Home » » Kisah (Mantan) Tukang Becak yang Sastrawan

Kisah (Mantan) Tukang Becak yang Sastrawan

Written By Agus M. Irkham on 20 May 2009 | 06:18



Catatan Kecil Saat Bertandang ke Rumah Joni Ariadinata
: agus m. Irkham

“Mari, silahkan masuk. Maaf, saya baru selesai macul.”
Seraut wajah cerah tersenyum hangat menyambut saya dan istri. Tak sampai lima belas menit, seraut wajah penuh senyum itu telah berpakaian rapi. Berkaos oblong putih, dan celana kolor—trening. Sungguh sederhana nan santai.

Mendapati kenyataan demikian, tidak percaya saya kalau orang yang di depan kami adalah seorang selebtiris. Keliling ke pelosok daerah dan pulau-pulau-pulau terpencil di Indonesia guna memperkenalkan sastra, membaca cerpen dan ceramah-ceramah tentang sastra di Perancis, Belanda, dan beberapa kota di Eropa, beberapa kali cerpennya pernah dinobatkan sebagai cerpen terbaik nasional.

Pria sederhana itu adalah Joni Ariadinata, yang pernah mendapat julukan ‘Raja Koran’, ada pula yang menyebutnya Presiden Cerpen Indonesia. Lahir pada 23 Juni 1966 di Majapahit, Majalengka, sebuah dusun di pelosok Jawa Barat, Joni beruntung memiliki seorang Ibu yang suka membaca. Berlangganan majalah dan koran, meski hal itu sama sekali belum lazim.

Pada masanya, seperti penuturan Joni pada penulis, diperkirakan hanya ada satu orang se-kecamatan yang berlangganan koran dan majalah. “Mungkin se-kecamatan, Ibu adalah satu-satunya yang berlangganan Koran dan dua majalah sekaligus,” terang Joni. Padahal, keluarga Joni juga bukan termasuk keluarga yang berlimpah secara materi. Uniknya untuk sampai sampai ke tangan Ibunya, agen menitipkan koran dan majalah itu pada angkutan umum.

Sang Ibu, Guru SD yang suka membaca itu, hobi mendongeng di depan putranya, sambil menunjukkan sumbernya. Salah satunya, majalah berbahasa Sunda, Mangle. Lambat laun, Joni kecil tertarik untuk bisa menikmati sendiri apa yang ada di tangan sang ibu. Ternyata rasa ingin tahu membuat kemampuan membaca kian tumbuh. Hasilnya? Saat pertama masuk sekolah (kelas satu) Joni menjadi anak yang pertama kali bisa membaca.

Majalah dan koran tak lagi cukup menampung minat Joni untuk terus membaca. Dahaga kata itu membuatnya merayu sang ibu agar boleh memasuki perpustakaan sekolah kapan pun. Sang Ibu menyanggupi dengan satu syarat, “Kau harus bertanggung jawab. Buku itu harus dirawat. Tidak boleh rusak, dan segera dikembalikan setelsai selesai dibaca. Dan semalam harus selesai, besok paginya harus dikembalikan lagi ke perpus, tidak enak kalau ketahuan guru lain.” Pesan Ibunya.

Dan, asyiklah Joni kecil dengan bertumpuk-tumpuk buku di perpustakaan. Berbagai cerita rakyat, buku-buku inpres, dan lain sebagainya. “Saya terbiasa membaca dengan cara sebunyi, menyendiri di tepi sungai, sambil mendengarkan gemericik air sungai, asyik sekali rasanya.” Kemampuan baca yang luar biasa, akhirnya berimbas pada kemampuan menulis.

Daya imajinasinya yang melampaui jauh di atas kemampuan teman-teman sebaya, sering membuat guru bahasa tak percaya pada hasil karyanya. Pernah suatu kali pelajaran mengarang ia mendapat nilai lima. Tidak percaya dengan nilai tersebut, sang ibu bertanya pada guru pemberi nilai. “Guru Saya, mengira karangan tersebut di dibuatkan oleh Ibu,” cerita Joni. Akhirnya Saya diuji untuk menulis, langsung di depan guru bahasa.”

Hasilnya? Sang guru tak bisa mengelak sebuah kenyataan. Nilai lima itu berubah sembilan! Joni Ariadinata, ternyata memang sudah menunjukkan bakatnya sejak belia. Muluskah langkahnya untuk menjadi pengarang?

Masa vakum di masa SMP dan SMU, berlangsung kurang lebih delapan tahun. Saat duduk di sekolah dasar (SD) ternyata dunia kata—membaca bukan satu-satunya yang paling ia sukai. Ada dunia lain yang juga menarik perhatiannya. Joni suka berjalan kaki sejauh kekuatannya. Ratusan kilometer dari rumah pernah dia singgahi dengan tanpa kendaraan.

“Saya pernah jalan kaki hingga daerah pantai Pangandaran, jaraknya ratusan kilo meter dari rumah saya,” terang suami dari Indah Laksanawati ini. “Kadang kalau kemaleman tidur di masjid. Tak jarang sering dikasih makan orang, karena kasihan.” Beranjak besar, saat di SMP perjalanan itu ditempuh dengan sepeda kayuh. Bahkan sampai ke daerah kuningan, Cirebon.

Perjalanan kehidupan Joni mulai ‘berwarna’ bermula pada masa SMU. Kalau saat kecil hari-harinya banyak dihabiskan di pinggir sungai jalan kaki, bersepeda kemana pun ia maui, sedangkan saat remaja (SMU) waktunya lebih banyak dihabiskan di terminal. Sebuah tempat yang membuat Joni mengenal kekerasan sekaligus kerasnya kehidupan. Dunia preman, begitulah orang biasa menyebut demikian.

“Saat itu Saya jarang pulang, apalagi sekolah, karena di terminal terlalu banyak pekerjaan yang harus dibereskan,” aku ayah dari Hira Muhammad dan Imam Malik Murtadha ini senyum-senyum. Dunia gelap, demikian Joni memberikan gambaran. Tradisi membacanya di pinggiran sungai nan hening, kebiasaannya merangkai kata ... ditinggalkan jauh-jauh.

Tahun 1986, selepas Lulus SMA yang dia jalani selama lima tahun, dibawanya langkah kaki menuju ibu kota. Jakarta, yang konon kabarnya, seringkali lebih kejam dari ibu tiri. Mengadu nasib sebagai tukang sapu di sebuah bengkel besar. Saking besarnya, perlu waktu paling tidak tiga jam untuk menyapu dan membereskannya. Kerja keras yang melelahkan namun tidak kunjung berbuah hasil yang sepadan. Karena gajinya sering dipalak preman.

“Jam 6 pagi Saya sudah mulai beres-beres mempersiapkan segala peralatan perbengkelan, sampai sekitar jam 8 pagi. Siangnya, jam 2 hingga jam 8-9 malam,” jelas Joni.

Tak tahan, 1987 Joni pun kabur dari Jakarta. Langkah kaki dibawanya ke Yogyakarta. Niat hati ingin kuliah, tapi apa daya, biaya tak ada. Lalu, profesi sebagai tukang becak pun dijalani Joni. Dan di malam hari ngamen di lorong-lorong gang Timoho dan Gejayan keduanya merupakan kawasan kos-kos-an. Bertahun-tahun tinggal di wilayah kumuh, di bawah jembatan tepi kali Gajah Wong. Menjadi pekerja kasar sebagai buruh bangunan, tukang becak, buruh pabrik, ngamen dengan gaya atraktif, apa pun pekerjaan dilakukan Joni untuk menyambung hidupnya.

Sampai ... sebuah peristiwa mengguncang harga dirinya. Saat dia dianggap melanggar peraturan kesepakatan area, kemudian dihajar habis-habisan oleh sesama penarik becak. Joni tak tahu peraturan itu, tapi hukum rimba tetap berlaku. Muka bonyok, mulut berdarah, satu gigi tanggal karenanya.

“Saat itu saya baru sampai di terminal, ngantar penumpang ke sana, dari teriminal ternyata ada penumpang yang minta diantar, ya saya tarik (antar), ketahuan tukang becak lainnya, langsung saja saya dikeroyok ramai-ramai di terminal itu juga. Ini ... sampai ada gigi saya yang tanggal.”

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, pekerjaan kelas bawah itu tetap ia jalani.
Hingga pada tahun 1993, ketika Joni mulai berkenalan dengan dunia menulis lewat perkenalannya dengan Ismet NM Haris—Seorang wartawan dan penyair yang juga pelanggan (becak) Joni—yang memberi contoh: “Bagaimana agar hidup bisa manusiawi…” “Menulis pengalaman hidupmu sendiri, lewat cerita pendek, lalu kirimkan ke koran.

Penyair itulah yang akhirnya menjadi guru pertama. Guru berikutnya adalah Zaenal Arifin Thoha, menjadi tempat Joni berkonsultasi sebelum mengirimkan karya ke media massa. Termasuk mulai mendatangi diskusi-diskusi di komunitas teater ESKA IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga. Satu lagi orang yang dia akui sangat berjasa adalah M. Arif Hakim. Seorang peresensi terkenal pada jamannya, yang selalu meminjamkan buku-buku. Arif Hakim yang punya koleksi buku sangat banyak, punya trik untuk membuat seorang Joni mau berjuang membaca dengan cepat. Yaitu, masa pinjam hanya sehari. Tiap hari harus mengembalikan secara utuh. Pinjam buku tiga kembali tiga, pinjam lima kembali lima, begitu seterusnya. Jika tidak dilakukan, maka Joni dilarang meminjam lagi.

“Sampai satu hari saya bingung memandang deretan buku Arif yang memenuhi kamarnya, buku apa lagi ya, yang belum saya baca,” tutur si sulung dari empat bersaudara ini. “Bayangkan saja, setiap hari paling tidak Saya membaca tiga buku.” Tambah pensuka karya-karya Voltaire ini dengan raut heran bercampur bangga.

Joni tak mundur menghadapi tantangan. Dia terus maju menggapai impiannya untuk memperbaiki martabat hidup. Dia ingin memintas waktu menuju sukses. Dalam kondisi capek luar biasa karena seharian narik becak, ia menarget membuat dua cerpen selesai dalam satu hari. Hitung saja hasil kerja ‘gila-gilaan’ Joni! Dalam sebulan, minimal ada 60 cerpen yang Joni hasilkan. Setahun? 700-an cerpen telah ia tulis. Sebuah angka yang fantastis sekaligus ajaib. Ajaib karena ditulis oleh seorang tukang becak.

Disiplin itu ia lakukan sepanjang tahun 1993. Namun, sepanjang tahun itu pula, penolakan demi penolakan diperolehnya. Pernah sekali, cerpennya dimuat di Surabaya Post, pada pertengahan tahun 1993, selebihnya jawaban ‘keterbatasan ruangan’ selalu membututi cerpen-cerpen yang telah dikirimnya.

Joni tidak susut harap, ikut dalam komunitas teater ESKA—yang sebagian anggotanya juga penulis tepatnya menulis, membuat Joni mempunyai nafas panjang menulis. Tidak ngambek, katika cerpen-cerpennya tertolak. Dari teman-teman di komunitas itulah Joni belajar bagaimana cara mengirim media, menyiapkan suasana hati saat tulisannya tidak dimuat, mengoleksi nama dan alamat berbagai media massa, baik di pelosok dalam negeri maupun di luar negeri.

Hingga pada tahun 1994, semua berubah 180 derajat, secara mengejutkan cerpennya yang berjudul Lampor, dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas. Semenjak itu hampir tiap minggu cerpen Joni termuat di berbagai media massa. Di antaranya terpublikasi dalam majalah Horison, Matra, Basis, Jurnal Kebudayaan Kalam, Bahana (Brunei Darussalam), serta harian Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Bernas, dan lain sebagainya. Tidak jarang, dalam minggu yang sama ada lebih dari satu media yang memuat cerpennya.

“Sampai-sampai, dalam sebulan Saya pernah mendapat honor sejumlah total 1 juta rupiah, jumlah yang cukup besar, karena harga motor paling keren saja, saat itu hanya 700 ribu rupiah.” terang pria yang mulai maret 2004, menjadi staf redaksi majalah sastra Horison. Itulah mengapa Joni pernah dijuluki Raja Koran.

Joni Ariadinata, semangatnya tak pernah pudar. Di samping menulis melukis, juga mengasuh rubrik Galeri (pembahasan cerpen-cerpen Islami) di majalah Annida, dia adalah Ayah yang sangat dekat dengan kedua putranya. Salah seorang kawan bahkan berkata, salah satu ciri khas Joni adalah selalu membawa istri dan kedua anaknya ke mana-mana.” Itulah Joni.

“Oh ya, saya ingat. Saya harus berterima kasih sama Mang Jana, yang setia membacakan novel berbahasa Sunda. Itu melatih imajinasi saya.” Sela Joni. “Mang Jana adalah penyiar radio Fantasy, pengasuh acara ‘Baca Novel’ yang disiarkan secara bersambung,” tambah pria yang pada tahun depan (2006) genap berusia 40 tahun.

Kami tersenyum. Mas Joni, begitu kami sering memanggilnya, terlihat begitu bahagia menyebut nama-nama orang yang menurutnya, telah sangat berjasa membantunya menjadi seperti sekarang. Kini mas Joni tinggal di perumahan Karangnongko, Gamping, Sleman Yogyakarta. Bersama istri tercinta Indah Laksanawati, yang sering ia sebut dengan Indah Laksana Bunga serta kedua anaknya Hira Muhammad dan Imam Malik Murtadha. Kesehariannya diisi dengan melukis, menulis, dan macul.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger