Home » » Menjadi Wartawan Melalui Buku

Menjadi Wartawan Melalui Buku

Written By Agus M. Irkham on 27 Aug 2009 | 00:10



: agus m. irkham

Dulu. Dulu sekali. Pada medio 80-an. Saat itu saya masih duduk di Sekolah Dasar. Suatu waktu ibu guru bertanya kepada kami, para siswanya.

”Anak-anak, apa cita-cita kalian?” Maka tanpa dikomando kami meneriakkan cita-cita.

”Saya ingin jadi guru, biar bisa seperti ibu. Kalau aku ingin jadi tentara, kan ke mana-mana boleh bawa senjata. Wah, kalau saya ingin sekali menjadi dokter.” Dan bermacam-macam teriakan cita-cita lainnya.

Namun dari sekian banyak jawaban, tidak ada yang menjawab: ”Aku ingin jadi wartawan!” Bukan karena kami tidak ingin jadi wartawan. Tapi cita-cita itu bagi kami sangatlah asing. Bahkan kata wartawan tidak pernah kami temui di buku teks pelajaran. Kata itu pun tidak pernah tersiar di telinga, alih-alih pernah kami ucapkan. Jadi bagaimana mungkin kami bisa bercita-cita jadi wartawan, karena wartawan sebagai istilah saja harus terlebih dahulu dijelaskan. Beda dengan dokter, guru, polisi, dan tentara.

Lain dulu, lain sekarang. Kini profesi wartawan sudah dikenalkan pada anak-anak sejak usia dini. Di antaranya melalui penerbitan buku-buku jurnalistik. Apalagi seiring dengan tingginya tuntutan profesionalisme kerja wartawan, dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya informasi, wartawan sebagai pilihan profesi, tidak lagi menjadi pilihan alternatif, tapi utama. Sejak dini, sebelum benar-benar terjun ke dunia jurnalistik, orang merasa perlu melengkapi dirinya dengan mengikuti berbagai macam pelatihan kewartawanan. Termasuk membaca beragam buku jurnalistik. Tujuannya hanya satu, memuluskan cita-cita menjadi wartawan.

Buku-buku jurnalistik itu beberapa di antaranya Catatan-catatan Jurnalisme Dasar (Luwi Ishwara, Kompas), Elemen-Elemen Jurnalisme (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, ISAI), Seandainya Saya Wartawan Tempo (B Bujono dan T. Hadad, ISAI), Menulis Artikel dan Tajuk Rencana-Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (AS. Haris Sumadiria, Simbiosa), Jurnalisme Investigasi (Septiawan Santana K, Yayasan Obor Indonesia), Vademekum Wartawan-Reportase Dasar (Parakitri T. Simbolon, KPG),dan Bekerja Sebagai Wartawan (Fitriyan Dennis, Erlangga). Dua buku terakhir disebut, secara khusus ditujukan pada pembaca yang tengah duduk di bangku SMP dan SMA, sebagai upaya mengenalkan profesi wartawan kepada publik luas sejak dini (usia sekolah).

Wartawan handal
Lantas, ketika seseorang telah banyak membaca buku-buku jurnalistik, apakah serta merta akan membuatnya jadi wartawan handal? Jawabannya tentu saja tidak. Apalagi sistem rekrutmen media tidak membeda-bedakan antara calon wartawan berlatar belakang ilmu jurnalistik-komunikasi-ilmu publistik—yang telah banyak mendaras buku-buku jurnalistik—dengan yang tidak. Dan kenyataannya, sistem pembangunan profesi kewartawanan bukan sistem yang menghendaki tenaga-tenaga baru yang langsung matang.

Meskipun begitu, paling kurang, melalui buku yang ia baca itu, ia menjadi semakin yakin dengan pilihannya. Dan lebih siap, baik secara akademis, fisik, maupun psikis saat benar-benar terjun ke dunia kewartawanan. Soal handal atau tidak, selebihnya ditentukan di lapangan, saat meliput peristiwa, mengumpulkan fakta, menulis, dan seterusnya.

Lagi, terlepas dari besar kecilnya pengaruh buku jurnalistik terhadap kualitas pendarasnya, maraknya penerbitan buku jurnalistik dapat juga dibaca sebagai bukti bertambahnya minat khalayak untuk bekerja sebagai wartawan. Sekaligus semangat media mengenalkan dapurnya (redaksi dan profesi kewartawanannya) kepada masyarakat luas.

Proyek idealis penerbit
Karena buku jurnalistik memunyai segmentasi pasar sangat terbatas, dan ceruk pasar yang sangat tertentu, maka pola-pola pemasarannya pun berbeda jika dibandingkan dengan buku tema lainnya. Penerbit tidak bisa lagi mengandalkan toko buku tapi harus bergerilya sendiri. Mereka masuk ke kantung-kantung komunitas wartawan, pengkaji, dan pemerhati media, mengadakan paket pelatihan jurnalistik, mensponsori kegiatan mahasiswa komunikasi/ilmu publistik, dan mengadakan pameran buku di kampus.

Penulisnya juga sering kali oleh penerbit didaulat menjadi penjual (sales). Misalnya dengan menjadi pembicara pelatihan jurnalistik/penulisan. Buku yang ditulis dapat dijadikan sebagai tool pelatihan. Karena pasar pembacanya sangat khusus, para penulis buku-buku jurnalistik juga sangat khusus. Kalau tidak dosen/akademisi, ya praktisi (wartawan aktif atau mantan wartawan). Dan sedapat mungkin selain prigel menulis, juga mahir berbicara.

Buku-buku jurnalistik boleh dibilang merupakan proyek idealis penerbit. Karena dari sisi keterjualan, sangat sedikit buku jurnalistik mampu membuat kacang goren iri. Bahkan tak jarang, harus disubsidi oleh keuntungan penjualan buku non jurnalistik. Dalam setahun cetakan pertama sebesar 3000 eksemplar, lebih sering tidak habis. Jika ada buku jurnalistik sampai cetak ulang, maka dapat dipastikan buku tersebut tergolong luar biasa. Dan dapat dipastikan pula, penulisnya bukan akademisi yang cenderung teoritis, tapi ditulis oleh praktisi.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger