Home » » Di Sekitar Peristiwa Proklamasi

Di Sekitar Peristiwa Proklamasi

Written By Agus M. Irkham on 21 Aug 2009 | 20:52



: agus m. irkham

Salah satu berkah reformasi adalah kebebasan. Kebebasan untuk menilik ulang klaim-klaim kebenaran sejarah. Klaim sejarah yang tak jarang penuh tambah dan kurang demi mengamankan dan melanggengkan kekuasaan. Hingga ada pameo, sejarah hanya untuk kelompok yang tengah berkuasa.

Salah satu peristiwa bersejarah yang tidak pernah mengalami pertanyaan ulang adalah proklamasi. Selama ini proklamasi kemerdekaan dianggap sudah final, selesai. Sebagai peristiwa yang murni inisiatif dwi tunggal, Soekarno - Hatta. Yang ketika itu representasi dari generasi senior (tua). Tanpa ada campur tangan atau kehendak generasi yunior (golongan muda).

Anggukan terhadap simpulan final itu dapat dibuktikan dari jarangnya buku yang secara khusus mengungkap peristiwa di sekitar proklamasi. Sangat berbeda misalnya dengan peristiwa seputar gerakan 30 September yang menghasilkan berpuluh buku berisi tesis-antitesis soal dugaan keterlibatan CIA, Soeharto, dan PKI dalam tragedi kemanusiaan tersebut. Termasuk kontroversi seputar surat perintah sebelas maret (Supersemar).

Satu-satunya buku—paling tidak sejauh bacaan saya—yang mengungkap peristiwa di sekitar proklamasi adalah Dari Penjara ke Penjara-nya Tan Malaka. Di halaman 139 – 158 jilid tiga buku itu secara khusus Tan memberikan kesaksian tentang apa dan bagaimana yang sebenarnya terjadi di sepekan sebelum 17 Agustus 1945.

Kesaksian Tan Malaka secara pendek dapat saya tulis: justru Bung Karno dan Hatta menjadi pihak yang paling ragu, kalau tidak mau dikatakan menentang, rencana pernyataan kemerdekaan 17 Agustus itu. Keduanya lebih memilih tawaran hadiah kemerdekaan dari Jepang, 24 Agustus 1945. Lantaran paksaan dari para golongan muda, seperti Adam Malik, Sukarni, Pandu Wiguna, Chaerul Saleh dan ancaman jiwa dalam arti sesungguhnya dari Subeno, pimpinan pasukan PETA di Rengas Dengklok sajalah menyebabkan Soekarno – Hatta mau melakukan proklamasi.

Lantas apa faedah sosial membicarakan peristiwa yang telah berlalu 64 tahun lampau itu? Bukankah kita dibuat buat bijak bukan oleh kepingan-kepingan sejarah masa lalu, namun karena tanggung jawab kita atas masa depan?

Teks Sejarah Alternatif
Tentu saja perkataan George Bernard Show, peraih nobel sastra itu benar. Tapi sangkaan: dengan mendaras teks sejarah, langkah kita menjadi lebih terarah, juga tidak salah. Itu bukan berarti generasi sekarang harus terus mengelus-elus hingga mengkilat sejarah masa lalu, bukan itu. Jauh lebih penting adalah menjadikan sejarah itu sebagai cermin diri. Sehingga kita bisa melihat diri lebih dekat dan dalam. Mengukur diri sejauh mana karir kemanusiaan yang sudah kita capai. Adalah penting mencari cermin diri di tengah pikuk kehidupan yang tidak banyak memberikan kesempatan melakukan jeda, kontemplasi.

Paling kurang ada tiga manfaat yang dapat kita peroleh dengan membicarakan kembali proklamasi dalam konteks Tan Malaka, (sejarah) proklamasi, dan buku. Pertama, Tan Malaka memberikan teks sejarah yang berbeda dari kebanyakan sejarah yang selama ini kita baca. Terutama yang diajarkan di pendidikan dasar. Keberadaan teks sejarah alternatif memberikan pemahaman kepada kita, bahwa sejarah bukan sesuatu yang bersifat tunggal. Ketiadaan klaim sejarah yang paling benar dan tunggal ini penting, agar sejarah tidak menjadi alat sebuah rezim untuk melancarkan syahwat kekuasaannya.

Kedua, selama ini begitu mendengar kata sejarah, ingatan kita akan tertuju pada tokoh besar, ikon raksasa, dan orang-orang penting. Nah setelah membaca kesaksian Tan Malaka memahamkan kita bahwa tiap diri ternyata punya kuasa dan hak untuk menuliskan sejarahnya masing-masing. Kesaksiannya masing-masing. Tanpa harus kuatir terjebak dalam konflik kepentingan.

Ketiadaan pemegang otoritas terhadap sebuah kebenaran sejarah, memungkinkan tiap orang untuk terus berijtihad, menggali dan menemukan fakta sejarah baru. Fakta baru itu bisa saja mengafirmasi atau sebaliknya, menegasi sejarah versi lama. Akhirnya tiap individu dapat menjadi peneliti dan penulis sekaligus. Mereka berlomba-lomba mencari kebenaran sejarah yang sebenarnya. Tesis, antitesis, sintesis. Dengan begitu penulisan (buku) sejarah pun menjadi menggairahkan. Produk keberaksaraan (buku sejarah) menjadi sarana desentralisasi pengetahuan dan informasi sejarah. Ia tidak lagi elitis. Tidak menjadi kepunyaan segelintir orang.

Ketiga, fakta yang dikuak oleh Tan Malaka tentang begitu menentukannya peranan golongan muda (Adam Malik cs) dalam peristiwa proklamasi memberikan isyarat kepada golongan muda sekarang, bahwa golongan muda di setiap zaman (dalam konteks ke-Indonesia-an) selalu saja menjadi penentu. 1928, 1945, 1966, 1998 menjadi semacam tahun-tahun pijakan penting (milestone) dalam arah gerak bangsa kita. Karena di tahun-tahun itulah pemuda mampu tampil, meminjam perkataan Yudi Latif, meruntuhkan sekat-sekat perbedaan (aliran, kelas, agama, suku), bersatu padu menonjolkan kepemimpinan moral dan intelektual.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger