Home » » Perpustakaan, Jumlah Buku, dan Minat Baca

Perpustakaan, Jumlah Buku, dan Minat Baca

Written By Agus M. Irkham on 16 Jun 2009 | 23:10



: agus m. irkham

Dua alasan yang sering kali disebut orang, ketika menyangkakan bahwa minta baca masyarakat kita rendah adalah jumlah pengunjung perpustakaan serta jumlah tiras dan judul buku baru yang diterbitkan per tahun. Mengapa perpustakaan? Karena di tempat inilah para pendaras buku berkumpul. Mereka pergi ke perpustakaan dengan sengaja, bukannya iseng. Ramainya jumlah pengujung dapat dibaca sebagai tingginya minat baca. Sebaliknya jika jumlah pengunjung dan peminjam buku bisa dihitung dengan jari, maka itu artinya minat baca masyarakat masih rendah.

Pertanyaannya, benarkah demikian? Tidakkah rendahnya minat orang berkunjung ke perpustakaan bisa saja dipicu oleh faktor-faktor di luar buku? Misalnya mulai dari akses ke lokasi, kenyamanan ruang baca, sikap para staf/pustakawannya, varian layanan yang diberikan, serta sistem sirkulasi (meminjam dan mengembalikan) yang tidak memudahkan.

Alternatif gerai adab
Pengandaikan yang dilontarkan oleh sementara kalangan yang menghubungkan antara tingkat kunjungan perpustakaan dan tinggi-rendahnya minat baca adalah tampilnya buku berbasis kertas menjadi satu-satunya bahan bacaan. Dan perpustakaan menjadi satu-satunya gerai adab buat para pencinta buku. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Kini, untuk membaca buku orang tidak harus atau wajib ke perpustakaan. Ada beragam alternatif tempat yang dapat didatangi. Mulai dari cafee, toko buku, lapak buku, dan tak berbilang website perbukuan yang menggratiskan orang mengunduh ribuan artikel, jurnal, esai, tutorial, termasuk buku elektronik.Para peneliti, ketika ingin mengetahui arti suatu lema (entry), mereka lebih memilih mencari di mesin pencari google, atau wikipedia—ensiklopedia raksasa virtual dunia—ketimbang menjadi kutu ensiklopedia tradisional yang setebal bantal itu.

“Terlalu berbelit bagi para inovator laboratorium yang harus bekerja cepat dengan ratusan acuan ilmiah yang disebar di seluruh dunia.” Dedah Romo Mangun (Alm), saat simposium Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia (1999). Jika rendahnya jumlah (minat kunjung) perpustakaan disama artikan dengan rendahnya minat baca, maka negara-negara sangat maju seperti Inggris, Jepang, dan Jerman, dapat dikategorikan negara berminat baca rendah. Apa pasal? Di inggris misalnya. Berdasarkan penelitian yang diprakarsai pemerintah Inggris pada tahun 2000, meskipun bagi jelujur sejarah Inggris, keberadaan institusi perpustakaan sudah tercatat berusia 150 tahun—ternyata perpustakaan umumnya tetap kurang diminati publik Inggris. Di Jepang, tak kurang 72 persen wilayah pedesaan belum memunyai perpustakaan umum. Padahal kita tahu, selama ini Jepang sering dijadikan rujukan tingginya minat baca.

Lain lagi di Jerman, berdasarkan informasi yang dirilis IFLA (International Federation of Library Association and Institutions), Jerman menjadi negara dengan konsumsi buku tertinggi, namun hanya 15 sampai dengan 20 persen saja dari jumlah total penduduknya yang memanfaatkan perpustakaan umum (datang, membaca, dan meminjam/mengembalikan) secara teratur. Dari 16.000 pemerintahan daerah di Jerman, hanya sekitar 2.000 yang memiliki perpustakaan umum. Setelah membaca beberan perangkaan di atas, tentu kita tidak akan serta merta menggolongkan ketiga negara tersebut sebagai negara yang minat baca masyarakatnya rendah. Dengan demikian jumlah (minat kunjung) perpustakaan tidak dapat dipakai sebagai ukuran atau parameter untuk menyimpulkan tinggi rendahnya minat baca.

Itu perpustakaan, bagaimana halnya dengan jumlah buku? Betulkah jumlah cetakan (oplah/tiras) dan judul buku baru per tahun bisa dijadikan ukuran tinggi-rendahnya minat baca? Artinya, jika jumlah keduanya tinggi, maka dapat disimpulkan minat baca masyarakat juga tinggi.

Sukses industrial
Sejauh yang saya tahu, belum ada satupun penelitian yang membenarkan simpulan tersebut. Selama ini serapan buku yang besar, lebih merupakan hasil kerja keras dan cerdas para pemasar buku (aspek industrial). Bukan kultural, yang memang dari sononya masyarakat sudah suka membaca karya sastra—indikasi minat baca tinggi.

Contoh paling dekat adalah yang terjadi pada novel Laskar Pelangi. Betul, bahwa LP dibaca dan dibeli oleh lebih dari satu juta orang. Namun, menurut pengakuan pengarangnya sendiri, Andrea Hirata, pembaca rasional LP hanya sekitar 150-an ribu. Selebihnya adalah pembaca emosional. Mereka tergiur ikut-ikutan membeli dan membaca LP setelah LP masuk Kick Andy dan mulai menjadi bahan obrolan banyak orang.

Yang terjadi pada LP bak pinang tak berbelah dengan yang dialami novel Ayat Ayat Cinta. Orang membaca LP dan A2C demi mendapatkan “perlindungan dan rasa aman” secara sosial. Akibatnya setelah heboh LP dan A2C selesai, selesai pula kegairahan mereka mendaras karya sastra. Dari situ, poin pentingnya adalah: jumlah serapan tiras atau oplah cetakan buku yang besar, ternyata tidak serta merta dapat dibaca sebagai bukti melonjaknya minat baca masyarakat.

Bagaimana dengan jumlah judul buku baru per tahun? Saya melihatnya parameter itu lebih tepat digunakan untuk mengukur tingkat minat menulis masyarakat, penghargaan terhadap hak karya intelektual, serta keberpihakan negara (baca: pemerintah) terhadap industri perbukuan. Wujud keberpihakan itu bisa berupa pajak nol persen untuk penulis atau insentif pengurangan pajak dan subsidi untuk input industri perbukuan. Maka dari itu, salah alamat, jika jumlah judul buku baru per tahun dimasukkan ke dalam diskursus konsumsi buku (minat baca). Ia lebih cocok dimasukkan ke dalam ranah produksi.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger