Home » » Melatih Otot Menulis (1)

Melatih Otot Menulis (1)

Written By Agus M. Irkham on 17 Jul 2009 | 19:29



: agus m. irkham

Salah satu cara melatih otot menulis adalah dengan mengikuti lomba penulisan. Tentang ini, saya memunyai pandangan tersendiri. Ketika saya telah berhasil mengikuti lomba menulis, pada waktu yang sama berarti saya telah memenangi lomba itu. Meskipun menangnya dalam tanda kutip. Apa pasal? Karena tidak semua orang mengetahui informasi lomba tersebut. Yang tahu, tidak semua menulis. Yang menulis tidak semua selesai. Yang selesai tidak semua mengirim.

Ragam tema lomba menulis yang saya ikuti pun tidak terbatas pada satu tema tertentu. Semua saya coba, tapi tentu saja dengan tetap memerhatikan kesiapan materi dan waktu yang saya punyai.

Di bawah ini adalah contoh tulisan yang saya ikutan dalam lomba penulis Bulog.

Semakin Dekat, Semakin Memikat
: agus m. irkham

”BULOG pada mulanya dibentuk dengan pemusatan perhatian pada tataniaga beras.”

(Leon A. Mears, Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia, 1982)

Ada dua hal penting patut dicatat, ketika peran BULOG dikembalikan ke khitah-nya, yaitu hanya menangani beras serta bentuk kelembagaannya yang menjadi Perum.

Pertama, pengubahan itu dapat dibaca sebagai upaya untuk “menyehatkan” BULOG. Menjadi sehat karena BULOG lebih bisa fokus mengurusi perberasan yang mencakup: pengamanan harga dasar pembelian gabah, pengendalian gejolak harga, pendistribusian beras untuk masyarakat miskin yang rawan pangan, serta pemupukan stok nasional untuk berbagai keperluan publik menghadapi keadaan darurat. Tanpa harus direpoti dengan, misalnya soal pengadaan pupuk, dan distribusi saprotan lainnya.

Kedua, membuat BULOG lebih berdaya. Hal ini sesuai dengan karakteristik Perum itu sendiri yang bersifat public utility, yang melayani kepentingan umum—memberikan kontribusi operasionalnya kepada masyarakat sebagai salah satu pelaku ekonomi. Namun pada waktu berbarengan, BULOG diharapkan pula dapat memeroleh keuntungan. Tentu saja dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan etika bisnis, aturan hukum, dan kaidah transparansi.

Dengan demikian secara makro ekonomi, Perum BULOG diharapkan memberi kontribusi nyata bagi tidak saja sektor riil, dalam hal ini subsektor pertanian pangan (padi), tapi juga sektor keuangan (anggaran pendapatan) negara.

Ideal sekali memang, peran yang disematkan pada Perum BULOG. Hanya saja pada praktiknya tidak mudah mempertemukan antara pamrih meraih profit ekonomi dengan niatan memeratakan benefit sosial. Meskipun begitu, bukannya tidak mungkin Perum BULOG menggagas varian program perberasan yang memuat asas saling menguntungkan (win win solution). Justru itu letak tantangannya. Perum BULOG harus mampu membuat terobosan baru, barupa varian program ketahanan pangan yang dapat menempatkan manfaat sosial dan bisnis dalam pertalian yang tidak saling meniadakan (trade off).

Program inovatif
Salah satu varian program inovatif itu adalah asuransi untuk petani padi. Semacam layanan jaminan ganti rugi untuk para petani padi yang menggalami gagal panen. Baik karena bencana alam (angin, banjir), maupun hama (tikus, sundep). Keberlangsungan proses produksi padi sangat tergantung pada alam. Sudah jamak kita dengar ribuah hektar sawah puso/gagal panen, disebabkan baik oleh banjir, sundep maupun tikus.

Penjaminan ganti rugi tentu saja bukan untuk seluruh kerugian, tapi sekian persen saja dari keseluruhan taksiran kerugian. Paling tidak, dana ganti rugi tersebut dapat dijadikan modal awal untuk mengolah lahan pertaniannya kembali.

Asuransi pertanian juga bisa menjadi jaring pengaman ketahanan pangan. Membantu individu atau kelompok agar berkemampuan memenuhi kebutuhan pangan setiap saat dan sepanjang waktu sesuai dengan syarat kebutuhan untuk dapat hidup secara sehat, normal dan dapat bekerja dengan baik.

Saya berkeyakinan gagasan program asuransi pertanian ini sangatlah penting, dalam konteks agar Perum BULOG semakin dekat dengan masyarakat, dalam hal ini para petani padi. Apalagi, kita semua tahu usaha pertanian padi, menjadi salah satu usaha yang memunyai resiko paling besar di Indonesia. Sementara nilai pengembalian investasi relatif rendah (high risk low return). Akibat dari Indeks Nilai Tukar Petani (INTP) yang rata-rata di atas 100. Artinya biaya yang telah dikeluarkan para petani jauh lebih besar ketimbang penghasilan yang diterima.

Itu sebab barangkali, jumlah petani padi semakin menyusut. Di samping karena lahannya yang memang bertambah sempit pula.
Karakteristik usaha pertanian pangan (padi) di Indonesia masih bersifat land oriented. Efisiensi tanah garapan perkapita sangat kecil.

Akibatnya jumlah petani gurem (petani yang hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar) kian bertambah. Persentase petani gurem mencapai 69,05 persen. Itu pun berdasarkan sensus pertanian 1993.

Dengan bertumbuhnya sektor industri dan perumahan tentu akan menambah jumlah petani gurem tersebut. Padahal dengan sifat usaha yang land oriented, peningkatan produktivitas akan sulit dicapai mengingat luas lahan garapan yang kian sempit.

Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana mekanisme pelaksanaan program asuransi petani padi tersebut?

Perlu kajian serius untuk dapat memberikan jawaban yang komprehensif atas pertanyaan di atas. Tapi bukan berarti tawaran alternatif yang bersifat strategis tidak bisa dimulai sekarang.

Perum BULOG melalui DEPOT LOGISTIK (DOLOG) dan SUBDOLOG yang berada di daerah-daerah dapat membeli gabah kering langsung dari petani dengan harga lebih tinggi (harga maksimum) dibandingkan harga beli pedagang. Mengapa harus lebih tinggi, sebab para petani harus mengeringkannya terlebih dahulu. Dan untuk itu perlu biaya.

Jika harga belinya Perum BULOG sama dengan pedagang, atau bahkan lebih rendah, tentu para petani akan memilih menjualnya langsung ke pedagang. Biarpun harganya relatif rendah, tapi mereka tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga dan uang untuk ongkos pemanenan, pengangkutan, dan pengeringan.

Gabah kering para kelompok tani yang dijual ke Perum BULOG, oleh Perum BULOG setelah dihitung, langsung dibayar. Namun tidak semuanya dibayarkan. Ada sekian persen dari nilai total penjualan (sesuai dengan aturan yang telah dibuat Perum BULOG sebelumnya) yang disimpan di Perum BULOG, dan dihitung sebagai premi asuransi. Jadi, premi asuransi dibayarkan pada tiap musim panen. Bukannya perbulan atau langsung setahun penuh.

Premi tersebut hanya dapat diambil dalam waktu dan kejadian tertentu. Misalnya perdua tahun atau saat para petani mengalami gagal panen/puso. Sehingga, meskipun tidak memiliki uang, lantaran gagal panen, keberlangsungan usaha masih dapat dijamin. Klaim asuransi/ganti rugi yang diterima dari dari Perum BULOG dapat dijadikan modal awal untuk mengolah kembali sawah mereka.

Dilihat dari kepentingan pemerintah (Perum BULOG), melalui program asuransi petani padi ini pula, Perum BULOG secara tidak langsung menyebarkan sistem nilai baru kepada para petani agar tidak bersifat konsumtif/subsisten. Ada sebagian uang hasil panen yang diinvestasikan dalam bentuk polis asuransi.

Program ini juga bisa memunculkan citra kepedulian pemerintah (melalui Perum BULOG) terhadap para petani— semakin dekat, semakin memikat—berupa jaminan usaha dan harga jual gabah yang stabil. Pada titik ini, posisi BULOG sebagai Perum yang diserahi tugas oleh pemerintah untuk mengoptimalkan benefit sosial menjadi terpenuhi.

Bagaimana dengan aspek bisnisnya?

Melalui program asuransi petani padi ini, Perum BULOG tetap memperoleh keuntungan. Pertama, meskipun harga beli untuk para petani relatif tinggi, tetap saja lebih rendah jika dibandingkan harga yang diminta pedagang. Ada selisih harga beli yang bisa dihemat Perum BULOG, akibat dari memotong alur distribusi. Yang semula melalui pedagang, beralih ke petani langsung.

Kedua, dana yang terhimpun dari “pembelian” polis asuransi petani padi, dapat digunakan Perum BULOG untuk meningkatkan kemampuan memupuk stok beras/gabah nasional. Dengan kata lain, kapasitas Perum BULOG dalam menampung gabah dari para petani meningkat, tanpa harus meminta uang dari pemerintah.

Di Indonesia, beras boleh saya katakan menjadi salah satu persoalan yang sering mendapat perhatian banyak pihak. Maklum saja, sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok.

Beras juga menjadi fungsi inflasi. Itu sebab, keinginan pemerintah untuk mengendalikan inflasi—sebagai ukuran kestabilan ekonomi makro—menjadi single digit justru membuahkan kebijakan double squzze (himpitan dua arah) bagi petani. Di satu sisi mereka harus menekan harga jual, sementara di segi lain tidak mampu mengimbangi kenaikan harga beli saprotan yang notebene-nya merupakan produk industri.

Jika nasib malang sebagian besar petani padi ini tidak segera ditolong—melalui layanan asuransi pertanian—keberlangsungan usaha bahkan hidup mereka tidak ada yang menjamin, maka itu artinya bom waktu telah diaktifkan. Kita tinggal menunggu meledaknya angka kemiskinan, pengangguran, timbulnya berbagai masalah sosial, dan bobolnya “tanggul” ketahanan pangan.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger