Home » » Dari Ceriwis Personal ke Ceriwis Kolosal

Dari Ceriwis Personal ke Ceriwis Kolosal

Written By Agus M. Irkham on 19 Jul 2009 | 23:42




: agus m. irkham

Judul Republik Genthonesia
Penulis Mbah Dipo
Penerbit Pro You, Yogyakarta
Cetakan I 2009
Tebal 254 Halaman

Pasca 1998, setiap orang begitu mudah berbicara tentang ketidakberesan dan pelanggaran, terutama yang dilakukan oleh negara. Jika sebelumnya kritik adalah haram, setelah Soeharto lengser keprabon, kritik menjadi 200 persen halal. Bahkan tiap orang merasa wajib ceriwis terhadap segala problem kebangsaan. Harga sebuah kritikan menjadi demikian murah. Kebanyakan orang menganggap kritikan menjadi sesuatu yang biasa. Akibatnya, seorang pengiritik kehilangan keistimewaannya—matilah si pengkritik.

Keceriwisan dan kritik dalam kadar yang cukup, bisa menjadi vitamin untuk banyak orang. Menyadarkan orang atas ketertiduran kesadaran. Namun ketika ceriwis itu telah mencapai kuantitas melebihi kebutuhan, timbul masalah baru. Kritik dianggap suatu kelaziman, oleh karenanya tidak perlu diperhatikan.

Selain itu, faedah sosial keceriwisan seseorang di tengah massa yang juga ceriwis menjadi demikian kecil. Apa arti gumaman satu orang di tengah teriakan banyak orang. Apa arti terang senter di siang hari. Apa arti nyala lilin dibandingkan terang sinar lampu. Adanya tidak menggenapkan. Tiadanya pun tidak mengganjilkan.

Berderet pertanyaan itu yang muncul usai saya tandas mendaras buku setebal 254 halaman ini. Atas dasar konteks perubahan orde keceriwisan itu pula, kritik Mbak Dipo, penulis buku ini saya golongan sebagai bentuk kesadaran yang terlambat.

Keterlambatan itu dapat kita masuki dari modus lahirnya kesadaran. Yaitu bermula dari konstruksi (tesis), dekonstruksi (antitesis), dan konstruksi baru (sintesa). Republik Genthonesia masih berada di ranah dekonstruksi. Sama halnya dengan buku-buku wacana keceriwisan yang terbit 8-9 tahun lalu, macam Bangsa Saya yang Masih Menyebalkan (Eep Saefullah Fatah), Orde Para Bandit (Benny Susetyo), dan Penjahat Gaya (Orde) Baru (James T. Siegel).

Padahal, proses gerakan penyadaran publik kini tengah bergerak ke titik konstruksi baru (sintesa). Wacana dekonstruksi telah banyak ditinggalkan orang, publik luas juga sudah capek dengan wacana tersebut. Mereka lebih tertarik untuk menekuni tawaran solusi atau konstruksi ulang/baru atas suatu masalah.

Sudah begitu, keceriwisan Mbah Dipo agak berbau sinisme. Semua yang berada di luar dirinya, terkesan buruk dan tidak benar. Sampai dengan halaman 200, saya gagal menggolongkan bahwa Mbah Dipo ini sebenarnya seorang Indonesia atau bukan. Karena seluruhnya bernada pesimis, persis seperti yang tertulis di tiap sub yang mengikat 44 judul tulisan itu: Sisi Kelam, Sisi Buram, dan Sisi Kelabu. Dari 254 halaman, hanya 20 persennya saja yang mengabarkan tentang kebaikan dan optimisme hidup. Sebuah perimbangan yang sangat tidak menguntungkan untuk proses perbaikan suatu bangsa.

Membaca Republik Genthonesia adalah membaca potongan-potongan pengalaman keseharian Mbak Dipo. Bukan hasil sebuah pengamatan utuh atas suatu masalah yang lengkap dengan pendekatan akademik yang ketat. Jadi agak berlebihan memang jika kita berharap akan mendapatkan pembahasan—menyangkut mana gejala, mana sumber masalah, dan bagaimana solusinya—terhadap tiap masalah yang diusung Mbah Dipo secara komprehensif dan memadai.

Angop personal, angop kolosal
Wadah pertama tulisan-tulisan yang terhimpun di buku yang bukan buku ini pun bukan buku, tapi blog. Tabiat asli blog memang memuat catatan keseharian atau semacam diary (catatan harian/jurnal). Dan tujuan awal blog biasanya sekadar curhat, berbagi keresahan. Pada titik itu, sulit bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa Republik Genthonesia hanya sekadar abab atas angop/kuap Mbah Dipo di tengah keletihannya menjalani jelujur waktu sehari-hari sebagai dokter sekaligus “pengusaha” muda.

Angop, atau kuap adalah pemberhentian sementara (transit) antara kedigdayaan akal dan kuasa waktu ketidaksadaran. Angop merupakan mekanisme mikro, sekaligus makro kosmos yang bersifat given. Ketika tubuh lelah, pikiran mentok, ia muncul begitu saja, tanpa kita undang guna menyeimbangkan kembali kondisi fisik dan psikis.

Angop memberi kita waktu, meski sebentar, guna menimbang ulang, apa-apa yang telah kita lakukan di hari itu. Sudahkah baik dan benar. Apakah pelipatan waktu dan jarak yang selama ini terjadi telah menggiring kita ke dalam situasi selalu tidak punya kesempatan untuk melakukan perenungan-perenungan. Karena bisa jadi tanpa sadar, setiap hari kita hanya disibukkan dengan penjelajahan ruang yang bersifat fisikal. Padahal ruang gerak dan bertumbuhnya umat manusia adalah tanggung jawab.

Soal angop, Cak Nun (1996) pernah berujar: “Kegiatan hidup sesungguhnya adalah mengakumulasikan sejumlah “keletihan” yang menindih. Ketika kita letih dalam “festival ketidaksanggupan” menjawabnya, kita memerlukan angop, bikin ventilasi, jendela untuk kesumpekan jiwa kita. Makin letih, makin perlu angop. Oleh karena itu, lanjut Cak Nun, masyarakat, mengalirnya sejarah, senantiasa juga membutuhkan angop-angop. Agar supaya kesehatan kehidupan tetap terpelihara.”

Angop dibutuhkan tidak saja oleh mereka yang dalam hidup sering kalah, terpinggirkan, tidak dianggap penting. Tapi juga golongan masyarakat yang selalu tampil menjadi pemenang. Terlebih mereka yang setiap hari melipat dunia, dan mengalami berkali-kali kematian!

Maka dalam bingkai angop, Republik Genthonesia adalah wujud ketidakberdayaan penulisnya untuk mengubah apa-apa yang ia golongan sebagai kenyataan yang kelam, buram, dan kelabu yang jumlahnya mencapai 44 lema atau entry itu. Melalui Republik Genthonesia, Mbah Dipo mengajak kita untuk angop berjamaah. Dari angop personal menjadi angop komunal, bahkan kolosal.

Republik Genthonesia beda
Satu hal yang membedakan—untuk tidak mengatakan kelebihan—buku terbitan Pro You ini dengan buku-buku wacana dekonstruksi lainnya adalah kemasannya: kover dan gaya tulisan yang komikal, cair, plesetan, guyon, jauh dari kesan bakal mengerutkan dahi pembacanya. Padahal ragam tema yang ditulis di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan besar nan berat: pendidikan, utang luar negeri, kebebasan beragama, politik luar negeri, cara berfikir, hedonisme, reformasi, kualitas layanan kesehatan, kemiskinan, takdir, dan hal-hal berat lainnya.

Hal ini pula yang membuat saya tidak terlalu kuatir dengan pertanyaan: Di zaman penuh kebebasan berekspresi, masih penting dan bergunakah suatu kritikan—seperti yang saya tulis di awal timbangan buku ini. Karena letak persoalannya ternyata bukan pada kritik itu sendiri, tapi lebih kepada bagaimana kritik itu dilontarkan.

Mbah Dipo dengan begitu lincah, misalnya, menghubungkan antara film perjuangan dengan praktik komprador kapitalisme (hlm 12), korupsi dengan kosmetik spiritual (hlm 106), kentut dengan potensi kerusakan suatu bangsa (hlm 137), pencuri sandal dengan praktik kolonialisme baru (hlm 17). Deretan bukti tajamnya mata batin Mbah Dipo tersebut dapat saya perpanjang lagi.

Metafora yang dikemukakan Mbah Dipo sekaligus sedikit mengatasi pula keterbatasan Republik Genthonesia sebagai buku berwacana dekonstruksi yang semula saya sangkai terlambat.

Dan naga-naganya Mbah Dipo paham pameo ini: di bawah matahari tidak ada lagi sesuatu yang baru. Maka tugas seorang penulis adalah menemukan ragam ucap dan pola ekspresi kebahasaan yang beda atas satu tema atau pokok masalah yang sama. Pemahaman Mbah Dipo bertemu dengan kemafhuman Pro You atas produk, bahwa isi (content) itu penting, tapi belum cukup. Isi yang baik harus disempurnakan dengan kemasan (context) yang istimewa pula.

Kecairan bahasa yang digunakan serta kover yang komikal mengisyaratkan kepada kita, bahwa Republik Genthonesia disasarkan kepada pembaca muda. Lebih spesifik mereka yang tengah duduk di bangku SMA dan kuliah. Judul yang digunakan pun sudah mengarah ke situ. Genthonesia, adalah hasil “kawin paksa” antara kata “Gentho” dan “Indonesia”. Perkawinan paksa kata yang kini juga tengah digandrungi golongan muda.

Hanya saja, saking besarnya kehendak Mbah Dipo untuk mencairkan tulisannya, ia terlalu royal menggunakan idiom (bahasa) Jawa. Hingga penerbit berasa perlu membuat footnote atawa catatan kaki. Berapa jumlah footnote-nya? Tak main-main, 266! Jauh lebih banyak dibandingkan keseluruhan tebal buku.

Tentu tujuan pemberian catatan kaki adalah untuk memperjelas makna kata. Dan memang tujuan itu terlunasi, tapi harus dibayar mahal, berupa ketidaknyamanan saat membaca. Terlalu banyak jeda. Sedikit-sedikit menilik ke bawah. Bahkan saya yang termasuk orang Jawa kontingental—ini meminjam istilah Mbah Dipo—selalu tergoda, tidak tahan untuk tidak melihat penjelasan tiap kata yang diberi footnote. Tapi jika footnote diabaikan, resikonya jadi tidak terlalu ngeh dengan maksud kalimat. Karena Mbak Dipo banyak sekali menggunakan bahasa Jawa prokem (preman) yang saya sendiri tidak paham.

Tak terbayang kepusingan yang bakal dialami pembaca yang bukan orang Jawa dan tidak paham bahasa Jawa. Pada titik itu, sadar atau tidak Mbah Dipo telah benar-benar ”menjajah” orang Jawa dan non Jawa.

Maka cara paling tepat membaca Republik Genthonesia adalah dengan pelan-pelan (mendaras). Biar sedikit, yang penting paham. Tidak perlu mengejar target halaman terbaca. Apalagi, karena Republik Genthonesia adalah buku kumpulan tulisan, Anda bisa mulai membacanya dari halaman manapun. Tidak harus dari depan. Tapi mulai di tengah atau belakang pun bisa, tanpa harus kuatir kehilangan alur berfikir penulisnya.

Terlepas dari kekurangan di atas, Republik Genthonesia patut dibaca oleh, terutama golongan muda. Bukan saja karena yang menulis—Insan Agung Nugroho, nama asli Mbah Dipo tergolong masih muda—baru berusia 35 tahun, tapi buku ini telah mengajak secara kreatif golongan muda untuk kritis, dan ceriwis. Mengajak pembaca menemukan realita (konteks) di balik fakta (teks). Mengajak tiap aku untuk turut pula membubuhkan “catatan kaki” atas tiap peristiwa yang dialami. Mengolah kekritisan dan keceriwisan itu menjadi energi untuk menggagas kerja-kerja nyata-kreatif. Dengan begitu harapannya Anda akan menemukan diri sebagai aku yang men-semesta. Bukan diri yang dipenuhi syak wasangka dan ego-ego pribadi.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger