Home » » Jawanisasi UUD 1945

Jawanisasi UUD 1945

Written By Agus M. Irkham on 30 Apr 2009 | 06:16



: agus m. irkham


Golongan tua setelah berhasil mendisiplinkan anak-anak muda melalui diajarkannya bahasa jawa di bangku SMA, kini muncul kembali inisiatif mengalihbahasakan Undang- Undang Dasar 1945 ke dalam bahasa jawa. Lokakarya “Pengalibahasaan UUD 1945 dalam Bahasa Jawa Krama” pun sempat digelar.

Latar kisah mengapa perlu upaya jawanisasi, pertama ada penilaian bahwa selama ini ada jarak antara UUD 1945 dan masyarakat. Kebanyakan masyarakat lokal kurang memahami isi UUD 1945 sehingga antara teori dan praktiknya sering kali berbeda.

Kedua, adanya sekat antara dunia konseptual dan dunia perilaku. Dan salah satu penyebabnya adalah masalah bahasa.

Ketiga, jawanisasi UUD 1945 adalah upaya efektif menyosialisasikan UUD 1945 dan membangun kesadaran masyarakat lokal. Artinya, masyarakat tidak sekadar tahu UUD 1945 yang berbahasa Jawa, tapi pengalihbahasaan itu sekaligus pendidikan kewarganegaraan berbasis kelokalan.

Keempat, pengalihbahasaan akan memberikan peluang untuk mengembangkan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa yang selama ini digunakan dalam percakapan sehari-hari. Karena selama ini bahasa lokal tak pernah bergaul dengan bahasa Ilmu pengetahuan dan konstitusi sehingga bahasa itu menjadi tidak berkembang.

Selintas, keempat ayat justifikasi di atas masuk akal juga. Tapi, agar kita tidak jatuh pada kesalahan berfikir—kelewat menggeneralisir, mari kita daras keempat dalih pembenaran itu.

Pertama soal keberjarakan antara UUD 1945 dengan masyarakat. Saya melihatnya bukan disebabkan oleh bahasa. Tapi jauh lebih mendasar, adalah soal persepsi masyarakat terhadap aktivitas membaca (UUD 1945) itu sendiri. Sepertinya jelujur waktu terasa demikian merugi kalau harus dihabiskan hanya dengan sekadar mengkaji pembukaan dan pasal demi pasal. Selama ikhtiar untuk mengerti dan memahami UUD 1945 tidak bisa menjamin terlunasinya kebutuhan hidup, selama itu pula jarak akan tetap ternganga.

Apalagi kini virus budayak pop sudah meruyak ke mana-mana. Ditandai dengan segala bentuk penentangan terhadap narasi besar: nama besar, peristiwa besar, cerita besar. Termasuk “penentangan” terhadap bahasa jawa yang tahbis serba adiluhung itu. Mereka cenderung toleran dan memberikan penghargaan pada keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan, dan memungut apa saja, dari mana saja. Identitas tidak lagi bisa dibatasi dari bahasa apa yang digunakan, tapi pada perlombaan dan perayaan pembebasan hasrat berkonsumsi. Di dalam suasana batin seorang penganut budaya pop fundamentalis, sungguh sulit memahami ironi ketika sementara masyarakat di belahan dunia lain sudah sampai ke mana-mana. Kita masih suntuk mencari padanan kata preambule dalam bahasa jawa.

Dalih kedua, adanya sekat antara dunia konseptual dan dunia perilaku. Bahwa semua undang-undang (termasuk UUD 1945) yang pernah dipunyai republik ini bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, itu benar! Dan kalau kita ukur dengan matrik ini, mau tidak mau kita (pemerintah) harus mengakui bahwa kita telah gagal. Kita adalah salah satu dari empat bangsa yang tidak adil di muka bumi. Setelah Brasilia, Afrika Selatan, dan Nigeria.

Kita dihadapkan pada kenyataan perilaku: ketidakadilan dalam pembagian kekayaan nasional; ketidakadilan dalam arti sentralisme yang sangat berat; cara-cara pengumpulan kekayaan pribadi dan kelompok yang tidak benar; abai terhadap prinsip hukum; genangan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Apakah dengan demikian lantas dapat disimpulkan bahwa perilaku menyimpang itu muncul karena kurangnya pemahaman terhadap undang-undang? Dan itu disebabkan oleh kendala teknis kebahasaan?

Sekat antara dunia konseptual dan dunia perilaku, saya melihatnya sebagai akibat dari faktor manusianya yang cenderung bersifat orba (homo orbaicus). Dapat dicandari melalui perilaku yang penuh hipokrisi. Apa yang dikatakan (what people say), berbeda dengan apa yang dikerjakan (what people do). Dengan berat hati harus saya katakan dalih kedua jawanisasi UUD 1945 tidak mendapati dasarnya.

Kilah ketiga, bagian dari membangun kesadaran dan pendidikan kewarganegaraan berbasis kelokalan. UUD 1945 tersusun tidak serta merta. Ia berkait jalin dengan bagaimana bangsa ini lahir. Kalau boleh saya melontarkan pertanyaan retoris: apa pasal meskipun panitia perumus UUD 1945 mayoritas jawa, tapi mengapa yang digunakan adalah bahasa Indonesia? Tentu ada ada sesuatu yang hendak dititipkan oleh para founding father kepada generasi berikutnya. Ya betul, yaitu semangat persatuan. Semangat sumpah pemuda.

Sumpah Pemuda “meledak” karena adanya kesadaran yang bersifat monoklausal. Ada kesamaan persepsi, mengenai siapa yang harus dijadikan musuh bersama. Para pemuda saat itu sadar betul bahwa identitas kebangsaan itu tidak bisa didasari pada diversifikasi rasial dan kultural (bahasa termasuk di dalamnya).

Prakarsa mereka begitu genuine, jauh sebelum negara dan pemerintah Indonesia ada. Pada waktu itu, pemuda menyatakan prasetya , bahwa kami adalah satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, satu tanah air yaitu Tanah Air Indonesia, satu bahasa yaitu bahasa Indonesia (Rendara via Sindunata, 2000). Dengan begitu bukankah jawanisasi UUD 1945 justru menjadi titik balik kesadaran tersebut?!

Entah jika para pemuda yang anonim dan para founding father itu bangun dari kuburnya, golongan tua sekarang ini akan disumpahi atau tidak. Jangan-jangan jawanisasi UUD 1945 memang menjadi jilid II (dua) dari pola pendisiplinan golongan tua terhadap golongan muda muda. Lantaran golongan yang terakhir disebut menurut sebuah penelitian menjadi golongan yang paling tidak setia menggunakan bahasa jawa. Tidak memunyai sopan-santun, unggah-ungguh dalam berbicara dan bersikap dengan orang dewasa.

Tangkisan keempat, jawanisasi UUD 1945 bagian dari usaha mengembangkan bahasa jawa melalui pergaulan dengan bahasa ilmu pengetahuan dan konstitusi. ”Kupernya” bahasa jawa saya candrai lebih karena sifat yang sudah melekat dari sono-nya: terlalu hirarkis! Sehingga berkesan feodal. Padahal bahasa pengetahuan dan terlebih konstitusi harus bersifat egaliter, tegas, dan jelas. Tidak mengenal kasta atau hirarki. Menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa hukum dan pengetahuan justru akan mereduksir tabiat fitrahnya. Keduanya jadi tidak bebas nilai! Tapi sangat bergantung siapa yang memakai. Tentu ini kabar buruk buat pengembangan capaian ilmu pengetahuan dan proses penegakan hukum.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger