Home » » Helvy dan Sindrom Si Ratu Lebah

Helvy dan Sindrom Si Ratu Lebah

Written By Agus M. Irkham on 17 Jul 2009 | 19:26



: agus m. irkham

Helvy dan FLP (forum lingkar pena). Sangat sulit menyapih kedua lema itu. Meskipun secara keorganisasian Helvy tidak lagi memegang tali kendali. Namun, rupa-rupanya masih sulit buat para eksponennya untuk tidak melekati nama Helvy dengan FLP. Hingga ada yang menyebut Helvy, minimal para anggota FLP tengah terkena sindroma si ratu lebah. Apapun yang dilakukan si ratu lebah (Helvy) dapat dipastikan akan mengundang perhatian lebah-lebah lainnya (para anggota FLP). Dengan demikian apakah dapat kita simpulkan bahwa Helvy lebih besar ketimbang FLP? Jadi, Helvy adalah FLP itu sendiri?

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, ada baiknya saya ajak Anda ke belakang sejenak. Sebelas tahun lalu, tahun 1997, menjadi tahun yang menentukan bagi Helvy. Helvy membentuk sebuah komunitas yang bertujuan menyebar virus membaca dan menulis. Pada 27 Februari, bersama Asma Nadia, dan Muthmainah ia membentuk Forum Lingkar Pena (FLP).

Buat Helvy, mengkampanyekan budaya baca-tulis, berarti memberikan kesempatan/ peluang yang lebih besar untuk dapat membantu orang lain. Kesadaran pentingnya membaca dan menulis tidak menjadi terminal akhir. Ia menjadi semacam terminal antara, transit saja, untuk kemudian perjalanan dilanjutkan ke tujuan akhir: memanusiakan manusia (humanisasi) serta memberikan pencerahan. Menulis untuk dakwah, meminjam bahasa Helvy.

Itu sebab, ketika sebagian besar penulis mementingkan sebutan sastrawan, Helvy tidak menganggap label itu menjadi sesuatu yang kanotik. Satu tujuan yang agung dan luar biasa. Mau disebut sastrawan, silahkan, tukang cerita, juga boleh. Tidak ada masalah. Buat Helvy yang terpenting adalah berjuang dengan pena. Perjuangan yang dilandasi oleh kepedulian, rasa cinta, keterlibatan dan tetap berpegang pada nilai-nilai universal (aturan-aturan Allah SWT).

Begitu dibentuk, tentu tidak serta merta FLP menjadi besar seperti sekarang ini. Namun penuh perjuangan dan pekat dengan duka suka. Helvy baik sebagai makhluk pribadi maupun pendiri FLP kisahnya sungguh heroik. Ia menyakini sebuah cita-cita dan terus memperjuangkannya. Sepertinya Helvy tidak pernah kehilangan inspirasi, tidak pernah putus dari harapan, serta tidak pernah kehabisan niat untuk melakukan sesuatu. Ia rela tidur di kos-kosan panitia dan makan mie instan demi bisa menyebarkan inspirasi dan semangat menulis. Ia rela menjual perhiasan yang ia punyai agar bisa membeli tiket pesawat guna memenuhi undangan anggota FLP cabang di luar jawa. Termasuk pengalaman pahit ketika ditampik penerbit, saat ia menawarkan kumpulan cerpen islam. Padahal penerbit tersebut mentahbiskan diri sebagai penerbit islami.

Kisah-kisah itu yang kemudian membuat sebagian besar anggota FLP jatuh hati dan memandang sosok Helvy adalah FLP itu sendiri. Apalagi memang sejak tahun 1997 hingga tahun 2000—kalau boleh saya sebut sebagai masa-masa pembentukan—yang lebih banyak sounding ke mana-mana soal FLP adalah Helvy. FLP ia perdengarkan secara superior, padahal dari sisi gerakan, struktur organisasi, serta akvitas, belumlah bisa disebut membanggakan dan memeroleh bentuk bakunya. Tak jarang dalam sebuah forum ia ”diadili” karena memegang ideologi berkarya yang dianggap kelewat konservatif oleh golongan mainstream. Hal seperti ini terus memenuhi sebagian besar kisah hidup Helvy. Sampai dengan FLP memasuki masa keemasannya 2003 – 2004.

Saya kira Helvy agak telat ketika menyelenggarakan Munas Pertama di Yogyakarta, awal 2005 yang salah satu keputusannya adalah mendaulat M. Irfan Hidayatullah sebagai ketua umum FLP. Bayangkan sejak tahun 1997 hingga tahun 2004, berarti plus minus selama 8 (delapan) tahun Helvy memegang tampuk pimpinan FLP. Paling tidak secara de facto. Karena aturan main mengenai pemilihan ketua umum (AD / ART) belum diputuskan. Selama delapan tahun itu pula, orang begitu mendengar nama Helvy, langsung digandengkan dengan nama FLP. Demikian sebaliknya, ketika ada yang menyebut FLP, seketika akan melekatinya dengan nama Helvy. Ibarat sekeping uang logam, FLP dan Helvy adalah kedua sisinya.

Atas dasar paparan di atas, sindrom ratu lebah, memang menjadi kondisi yang sulit dihindari. Saya yakin itu bukan kemauan Helvy, tapi datang dari para pemujinya. Meskipun penyematan itu dikatakan sebagai bentuk perhatian biasa, tapi tetap saja buat masa depan dan perkembangan organisasi menjadi tidak sehat. Karena yang terjadi kemudian, adalah proses pemitosan terhadap tokoh. Padahal sudah jelas sekali, tiap jelujur waktu memunyai sejarah, cerita dan tantangannya tersendiri. Perbedaan tantangan tersebut sering kali menuntut sebuah organisasi untuk melakukan akomodasi, adaptasi, dan penyesuaian-penyesuaian, kalau enggan menyebut perubahan.

Lantas apa yang mesti dilakukan Helvy, agar nama besarnya tidak terus membayangi gerak langkah kepengurusan FLP? Sehingga FLP berkesempatan melakukan pencapaian-pencapaian prestasi hingga ke titik-titik terjauh. Karena saya melihat selepas Irfan menjadi ketum, belum nampak terobosan-terobosan baru baik yang bersifat keorganisasian maupun dalam bentuk program aksi.

Ada tiga cara yang dapat dilakukan Helvy ia terlepas dari sindrom ratu lebah. Pertama, secara sistematis, terukur dan terencana ia harus mulai mengurangi ”dominasi” nya di FLP. Bentuk konkritnya mengurangi postingan imel di milis FLP, hingga menghilang sama sekali, meneruskan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang FLP ke pengurus (terutama ketum), sekaligus menegaskan bahwa mulai saat itu, semua pertanyaan tentang FLP bisa langsung ditujukan pada pengurus. Tidak perlu harus ke dirinya terlebih dahulu. Sehingga buat anggota ada ketegasan otoritas saluran komunikasi organisasi.

Kedua, Helvy dapat membentuk komunitas baru yang sevisi dengan FLP (literasi) tapi memiliki program aksi yang berbeda. Saya kira tidak sulit, mengingat bentangan bidang garap program literasi demikian lebar. Komunitas baru tersebut nantinya bukan menjadi lawan atau saingan FLP, tapi menjadi mitra, melengkapi apa yang sudah dikerjakan FLP. Keberjarakkan itu harus dilakukan Helvy, agar pengurus baru FLP berani untuk melakukan inovasi-inovasi baru. Misalnya menerbitkan majalah.
Kadang saya tak habis pikir, FLP yang jumlah anggotanya tak kurang 5000 orang, memiliki perwakilan di 30 propinsi (wilayah) Indonesia dan 6 perwakilan luar negeri: Mesir, Jepang, Hongkong, Amerika, Eropa, dan Sudan, dengan jejaring penerbit dan media yang tak berbilang, tapi sampai dengan saat ini tidak memiliki media offline, baik dalam bentuk koran maupun majalah. Padahal dengan berderet keunggulan di atas, mengelola media offline bukanlah sesuatu yang di jauh panggang dari api, apalagi FLP telah memiliki captive market.

Ketiga, Helvy hendaknya memberi kesempatan beberapa nama, bisa pengurus pusat, bisa tidak—yang terpenting memenuhi kualifikasi anggota terpuji—untuk tampil ke ruang publik yang lebih luas. Bergaul dan bersinggungan dengan komunitas literasi lainnya.

Caranya? Tiap Helvy diminta menjadi pembicara diskusi, bedah buku, seminar atau apalah namanya, dapat di-forward ke anggota FLP yang memenuhi kompetensi dan kredibilitas untuk berbicara mengenai topik yang diajukan panitia pengundang. Sehingga publik pun menjadi tahu bahwa ternyata FLP itu tidak hanya Helvy tho! Dan secara keorganisasian, dapat dibaca sebagai bentuk kesuksesan FLP dalam mengader anggotanya.

Penciptaan ikon-ikon baru di FLP menjadi sangat penting, agar para anggota FLP, terutama pengurus pusat menjadi percaya diri. Tidak terbebani dengan sejarah pembentukan FLP di masa lalu dan nama besar Helvy. Dengan begitu, Helvy tetap hadir dalam FLP, tapi tidak sebagai sosok, melainkan sebagai substansi. Helvy tampil sebagai nilai.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger