makna Dalam situasi demikian, membuat partisipasi politik warga—preferensi atas caleg—lebih dominan disandarkan pada ikon, citra, image dan kecakepan wajah. Bukannya program, dan kecakapan kerja.

Pertanyaan pentingnya adalah, kelengkapan apa yang harus dimiliki oleh publik luas, khususnya warga Jawa Tengah, agar mereka dapat menempatkan partisipasi politiknya, khususnya preferensi atas caleg sebagai sebuah pilihan sadar? Pilihan yang mengandaikan adanya syarat ketat, kehati-hatian, pengawasan, informasi lengkap, dan kontrol terhadap caleg yang akan dipilih. Ibarat check, suara yang diberikan bukanlah sekadar check kosong, yang oleh si caleg bisa ditulisi semaunya. Tapi cek yang di atasnya telah tertulis besaran mimpi, harapan, dan kebutuhan konstituen.

Keberaksaraan media
Salah satu cara agar konstituen memiliki payung yang kuat saat mendapati dirinya secara bertubi-tubi dihujani iklan-iklan politik persuasif oleh para caleg, adalah melalui penguasaan melek media (keberaksaraan media). Keberaksaraan media adalah kemampuan menggali, memilih dan memilah informasi, rumor, desas-desus, klaim politik, melakukan cek, ricek, menganalisis informasi politik yang didapat, serta menggunakan itu semua sebagai pertimbangan sebelum menentukan satu pilihan, dari sekian banyak pilihan bentuk partisipasi politik

Basis bagi keberaksaraan media adalah melek huruf (baca-tulis-hitung) secara budaya. Yaitu kesanggupan untuk mendaras informasi, baik berupa teks maupun non teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Calistung budaya memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif—budaya demokrasi.

Dari paparan di atas kita tahu bahwa melek huruf secara budaya dapat menjadi pintu masuk bagi datangnya keberaksaraan media Maka langkah penting pertama yang harus dijangkah agar jumlah warga Jateng (konstituen) yang melek media semakin besar adalah memperbesar jumlah warga yang melek huruf secara budaya. Yaitu dengan memperbesar jumlah kelas menengah, baik secara ekonomi maupun pendidikan.

Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan semakin tinggi pula derajat kemelekan hurufnya—dalam pengertian yang mudah dan terbatas dapat diukur dengan tingginya minat baca dan daya beli buku. Hasil jajak pendapat tentang minat baca yang dilakukan Kompas Jateng awal November 2008, dapat saya ajukan sebagai bukti. Berdasarkan jawaban responden yang dicuplik secara sistematis di Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal, ternyata responden yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki minat baca yang tinggi pula. Tercatat responden berpendidikan pascasarjana, seluruhnya (100 persen) membaca buku setiap hari. Kebiasaan yang sama juga dimiliki responden berpendidikan sarjana (48,5 persen), dan diploma (35,4 persen).

Bukti lain yang menegaskan bahwa faktor ekonomi (daya beli buku) dapat menjadi ukuran tinggi rendahnya stadium kemelekan huruf seseorang dapat kita baca pada hasil jajak pendapat Kompas Jateng (14/2). Dalam waktu sebulan terakhir, responden yang membeli buku hanya 44,1 persen. Harga buku menjadi faktor terpenting kedua, pertimbangan responden membeli buku. Padahal responden yang cuplik berasal dari wilayah kaya (Semarang, Solo, Tegal dan Purwokerto). Bukan berasal dari daerah minus seperti Brebes, Sragen, Blora, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Grobogan, Rembang, dan Pekalongan.

Kesepuluh kabupaten tersebut dikatakan daerah minus karena memiliki tingkat kemiskinan yang sangat berarti. Rata-rata di atas 30 persen. Dan angka buta hurufnya pun cukup tinggi. (Jawa Tengah Dalam Angka, 2006). Jika di daerah kaya saja, saat akan membeli buku, harga masih menjadi pertimbangan penting, maka di daerah minus besar kemungkinan harga buku akan menjadi sesuatu yang sangat direwelkan. Dengan kata lain, minat baca mereka jauh lebih rendah daripada minat baca masyarakat yang tinggal di daerah kaya. Kalau sudah begitu, tentu saja mereka menjadi konstituen yang paling rentan terhadap serangan iklan para caleg.

Pemilu yang sukses, tidak saja sukses penyelenggaraan. Tapi juga sukses menghasilkan wakil-wakil rakyat yang jujur, amanah, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Dan buat konstituen, sejatinya itu adalah pilihan. Pilihan yang akan dinyatakan di hari H pencontrengan. Andai wakil yang dihasilkan oleh Pemilu nanti ternyata jauh dari harapan publik pemilih, maka dapat saya pastikan itu akibat kesalahan publik pemilih sendiri. Kesalahan akibat memilih caleg yang tidak memunyai kepedulian nyata terhadap upaya meningkatkan kecerdasan (pendidikan) dan kesejahteraan ekonomi pemilihnya. Kesalahan akibat memilih caleg yang melanggengkan ketidakberaksaraan media.■
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger