Home » » 7 Habits Membiakkan Otot Menulis

7 Habits Membiakkan Otot Menulis

Written By Agus M. Irkham on 20 May 2009 | 06:13



: agus m. Irkham

1. Membaca
Baca buku mampu mencerdaskan bangsa. Apa iya? Katakanlah tesis ini benar. Artinya, Mbok Sri penjual nasi pecel, Pak Ridwan petani penggarap, Mas Karyo penjual batik keliling adalah manusia-manusia yang tidak cerdas--untuk tidak mengatakan bodoh. Sebab, mereka jarang bahkan tidak pernah membaca buku.

Eiit, nanti dulu. Kita jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Bukankah membaca bisa berarti tekstual dan kontekstual? Membaca tekstual berarti membaca dalam arti sesungguhnya yaitu membaca media teks. Sedangkan membaca secara kontekstual berarti memahami dan memberi makna terhadap suatu kenyataan hidup. Artinya, seseorang yang jarang membaca teks, tetap masih mempunyai kesempatan menjadi cerdas.

Meski demikian, bukan berarti kita sah-sah saja mencueki buku. Buku bukan hanya merupakan jendela dunia, tetapi di dalam buku ada hidup dan kehidupan itu sendiri. Membaca buku bukan kegiatan yang berjalan sendiri atau ditambahkan tapi berjalan berbarengan. Menurut Karlina Supelli (1999), membaca bukan kegiatan sampingan, melainkan berjalin dengan makna teks. Para pembaca adalah pencipta suatu aktivitas bersama yang oleh Gadamer disebut peleburan cakrawala.

“Mernbaca tidak Iagi berarti sekadar bisa membedakan antara huruf m dan n, dan menulis tidak lagi berarti sekadar bisa rnembubuhkan titik (.) pada huruf i. Membaca hendaknya mencakup kemampuan yang semakin tinggi untuk memahami dan menghargai berbagai macam karangan.” (Damono, 1996)

Membaca memungkinkan terbentuknya persimpangan antara dunia kehidupan dengan pembaca dengan dunia teks. Pembaca akan membuat tafsir sendiri, menerapkan makna tekstual ke dalam kehidupan konkretnya. Cara membaca yang demikian akan menuntun kita mendapatkan nilai-nilai baru serta masalah-masalah yang menunggu penyelesaian segera.
Mestinya setelah membaca buku harus ‘ditabrakkan’ dengan kenyataan yang ada.

Keberanian mengambil posisi vis a vis demikian dapat menghasilkan sintesa. Sintesa ini merupakan perspektif ketika melihat kenyataan, sekaligus dapat dijadikan guidance kepada pembaca dalam mengambil sikap.
Menurut Wahib (1981), cara membaca yang demikian akan mampu membentuk pendapat sendiri dan tidak sekadar mengikuti pendapat orang atau hanya sekedar menjadi reservoir ilmu.

Perpustakaan
Membaca buku tidak harus diartikan dengan membeli. Berbahagialah Anda yang tinggal di wilayah yang mempunyai fasilitas perpustakaan umum yang cukup lengkap koleksinya. Segeralah mendaftar untuk menjadi anggota.
Dengan menjadi anggota perpustakaan, paling tidak Anda sudah masuk ke dalam lingkungan yang tepat—aktivitas tulis menulis. Di perpustakaan, Anda dapat membaca sepuas hati, dengan pilihan tema dan jenis buku beragam. Tidak perlu membeli atau berdiri berjam-jam seperti ketika di toko buku yang membuat kaki Anda pegal-pegal.

Apalagi jika perpustakaan di wilayah Anda menyediakan fasilitas komputer dan data buku secara online, memudahkan Anda mencari judul buku yang dikehendaki, sekaligus dapat menulis. Keuntungan lain? Anda sangat mungkin bertambah teman baru, syukur-syukur ketemu orang yang punya antusiasme sama dalam bidang kepenulisan. Bukan tidak mungkin, bertemu dengan redaktur media atau editor sebuah penerbitan.

Syukur-syukur, perpustakaan dikelola dengan baik tidak sekadar melayani peminjaman tapi juga mengadakan event perbukuan. Lomba karya tulis ilmiah, lomba penulisan artikel, merensi buku atau acara ketemu penulis. Berbagai kegiatan tersebut ini dapat Anda jadikan sarana melatih kemampuan menulis dan menganalisis. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui bukan?

Selain perpustakaan, di mana lagi ya kita bisa membaca buku tanpa harus membeli. Ahaa! Toko buku.

Toko buku
Saat mengunjungi toko buku, coba tanyakan langsung pada mas atau mbak yang berada di meja informasi. Apa saja buku-buku terbaru dalam minggu atau bulan ini. Kenapa buku baru? Karena buku-buku baru ini bisa menjadi jawaban pertanyaan: wacana apa yang tengah berkembang di masyarakat?

Tahu perkembangan buku berarti Anda punya kelebihan satu langkah—tahu perkembangan situasi pada skala regional, nasional maupun global. Jika Anda termasuk orang yang mempunyai daya lupa tajam, silakan dicatat (dengan sembunyi-sembunyi) tema besarnya apa. Siapa tahu bisa digunakan untuk penambahan bacaan atau pengayaan materi artikel yang akan Anda tulis.

Agar tidak tulalit, alangkah baiknya jika Anda juga membaca media teks non buku. Seperti jurnal, koran, dan majalah. Apalagi kalau dikaitkan dengan kegiatan aktivitas menulis artikel.
Salah satu kekuatan tema tulisan artikel adalah baru tidaknya atau dekat tidaknya saat berita (pemantik artikel) terjadi. Terlambat sedikit saja tulisan Anda-sudah out of date. Bagaimana caranya agar Anda tidak selalu terlambat mendapatkan informasi?

Satu-satunya cara ya selalu terjaga akan perkembangan situasi. Buka mata, buka telinga, buka hati—membuat Anda tidak akan pernah kehabisan tema. Artikel senantiasa up to date, berarti Anda telah menjadi intelligent yang berkualitas. Bahkan Anda tahu apa yang akan terjadi di masa depan layaknya Dady Corbuzier mengetahui headline yang bakal muncul di koran. Atau si futurolog kondang, Alfin Toffler

Membaca koran, majalah, terbuka terhadap berbagai informasi-membantu Anda menjadi futurolog berupa sense of news yang tajam.

Jurnal
Jurnal juga dapat memberikan contoh pada kita bagaimana menulis secara sistematis sekaligus memberikan argumentasi yang bersifat rasional dan ilmiah. Biasanya jurnal berisi publikasi hasil penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif.

Dari jurnal kita dapat belajar bagaimana menyusun, menggabungkan antara data, fakta, pijakan teori, ‘pisau’ analisis yang akan digunakan untuk ‘membedah’ serta analisis itu sendiri. Menjadi satu kesatuan yang utuh. Sekaligus dapat menyajikan dalam bentuk tulisan yang sarat informasi, enak dibaca, tidak membuat dahi berkerut.

Karya Sastra
Dengan membaca karya sastra, entah itu novel, cerpen, puisi, prosa, kritik sastra dan sebagainya, kita akan banyak mendapat perbendaharaan ragam dan rasa bahasa. Sehingga rasa kebahasaan kita pun akan semakin terasah. Kebiasaan membaca sastra akan membawa karakteristik sastra yang cair, kaya bahasa, ekspresif, mudah dicerna, masuk ke dalam artikel yang Anda tulis. Sehingga artikel Anda mempunyai tingkat keterbacaan tang tinggi (readable), Meskipun artikel yang ditulis bertema serius, berat, tetap memberikan pengalaman rekreatif.

Artikel Penulis Lain
Orang lain saja bisa melakukan mengapa Saya tidak?! Demikian pertanyaan yang harus keluar dari Anda ketika membaca artikel orang lain. Membaca artikel penulis lain akan menambah rasa kepercayaan diri dan motivasi. Akrab dengan idiom-idiom, penyajian yang di dalamnya mengandung unsur bagaimana data diperoleh, bentuk penyajian, model analisis data dan lain-lain.

Dengan banyak membaca artikel penulis lain, akan mengasah ketajaman Anda dalam mencari tema penulisan. Usahakan pengalaman sukses (pemuatan artikel) itu juga terjadi pada hidup Anda.

2. Meresensi Buku
Meresensi tidak sekedar menceritakan kembali isi suatu buku (sinopsis). Tapi juga mengkritisi, membandingkan dengan buku-buku lain yang sejenis. Memberikan catatan-catatan penting baik menyangkut keunggulan (segi-segi yang menarik dari suatu buku) maupun kekurangannya. Meminjam istilah mas Hernowo—mengikat makna.

Meresensi adalah cara lain kita ‘bercinta’ dengan buku. Anda ‘dipaksa’ untuk kenal dan akrab. Tidak hanya masalah isi (contents) tapi juga bagaimana buku tersebut dikemas (contexts). Ketika Anda meresensi suatu buku, Anda akan dituntut untuk membaca buku-buku lainnya. Tidak hanya itu, bahasan juga berpindah dari obyek (buku) ke subyek (penulis).

3. Rekam Bahagia, Rekam Derita
Membiasakan diri mencatat peristiwa yang dianggap penting sungguh berguna. Peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang Anda alami maupun yang terjadi di luar sana. Dari sesuatu yang sederhana dan dianggap remeh temeh hingga kejadian yang begitu mengaduk-aduk sisi terdalam dari perasaan kita.

Pendokumentasian bisa lewat buku harian atau langsung dalam bentuk artikel meski tidak untuk tujuan dikirim ke media. Siapa tahu, di kemudian hari Anda berniat menulis artikel dan mengirimkan ke media, materi atau bahan tulisan yang pernah ditulis dulu dapat dijadikan sumber penting.

Rekaman kejadian juga bisa dalam bentuk klipingan koran dan majalah. Mengkliping, berarti Anda belajar mengorganisasi pekerjaan. Menyusunnya supaya mudah diakses, khususnya oleh Anda sendiri. Susun sesuai dengan tema atau jenis rubrik sekaligus berdasarkan time series (urutan waktu). Kliping dapat Anda jadikan sebagai salah satu sumber pusat data dan informasi. Sehingga ketika Anda mendapat ide dan berniat menulis akan dengan cepat direalisasikan lantaran ketersediaan data (kliping).

4. Ikut Mailinglist
Masih ingat tentang masterminds? Iya betul. Ikut mailinglist adalah bagian dari upaya mendapatkan masterminds. Dengan menjadi anggota suatu milis tanpa sadar, Anda telah terbawa pada situasi belajar yang mengasyikkan. Menawarkan nilai, berpolemik hebat, hingga harus semadi mengumpulkan bahan-bahan guna mempertahankan serangan, dan kemudian aktif kembali dengan jawaban yang panjang dan sophisticated, mendedahkan fakta, meruntuhkan pendapat, dan semua dilakukan dengan perasaan bahagia. Milis dapat digunakan pula sebagai sarana berlatih menggunakan dan mencintai bahasa.

Ketika Anda mendatangi diskusi/forum ilmiah Anda akan mendapat beragam analisis, komentar dari perpektif yang berbeda sehingga bisa menjadi second opinon tulisan Anda. Mengasah write skill communication (kepiawaian berkomunikasi melalui tulisan). Kesempatan melakukan jejaring dengan penulis lainnya, bertukar informasi baik soal perbukuan, penulisan kreatif, meminta anggota milis mengkritisi naslah Anda, dan 1001 macam tema diskusi lainnya.

5. Jalan-Jalan Menyapa Kehidupan
Membaca buku saja tidak cukup. Harus ada upaya melakukan kontemplasi, perenungan, sekaligus jalan-jalan melihat kenyataan kehidupan. Sehingga pemahaman kita terhadap sesuatu akan utuh, tidak parsial. Karena sering kali yang tertulis (das sollen) di buku berbeda dengan senyatanya kejadian (das sien). Membaca hanya menjadi sarana awal saja ketika kita ingin mengenal kehidupan yang sesungguhnya. Selebihnya ‘jalan-jalan.’

Kesediaan mendialogkan antara yang ideal dan yang riil, keberanian mengkonfrontasikan nilai-nilai lama yang sudah kadung kita yakini dengan nilai-nilai baru. akan membantu proses percepatan perkembangan intlektualitas kita. Tidak saja pemikiran tapi juga kepribadian.

6. Ikat Ide-Ide Brilian Anda
Datangnya sebuah ide sering kali tanpa diduga dan jauh dari kemampuan kita untuk menduga dan mereka. Ia bisa datang, kapan saja, di mana saja. Karena menjadi ‘tamu tak diundang’ menuliskannya menjadi sesuatu yang penting dan berguna. Sayang sekali jika ide-ide tersebut terlupakan, hilang begitu saja. Terelap oleh keringat lelah aktivitas teknis. Di mana ide-ide itu ditulis? Saya sarankan di diary alais buku harian. Tidak harus melulu mencatat ide-ide. Rutinitas kesibukan harian pun dapat dimasukkan.

Buku harian bisa menjadi noktah-noktaf pemikiran yang di masa depan bisa Anda rangkai menjadi sebuah karya tulis; artikel, novel, kolom atau lainnya. Kebiasaan menulis catatan harian yang tertib dan kronologis juga bisa membantu menulis sesuatu secara detail. Seperti yang pernah dilakukan Arnold Bennett, Virginia Woolf, Anton Chekov dan Sutan Sjahrir.

Dengan mempunyai catatan harian Anda mempunyai kebebasan yang lebih untuk berekspresi lewat tulisan, membina keberanian menulis tanpa harus menanggung malu, ancaman, dan curiga dari orang lain yang ingin menilai tulisan Anda. Apalagi mengekpresikan perasaan lewat tulisan mempunyai efek penyembuh.

Membicarakan catatan harian konteks Indonesia tentu Anda ingat dua nama yang oleh Yacop Oetama disebut sebagai manusia baru: Soe Hok Gie (Catatan seorang demonstran 1942-1969) dan Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran Islam 1942-1972). Membaca catatan harian kedua orang ini pada bagian-bagian tertentu saya merasa sedang membaca kehidupan saya sendiri.

Kedirian mereka baik sebagai intektual maupun pribadi membuat saya terkagum-kagum. Mereka mampu tampil sebagai warga dunia dalam arti sesungguhnya. Tertarik kepada hampir semua masalah kemanusiaan, dan kebangsaan. Dan itu terjadi pada saat umur mereka belum 30 tahun.

Selain Wahib dan Gie— Mahatma Gandhi, Ernest Hemingway, Ernestto Che Guewara, Anne Frank, Zlata adalah nama-nama yang kita kenal lantaran mereka mempunyai catatan harian.

“Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan…aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku Aku adalah aku, pada saat sakratul maut!”
(Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam)

“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar….Makin lama, makin banyak musuh dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan?…. Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”
(Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran)

7. Berolahragalah
Satu hal yang sering dilupakan oleh banyak orang ketika membicarakan tentang habit yang mendukung aktivitas kepengarangan adalah berolahraga. Tepatnya menjaga kesehatan. Sepertinya kesehatan menjadi sesuatu lain, yang tidak layak dimasukkan ke dalam kategori habit. Padahal untuk menulis kita butuh enersi. Kesehatan menjadi klausa prima untuk mejamin kontinuitas berkarya.

Kita tahu Mochtar Lubis yang karateka itu. Hingga mendekati tutup usia, masih tetap berkarya. Pramoedya Ananta Toer lain lagi. Penulis tetralogi Bumi Manusia—mempunyai kebiasaan mencangkul hampir lima jam setiap harinya, belum lagi ditambah dengan bersih-bersih halaman rumahnya yang luas. Maka tak heran pada usia 80 tahun Pram masih punya ‘proyek’ menyelesaikan sebuah buku ensiklopedi yang bahan tulisannya (kertas, buku, dan lain-lain dokumen) mencapai ketinggian lima meter!.

Sedangkan Taufik Ismail, kita tahu penyair religius ini sangat hobi lari (jogging). Hasilnya? Ia masih bisa jalan-jalan ke pelosok kepulauan Indonesia dalam program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Padahal kawan-kawan segenerasinya satu-persatu sudah ‘pamit’ meninggalkannya.

Saya sendiri lebih senang jalan-jalan pagi setelah salat subuh. Sambil menghirup udara segar, menyaksikan rombongan ibu-ibu yang pergi ke pasar, ada yang jalan kaki dengan barang dagangan yang digendong, ada yang naik mobil bak terbuka harus berdiri dan bercampur dengan barang dagangan, sebuah pemandangan yang membuat saya kerdil.

Merekalah para pelobi-pelobi ulung. Sehingga Allah tidak menimpakan derita kepada hamba—Nya. Meskipun terbukti ngeyel, keras kepala. Tidak jarang saya membeli makanan, entah itu jagung rebus, jajan pasar, sayur-sayuran, ikan, buah-buahan, berdialog dengan bahasa mereka. Tawar menawar harga, yang sebenarnya lebih disebabkan keinginan saya untuk ngobrol lebih lama.

Entah mengapa, ketika kehidupan saya mulai lebih pagi, kok saya merasa lebih hidup. Saat seluruh telapak kaki saya berhimpit dengan bumi tanpa sesuatu pun berada di antaranya, saat pori-pori kaki saya berjalan ringan di atas rumput yang masih berembun. Merasakan dinginnya embun, membuat saya lebih bisa bersyukur. Tidakkah anda menginginkan itu semua? Atau Anda lebih memilih pola hidup Chairil Anwar. Karena hidupnya yang ‘kacau’ menderita bohemia dan meninggal di usia yang sangat muda, 27 tahun!
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger