Home » » Puasa, dari Syariat sampai Hakikat

Puasa, dari Syariat sampai Hakikat

Written By Agus M. Irkham on 27 Aug 2009 | 00:11



: agus m. irkham

Semuanya merayakan ramadhan. Tak hanya televisi, radio, koran, dan pusat perbelanjaan, tapi juga industri perbukuan. Perayaan itu berupa penerbitan buku bertema agama Islam, khususnya seputar ibadah puasa ramadhan. Naga-naganya oleh penerbit, bulan puasa ini hendak dijadikan bulan baca buku agama. Kehadiran buku agama di bulan puasa menjadi semacam angop (kuap) bagi penerbit. Setelah sebelumnya berjibaku dengan penerbitan buku non agama.

Meskipun begitu, puasa (ramadhan) sebagai tema buku, tidak semata-mata lahir ketika bulan ramadhan. Ada beberapa penerbit yang menelurkan buku bertema puasa, bukan di bulan suci itu. Berdasarkan pembacaan saya, ada perbedaan antara buku tentang puasa yang terbit di bulan ramadhan dan luar bulan ramadhan. Yang pertama disebut lebih banyak berbentuk buku utuh dan banyak mendaras puasa dari segi syariat (syarat rukun puasa, dan segaris itu), amalan-amalan, serta keutamaan-keutamaannya. Sedangkan yang disebut sesudahnya, bahasan puasa lebih pekat kepada hal-hal yang berdimensi tasawuf/hakikat (personal-imanensi), dan memandang puasa sebagai bentuk ibadah yang berfaedah sosial-transformatif.

Tentu saja perbedaan-perbedaan itu membawa pula pada perbedaan pembaca yang hendak disasar. Buku puasa syariat lebih ditujukan pada kelompok pembaca awam (muslim). Simpul-simpul penanda buat kategori ini adalah, mereka punya kegairahan beribadah puasa, tapi secara ilmu belum mengetahui detil syarat rukun sah dan batalnya puasa. Mau berguru tidak ada waktu. Maka, satu-satunya kesempatan berguru adalah pada buku. Di luar itu, dorongan mereka melaksanakan ibadah puasa lebih karena kalkukasi-kalkulasi keuntungan pahala (surga). Ketimbang sebagai metode menggarap diri yang harus dilakukan dan hayati guna menyatukan dua identitas diri, baik sebagai makhluk budaya (kuasa atas diri) maupun makhluk qudrati (diri yang dikuasai Dia—Allah).

Berbeda dengan buku puasa syariat, buku puasa tasawuf/hakikat dialamatkan kepada khalayak mukmin, yang sudah melampaui dimensi syariat. Melampaui jangan diartikan meninggalkan syariat. Mereka adalah golongan muslim terdidik (educated). Baik lahir dari pesantren, komunitas kajian, maupun perguruan tinggi (Islam). Sudah pasti ceruk pasar golongan ini lebih sempit dan dangkal dibandingkan dengan ceruk pasar buku puasa syariat.

Dalam tulisan ini, patut saya sorongkan dua contoh buku yang masuk ketegori buku puasa tasawuf/hakikat—meskipun pembahasan tentang puasa menjadi bagian dari, bukan isi keseluruhan buku. Yaitu buku berjudul Mencari Nama Allah yang Keseratus dan Hidup Lebih Bermakna. Kebetulan dua buku yang saya ajukan itu sama-sama ”karya” Muhammad Zuhri, dan sama-sama diterbitkan Serambi.

Pak Muh—demikian sapaan Muhammad Zuhri, oleh Dr. Peter G. Riddel, dosen senior Islamic Studies di Brunel University dan doktor studi Islam dari Australian National University—disebut sebagai pembaharu pemikiran sufistik Islam di zaman posmodern ini. Sejak kecil ia memiliki ciri tidak dapat naik sepeda dari sebelah kiri, sehingga ia menaikinya dari sebelah kanan dan turun di sebelah kanan juga, seolah suatu isyarat tentang jalan hidupnya di kemudian hari.

Aktualisasi pemikiran tasawufnya berupa kreativitas yang positif (amal saleh). Bingkai ini pula yang dipakai Pak Muh untuk membuka tabir rahasia (makna kontekstual) di balik ibadah puasa: sikap globalis yang akurat. Berupa kesadaran akan kelangkaan sumber daya alam, serta kesadaran akan kebersamaan hidup. Saat berpuasa adalah saat berdialog dengan sumber kenikmatan, berupa sikap/kesediaan untuk menunda. Nanti, nanti, nanti, demikian kata orang yang tengah berpuasa ketika kenikmatan menghampiri.

Berpuasa adalah kesanggupan untuk menunda kenikmatan. Puasa akan memaksa pelakunya berlaku sabar dengan kenikmatan, meskipun itu terang-terang sudah menjadi haknya. Puasa memahamkan kepada kita tentang arti penting materi. Seteguk air putih bisa menghilangkan rasa lapar dan haus seharian. Dengan demikian, ibadah puasa dapat dibaca sebagai bentuk partisipasi orang beriman terhadap sifat kemanajeran Tuhan di muka bumi. Ia telah ikut berkonstribusi menunda kiamat materi akibat eksploitasi dan eksplorasi tak terkendali—hasil dari kesadaran seorang serakah yang mengetahui terbatasnya sumber daya alami.

Berpuasa adalah kerelaan pelakunya untuk berkorban demi kepentingan bersama demi terselenggaranya kehidupan paska jatah hidupnya usai. Ia akan tampil sebagai sosok yang memiliki keteguhan hati di dalam menatap kenyataan dan pandangan positif terhadap kemungkinan. Pak Muh menulis: Seorang yang berpuasa telah dikaruniai kondisi diri yang tidak cedera oleh perubahan ruang dan pergeseran waktu. Efek psikologis yang demikian itu wajar bagi seseorang yang telah berbuat sesuatu atau memberikan dirinya buat masa kini dan masa depan.

Kehadiran buku tentang puasa, baik ditinjau dari sisi ilmu (syariat) maupun segi laku (tasawuf) secara tidak langsung mengabarkan kepada publik tentang kualitas perjalanan keberagamaan umat Islam di Indonesia. Keduanya tidak perlu dihadirkan dalam ruang perdebatan dan pertentangan, apalagi disalahmengerti: kehadirannya saling menegasi. Justru sebaliknya, harus dimengerti sebagai sesuatu yang saling melengkapi. Buku mana yang ingin Anda cicipi, itu menunjukkan karir spiritual Anda kini.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger