Mata Baru Sekolah Menulis

Salah satu dampak positif perkembangan dunia perbukuan (literasi) adalah bermunculannya sekolah menulis. Baik yang menggunakan sistem kelas maupun melalui email (internet). Hanya saja saja dugaan saya, umur sekolah-sekolah menulis ini tidak akan lama. Ibarat produk, siklus produksinya sangat cepat. Pasarnya pun cepat mengalami kejenuhan. Dan terbukti beberapa sekolah menulis yang sebelumnya lumayan terkenal, kini tidak terdengar lagi gaungnya. Syarat administrasinya pun kian kendur: bayar – diskon – beasiswa – gratis!

Mengapa bisa terjadi demikian? Salah satunya dipicu oleh pamrih penggagasan sekolah menulis itu sendiri—mencetak penulis. Memahamkan pada publik luas, bahwa menulis adalah tujuan, bukannya alat. Memahami aktivitas menulis hanya dari sisi teknis semata.

Di jangka panjang jika ingin mempertahankan eksistensi sekolah menulis, maka pembelajaran menulis hendaknya diarahkan menjadi bagian dari (alat) terapi diri. Dalam kajian akademik tentu sudah sering kita baca dan dengar bahwa aktivitas menulis dapat menyembuhkan: stres, perasaan tertekan, menghapus trauma dan keyakinan-keyakinan (hidup yang) palsu. Sarana melatih untuk fokus pada tujuan/target hidup, mewujudkan mimpi, agar ketika berbicara di depan umum tidak belepotan, menjernihkan pikiran, membantu memecahkan masalah, mempertajam ingatan, berfikir dan berucap secara sistematis, dan sebagainya.

Buat para penggelut literasi, sebuah tantangan tersendiri, saya kira—merancang kurikulum pemelajaran menulis yang diarahkan, justru tidak pada perolehan-perolehan yang berdimensi material (karya, buku, teks), tapi lebih kepada manusianya (problem-problem psikologis). Kurikulum yang memuat aspek pengetahuan (kognisi), kecintaan (afeksi), dan simulasi/pendekatan praktis (psikomotorik).