Home » » Berlari dari Kejaran Harimau

Berlari dari Kejaran Harimau

Written By Agus M. Irkham on 12 Jun 2009 | 00:54



: agus m. irkham

Bagi seorang penulis, harimau itu ada dua. Pertama dari dalam diri, bentuknya berupa kejaran hasrat melepaskan emosi, pikiran, sekaligus renungan. Kedua dari luar diri. Berupa keharusan untuk bertahan hidup. Bertahan hidup dalam pengertian harfiah, berlari dari kejaran harimau rasa lapar, bukannya kemiskinan. Akibat yang harus ditanggung atas kegagalan melepaskan diri dari kejaran harimau pertama bersifat personal. Hanya pada diri si penulis. Sedangkan harimau kedua, bersifat komunal, terutama penulis yang sudah berkeluarga dan beranak pinak. Kegagalan meloloskan diri dari sergapan harimau kedua, alamat buruk buat istri dan anak-anaknya.

Di Indonesia—entah di negara lain—berprofesi hanya menjadi penulis sungguh berisiko, terutama secara ekonomi. Meskipun belakangan banyak buku yang mengajak pembacanya untuk memasuki dunia kepenulisan, dan ajakan itu selalu disertai dengan iming-iming dan janji kemapanan hidup (baca : uang melimpah). Tapi nyatanya sejauh bacaan saya, hanya ada dua penulis di Indonesia ini yang benar-benar sudah merasakan kelimpahan ekonomi dari profesinya menjadi penulis. Yaitu Andrea Hirata, dan Habiburahman El-Shirazy. Di luar kedua novelis itu, masih bersifat relatif. Masih bisa diperdebatkan. Bahkan lebih banyak sebatas klaim.

Dari mana seorang penulis mendapatkan penghasilan? Kausalitas naturalnya tentu saja berasal dari royalti buku, honorarium menulis di media, imbalan menjadi editor, dan honorarium menjadi pembicara atau pemateri pelatihan kepenulisan. Meskipun, terkesan memunyai banyak pintu, tapi sejatinya hanya satu: penghasilan penulis ditentukan oleh pihak lain (media, penerbit, panitia) dengan waktu yang hampir tidak bisa diperkirakan.

Artinya satu waktu, bisa saja seorang penulis dilimpahi kelonggaran keuangan, lantaran banyak tulisannya di muat media, buku yang ia tulis bestseller, didaulat menjadi trainer di mana-mana. Tapi di lain waktu, yang terjadi bisa sebaliknya. Rasa panik mulai menjalar lantaran uang di kantung makin tipis, sementara tulisan-tulisan yang ia kirimkan ke media menuai banyak penolakan, buku yang diluncurkan justru membuat penerbitnya merugi, celakanya tak satupun panitia memintanya untuk menjadi pembicara atau trainer. Dalam kondisi demikian, proses berkarya pun menjadi terganggu, sulit konsentrasi, bahkan bisa macet. Lantaran harus terus menoleh ke belakang, mengawasi kejaran harimau yang kian waktu kian dekat. Jiwa dan pandangan hidup menjadi kerdil. Lalu hutang, menjual atau menggadaikan barang berharga pun akhirnya menjadi pilihan.

Pendek kata, dari sisi perolehan nafkah (uang) profesi penulis adalah profesi yang memunyai tingkat ketidakpastian tinggi. Padahal ketidakpastian tinggi berbanding lurus dengan risiko tinggi. Tentu saja ini berbahaya, apalagi jika ketidakpastian itu dihubungkan pula dengan ketidakpastian lainnya, misalnya sakit, baik oleh sebab alamiah maupun karena kecelakaan. Atau yang pasti sekalipun, seperti biaya sekolah anak, ongkos hidup sehari-hari, biaya rumah, cicilan kendaraan, dan lain-lain hajat hidup yang tidak bisa diandaikan.

Pada kondisi demikian, jika Anda seorang penulis maka agar tetap bisa melangsungkan hidup, baik dalam pengertian indrawi (fisik) maupun maupun idea (berkarya) mau tidak mau Anda harus menyiapkan semacam jaring pengaman kehidupan. Andai Anda jatuh, jaring itu akan menahan Anda, sekaligus akan membantu Anda untuk bangkit kembali.

Jaring kehidupan itu bernama asuransi. Secara mudah asuransi dapat dimengerti sebagai bentuk perlindungan terhadap risiko. Dan resiko itu muncul akibat adanya ketidakpastian atau ketidakterdugaan yang tinggi. Ada 3 (tiga) entry atau lema penting dalam asuransi. Pertama insurer, pihak (perusahaan) yang memikul risko dan menjamin penggantian kerugian terhadap kerugian-kerugian yang diderita, sesuai dengan apa yang tercantum dalam polis asuransi. Dalam perkembangannya, kata “kerugian” mengalami perluasan. Tidak hanya melingkupi kerugian fisik (barang/benda), tapi juga kerugian non fisik (jasa). Mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga jiwa.

Kedua, insured, yakni pihak (perseorangan, kelompok, atau lembaga) yang risiko kerugiannya dilindungi oleh sebuah perusahaan asuransi. Untuk memeroleh hak perlindungan tersebut, insured harus ”mengambil” asuransi, dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam surat persetujuan/bukti kepemilikan asuransi (polis). Salah satunya adalah berupa premi, sejumlah uang yang harus dibayar dimuka oleh insured kepada insurer dengan periodesasi waktu tertentu. Misalnya per tahun, per semester, per kwartal, per bulan atau per minggu. Sesuai dengan preferensi dan tingkat kebutuhan insured akan jenis asuransi.

Ketiga, insurance policy (polis asuransi), persetujuan tertulis antara perusahaan asuransi dengan pihak yang diasuransikan (insured). Di dalam polis tersebut tercantum semua syarat ketentuan persetujuan (hak dan kewajiban) insurer dan insured. Sebelum membubuhkan tanda tangan, seorang insured harus membaca dan betul-betul memahami butir-butir ketentuan tersebut. Termasuk mengonfirmasi pasal-pasal yang bias atau tidak dipahami kepada agen yang menawarkan.

Jangan pernah menjadikan keterangan lesan agen sebagai pertimbangan utama membeli polis. Yang sering terjadi, disadari atau tidak, kebiasaan menggunakan bahasa lesan (orality), membuat kita lebih memilih mendengar agen berbicara ketimbang mendaras, membaca dengan teliti (literacy) pasal-pasal demi pasal. Padahal akad persetujuan membeli polis berupa tandatangan bukan ucapan. Akibatnya, sering kita temukan di rubrik Surat Pembaca media, surat berisi komplain/keluhan tentang susahnya klaim, cidera janji, dan sebagainya. Padahal persoalan pokoknya terletak pada keengganan insured membaca detail pasal perjanjian.

Di Indonesia ada banyak layanan asuransi. Baik yang dikelola oleh perbankan, lembaga pemerintah, maupun murni institusi bisnis. Salah satunya adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Dan saya prediksi, industri jasa asuransi akan terus tumbuh, baik dalam kuantitas maupun kualitas layanan. Pemicunya saya kira sudah jelas, negeri ini adalah salah satu negeri dengan tingkat ketidakpastian tinggi. Padahal semakin tinggi tingkat ketidakpastian, semakin tinggi pula tingkat risiko kerugian. Semakin tinggi risiko kerugian, secara psikologis kebutuhan orang untuk membeli asuransi juga semakin tinggi. Semakin banyak pemain asuransi, tingkat persaingan kian tinggi. Semakin tinggi tingkat persaingan, lazimnya semakin tinggi pula standar kualitas layanan.

Berdasarkan pengalaman saya pribadi, sebagai suami sekaligus ayah dari dua anak yang masih kecil-kecil, agaknya memiliki polis asuransi menjadi sesuatu yang sulit dihindari. Bahkan mendekati keharusan. Apalagi persentase terbesar penghasilan saya disumbang dari aktivitas menulis—yang memiliki tingkat ketidakpastian tinggi. Dan kebetulan pula, saya tidak mengikatkan diri pada lembaga atau perusahaan tertentu. Saya memperkerjakan diri sendiri (selfemploed). Akibatnya, saya tidak memiliki fasilitas asuransi tenaga kerja, tunjangan, bonus, dan lain-lain layaknya pekerja kantoran.

Bertalian dengan munculnya kesadaran pada diri saya bahwa memiliki polis asuransi, terutama asuransi kesehatan, mendekati keharusan ada ceritanya sendiri.Waktu itu sekitar Maret 2007 untuk kali kedua istri saya hamil. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, ternyata hamil anggur atau molla. Pilihannya hanya satu, harus dioperasi (dikiret). Akhirnya istri saya pun harus rawat inap di Rumah Sakit. Saat itu, saya tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar ongkos operasi yang angkanya mencapai jutaan rupiah. Ada tiga kepusingan yang harus saya tanggung. Pertama pusing karena ”kehilangan anak”. Kedua, pusing karena memikirkan istri yang mengalami shock, apalagi lagi menurut keterangan dokter, molla berpotensi menjadi kanker. Ketiga, pusing karena memikirkan biaya rumah sakit.

Walaupun akhirnya, biaya rumah sakit terbayar—saya terpaksa meminjam uang ke adik dengan jaminan perhiasan istri—tapi tetap saja kejadian tersebut mengguratkan ingatan yang traumatis buat saya. Tentu, hal itu tidak akan terjadi, jika misalnya istri (saya) memiliki polis asuransi kesehatan.

Dalam pandangan saya pribadi, polis asuransi bukalah kupon undian, yang di situ saya bisa berharap keuntungan besar dengan modal kecil—artinya ada pihak yang saya rugikan. Bukan pula wujud buruk sangka saya atas kehendak dan ketentuan Tuhan, yaitu soal kematian, apalagi doa agar (keluarga) saya terkena musibah dan kesukaran. Atau agar jelujur waktu kehidupan dapat dilakoni dengan serba pasti, sehingga peran Tuhan menjadi tidak penting, karena toh semuanya sudah pasti. Bukan itu—kebanyakan masyarakat tidak mau berurusan dengan asuransi (beli polis) karena persepsi-persepsi di atas. Pada titik itu pula sebenarnya, kerja-kerja kreatif pembentukan kesadaran publik (public awarness) terhadap arti penting asuransi bisa dimulai. Termasuk kemungkinan membuka varian layanan asuransi berbasis syariah. Dengan begitu, masyarakat memunyai pilihan, andai mereka belum memunyai ketetapan hati membeli polis asuransi ”konvensional”. Sebagaimana yang terjadi di perbankan saat ini.

Saya lebih senang menempatkan kepemilikan polis asuransi sebagai bagian dari cara saya untuk merawat apa-apa yang sudah diamanatkan Allah SWT kepada kita (tubuh/kesehatan), berjaga-jaga, merencanakan hidup, dan menghindari buruk sangka kita kepada Allah SWT. Karena tak jarang, kesukaran hidup, terutama di bidang ekonomi/keuangan sering mendatangkan godaan untuk bersyak wasangka kepada—Nya. Yang dalam klausul agama Islam disebut: kemiskinan mendekatkan kepada kekufuran (pengikaran nikmat), dan kekufuran mendekatkan kepada kekafiran (pengingkaran eksistensi Tuhan). Tuhan, kita sebut tidak lagi sayang dan cinta karena tidak memedulikan susah-derita kita. Bahkan doa yang diucapkan pun tanpa kita sadari bernada ancaman!♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger