Home » » Saya, Buku, dan Menulis (Artikel)

Saya, Buku, dan Menulis (Artikel)

Written By Agus M. Irkham on 10 May 2009 | 21:19



: agus m. Irkham

Perjalanan menulis artikel di media massa cetak saya jalani bermula sekitar akhir tahun 1998. Iya betul, tahun 1998. Saat iklim reformasi membawa angin perubahan sekaligus eforia di segala ranah. Salah satunya adalah perkembangan dunia pers/media massa. Keberhasilan memaksa mundur Pak Harto dari kursi kepresidenan juga telah menaikkan bargaining position (baca: gengsi) mahasiswa di mata masyarakat. Saat itu saya baru menginjak semester 3 (tiga).

Saya ikut pers mahasiswa, salah satu organisasi intra di tingkat fakultas. Pada awal magang (istilah untuk yang baru menjadi anggota), dunia tulis menulis belum saya pelajari secara intens. Saya lebih tertarik membaca buku koleksi mini library-nya Edents (lembaga pers mahasiswa yang saya ikuti),koran, sekaligus mengklipingnya. Tanpa sengaja kebiasaan membaca buku, koran dan mengkliping membawa saya akrab dengan berbagai bentuk gaya tulisan, straight news, feature, kolom, artikel/opini, termasuk nama-nama penulisnya.

Klipingan saya dasarkan pada tema-tema yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang saya tekuni yakni Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Kliping dibagi berdasarkan sub-sub tema ekonomi; pariwisata, pertanian (pangan), fiskal/anggaran dan moneter, perbankan, kehutanan, dan beberapa tema terkait lainnya seperti perdagangan luar negeri serta usaha kecil menengah.

Dari buku, saya mulai kenal bagaimana membuat catatan kaki, cara mengutip pendapat penulis lain, menggabungkan antara fakta, teori dan konklusi, yang tak kalah penting tahu bagaimana menyajikan data kuantitatif agar readable. Tanpa sadar saya telah menyusun database yang lengkap tentang kondisi perekonomian Indonesia (paling tidak lingkup mahasiswa se-fakultas).

Meskipun saat itu orientasinya hanya sekedar untuk mengback-up saat presentasi mata kuliah tertentu. Jujur saja, saat itu saya belum kepikiran bahwa kliping ternyata penting sekali ketika hendak menulis artikel. Selang setahun kemudian, baru saya secara sengaja meng-sett-up kliping sebagai bagian dari tahapan penting saat menulis artikel.

Kali pertama artikel dimuat
15 Desember 1999. Kali pertama artikel saya yang berjudul Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dimuat di koran harian terbesar di Jawa Tengah. Bahagia sekali, tentu. Hingga kebahagiaan itu rasa-rasanya tidak bisa saya tanggung sendiri. Kebahagiaan berlebih itu muncul bukan saja karena saya yang pertama di Edents, yang tulisannya mampu menembus media massa umum, tapi juga pertama di fakultas, bahkan pada tingkat perguruan tinggi di Jawa Tengah.
Dan sebetulnya saya berputus harap bahkan telah lupa, karena artikel itu saya kirim sekitar awal Oktober 1999, jadi kurang lebih 2,5 bulan yang lalu. Sumber kebahagiaan lain adalah honor tulisan. Untuk kali pertama saya menerima honor dari tulisan artikel yang dimuat. (sebelumnya puisi).

Setelah agak tenang dan mampu menguasai diri, saya mencoba membandingkan antara tulisan yang dimuat dengan tulisan yang dikirim. Ternyata sangat berbeda. Rupa-rupanya redaktur telah mengedit tulisan saya yang bentuknya memang lebih mirip makalah ketimbang artikel.

Dari situ saya mulai paham, bagaimana bentuk tulisan artikel yang benar. Setelah pemuatan pertama, bukan berarti selanjutnya lancar-lancar saja. Tulisan yang dikirim pasti dimuat tanpa penolakan. Bukan begitu. Nyatanya, beberapa artikel yang saya kirim setelah pemuatan yang pertama, tidak pernah dimuat. Waktu itu saya pernah protes terhadap media yang menurut subjektifitas saya telah melakukan dehumanisasi, minimal secara tidak sengaja.

Lho, kok bisa? Bisa saja, dan ini terjadi karena kepatuhan mereka terhadap kaedah kapabel dan kredibel untuk tulisan layak muat. Hingga seseorang akan dipaksa menjadi the economic person, religius man, political person. Padahal, saat itu semua permasalahan bangsa terus berkutat di benak saya. Dan rasa ketertarikan saya, hampir pada semua bidang persoalan.

Dari soal konflik SARA, kemiskinan, pengangguran, kebakaran hutan, banjir, ancaman lost generation, penegakan hukum, korupsi, masalah pendidikan, perdagangan anak dan perempuan, hingga masalah spiritualitas. Saya juga tidak habis pikir, mengapa saya bisa sebegitu “gila”, tenggelam dalam pesta pemikiran itu. Satu-satunya penyebab yang bisa saya endus adalah berasal dari kebiasaan membaca buku hampir semua jenis/tema.

Saya menuliskan semua pesta pemikiran dalam wujud artikel, tapi nyatanya tidak satu pun dimuat. Barangkali karena tidak dimuat, prasangka buruk itu muncul. Konyolnya, prasangka buruk itu saya tulis dalam bentuk artikel dan saya kirim ke media. Terang saja hanya layak menghuni keranjang sampah.

Lama saya berfikir, siasat apa yang harus dikerjakan agar artikel-artikel saya dimuat lagi. Saya merasa teramat sayang jika artikel yang telah selesai ditulis hanya menjadi koleksi pribadi saja. Semua orang harus tahu tentang kebenaran ini, demikian ucap saya dalam hati. Hingga akhirnya, untuk meyakinkan redaktur, di belakang nama penulis, saya beri embel-embel yang sesuai dengan isi artikel.

Pernah saya menulis tentang trafficking/perdagangan anak dan perempuan dengan mencantumkan kalimat “pemerhati masalah anak dan perempuan” di belakang nama saya,. Menulis tentang “Menemukan New Age di Akhir Ramadhan” dengan menyertakan identitas sebagai “Alumni Pondok Pesantren Luhur dan Redaktur Buletin ISMA (Islam Semesta).” Kebetulan saya pernah ngangsu kawruh (menimba ilmu) di Pondok Pesantren Luhur. Sedangkan ISMA adalah media, bulletin gagasan teman yang meminta bantuan pada saya untuk terlibat/menjadi redaktur. Upaya saya ini ternyata tidak sia-sia. Luar biasa! Tulisan saya dikembalikan alias tidak bisa dimuat.

Berani jual diri
Merasa hopeless, saya coba bertanya ke mas Joko (sebut saja begitu, nama sebenarnya), sebenarnya apa yang salah dengan artikel saya. Kalau saya boleh menyebut diri sebagai penulis pemula, maka mas Joko ini tergolong ‘senior’.

Setiap penulis harus mengambil positioning. Dia menulis hendak dicitrakan sebagai penulis masalah-masalah apa? Apakah penulis masalah hukum, korupsi, politik, agama, perminyakan atau apa?” Demikian penjelasan mas Joko. “Kalau tulisan pertamamu yang dimuat adalah persoalan ekonomi, maka bertahanlah di tema itu. Temukan bagian mana dari diri kamu yang punya nilai jual (selling point) paling tinggi,” lanjutnya.

Berdasarkan penjelasan mas Joko, saya jadi menduga-duga. Mungkin saja redaktur koran telah menset-up saya sebagai spesialis penulis artikel ekonomi yang berasal dari mahasiswa. Atas dasar hipotesis ini, saya mengirimkan artikel berjudul ”Neo Imperialisme Gaya Baru”, berisi tentang perdagangan internasional yang berkaitan dengan isu global; lingkungan hidup, HAM, dan demokratisasi.

Hasilnya, dalam hitungan minggu artikel tersebut dimuat. Dengan demikian hipotesis saya benar/positif. Lalu bagaimana nasib tulisan non ekonomi? Tulisan non ekonomi sekadar menjadi koleksi saja. Atau saya berikan ke teman aktivis di lingkungan universitas kalau ada yang minta, baik untuk bahan tugas kuliah maupun untuk paper pengantar diskusi.

Saya ingat betul, saat itu yang ‘bermain’ di media pada tingkat mahasiswa untuk artikel ekonomi adalah Indra Ismawan (UGM, Yogyakarta). Saya (Undip, Semarang) menyusul di belakang Indra. Pernah dalam sekian bulan Indra hilang dari peredaran, hingga praktis hanya saya saja yang bermain.

Merasa sudah tidak ada lagi tantangan di koran daerah, saya mencoba keluar dari zona aman dengan mulai mengirimkan artikel ke koran nasional. Sampai sekarang, belum juga ada yang dimuat. Paling sedikit sudah 10 artikel saya kirim (paling sering antara tahun 2000-2001). Tapi semua berakhir dengan jawaban: ”Maaf, kami tidak bisa memuat tulisan anda karena keterbatasan ruangan.” Baru tahun 2006 artikel saya mampu menembus Kompas Nasional.

Artikel, cara lain membaca buku
Bagaimana sebenarnya relasi antara membaca (buku) dengan menulis artikel. Mudah saja, sebenarnya artikel adalah ucapan yang ditulis. Kepada siapa ucapan tersebut ditujukan, itu yang menentukan cara dan gaya ucap kamu.

Jika kamu tengah berucap dengan anak berumur 7 tahun, tapi menggunakan bahasa yang lazim digunakan saat seminar atau sarasehan yang dihadiri doktor, professor, mahasiswa dan golongan cerdik cendikia, maka besar kemungkinan kamu akan dikatakan sebagai orang gila.

Sebaliknya, jika kamu tengah menjadi pembicara dalam sebuah diskusi ilmiah tapi menggunakan bahasa-bahasa yang kelewat simple, seperti bahasa yang dipakai anak-anak sekolah dasar, ya siap-siap saja kalau ada akan dicap sebagai intelektual yang kadar keilmuannya memprihatinkan, jika tidak mau disebut bodoh.

Bagaimana caranya agar tidak dikatakan bodoh? Salah satunya menggunakan terma-terma yang canggih (sophisticated), menampilkan data-data yang relevan & paling up to date, di sana-sini menggunakan istilah asing, merefers teori-teori yang paling mutakhir.

Dari mana semua itu didapat? Salah satunya lewat membaca buku. Bagaimana dengan artikel? Sama saja. Jika kamu menulis artikel, tentukan untuk siapa artikel itu ditujukan? Pada lingkup seberapa luas distribusi media yang kamu tuju? Pada tingkat mana keterampilan mamah kertas yang dimiliki pembaca? Jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas menentukan seberapa banyak dan ragam buku yang harus kamu baca.

Pengalaman saya sendiri, untuk menulis satu artikel saja, paling tidak saya harus membaca 5-10 buku. Membawa bertumpuk-tumpuk buku, meniti huruf demi huruf, mencari keterkaitan antara satu buku dengan buku yang lain sungguh sangat mengasyikkan. Agar tidak makan waktu, cukup dengan membaca kata pengantar, daftar isi dan indeks yang tertera di bagian akhir buku.

Ada yang mengatakan, membaca buku dengan hanya mengambil bagian-bagian yang dibutuhkan saja apalagi melalui indeks, akan membuat pemahaman kita terhadap isi buku tidak lengkap. Sepotong-sepotong. Dan ini dikuatirkan akan memberikan pengertian yang salah kepada pembaca tentang isi suatu buku.

Pendapat demikian sah-sah saja, meski tidak melulu demikian. Kalau saya melihatnya lain. Buat apa membaca buku hingga khatam, kalau ternyata isinya tidak sesuai yang kita harap dan butuhkan.

Lagi, apa tujuan penulis buku membuat indeks kalau tidak untuk memudahkan pembaca dalam menemukan hal-hal penting yang dibutuhkan? Atau, paling tidak memberikan kemudahan buat pembaca apakah buku tersebut memang sedang dibutuhkan, tanpa membaca habis isi buku.

Tapi, memang idealnya, kalau ada waktu sempatkan membaca secara lengkap. Baiknya, pada saat membaca, sertailah dengan niatan untuk menceritakan kembali, baik secara tertulis maupun lisan. Dengan begitu, kita akan terbiasa membaca secara kritis, ‘dipaksa’ mencari apa inti sari dari suatu buku. Dalam proses penulisan artikel, hal itu sungguh berguna. Artikel juga bisa menjadi pintu awal masuk ke dalam proses kreatif menulis yang lebih variatif. Dari kebiasaan saya menulis artikel, secara tidak langsung mengajari bagaimana menggagas sebuah buku, melakukan penyuntingan naskah, hingga menjadi ghostwriter.

Mudahnya artikel telah membawa saya kepada dunia kecil nan apik yang sering kali justru menjadi dunia besar saya, yaitu dunia perbukuan. Dunia yang menantang siapa saja untuk memasuki ranah pengetahuan yang lahir dari pertanyaan mengapa. Bergeser setelah mapan berada dalam lingkung teknis operasional hasil dari pertanyaan bagaimana.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger