Home »
ESEI LITERASI
» Pilkada dan Keberaksaraan Politik
Pilkada dan Keberaksaraan Politik
Written By Agus M. Irkham on 11 Nov 2009 | 00:03
: agus m. irkham
Tidak lama lagi, kita akan memasuki tahun 2010. Tahun di mana sebanyak 17 kabupaten/kota di Jawa Tengah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Di antaranya adalah Kebumen dan Kota Pekalongan (5 Juni), Kota Semarang dan Kendal (26 Juni), Rembang, Kota Magelang , Sukoharjo, Blora, Boyolali, Purbalingga dan Surakarta (27 Juni), Kabupaten Semarang 31 Agustus, Wonosobo 4 September, Wonogiri 17 September, Klaten 24 September dan Pemalang 27 November.
Berdasarkan hasil pemindaian saya atas peta persoalan di Jateng, sejauh ini ada dua masalah gawat yang bisa mengancam kualitas pelaksanaan pilkada tersebut. Masalah gawat yang pertama adalah kemiskinan. Di Jawa Tengah berdasarkan keterangan yang diberikan Gurbernur Jateng, Bibit Waluyo (11/7/2009), ada sekitar 7.807 desa. Dari jumlah tersebut sekitar 42 persen (3.300 desa) masuk dalam kategori desa miskin. Desa miskin tersebut—secara agregat rata-rata sekitar 30 persen dari total jumlah penduduk tiap kabupaten—sebagian besar tersebar di kabupaten Brebes, Sragen, Blora, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen, Grobogan, Rembang, Wonosobo, dan Pekalongan. Dari sepuluh kabupaten tersebut lima di antaranya akan menyelenggarakan pilkada, yaitu Blora, Purbalingga, Kebumen, Rembang, dan Wonosobo. Artinya di kelima kabupaten itu, potensi terjadinya politik uang dalam pelaksanaan pilkada adalah yang paling besar.
Mengapa kemiskinan bisa mengancam kualitas pilkada—dominannya politik transaksional?
Borgol demokrasi
”Pemberantasan kemiskinan merupakan pilar bagi tercipta dan berkembangnya demokratisasi.” kata mantan presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Dengan kata lain kemiskinan bisa memborgol demokrasi. Karena diborgol, tangan tak mampu menampik, bukti tidak adanya resistensi masyarakat pemilih terhadap iming-iming materi (baca: uang dan konsesi-konsesi lainya). Mereka menjadi sangat pragmatis. Preferensi politik mereka menjadi sangat dangkal.
Pilkada direduksi menjadi sangat sederhana: dengan memilihmu, sekarang aku akan dapat apa? Mana uangmu, ini suaraku! Kesibukan bekerja guna melawan kelaparan, bukannya kemiskinan juga telah membuat mereka tidak memunyai waktu lagi untuk menyuarakan aspirasinya. Aspirasi yang lebih bersifat konstruktif, berkelanjutan, dan jangka panjang. Alih-alih mengupayakan praktik berdemokrasi (pilkada) agar berkualitas, mempertahankan kepul dapur saja susah. Di mata masyarakat pemilih yang demikian, hal paling kunci yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilihan adalah kandidat yang paling bisa memberikan kemanfaatan nyata dan seketika. Bukan kandidat yang memiliki tawaran program yang progresif dan menyeluruh.
Masalah gawat yang kedua adalah berupa rendahnya angka melek aksara budaya. Ukuran yang selama ini digunakan untuk menilai apakah seseorang tergolong melek aksara budaya atau tidak adalah berdasarkan varian jenis/tema buku yang dibaca. Serta apakah di setiap bulannya ia secara khusus punya anggaran beli buku. Secara umum berdasarkan hasil riset literasi yang pernah dipublikasikan Kompas (20/11/2006): hampir 60 persen dari masyarakat Jateng tidak memiliki anggaran untuk membeli buku di tiap bulannya.
Dalam konteks pilkada, wujud dari melek aksara budaya itu berupa keberaksaraan politik. Yaitu kesanggupan untuk mendaras informasi, baik berupa teks maupun non teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Calistung budaya memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif—budaya demokrasi.
Meta meaning-nya: buta aksara-budaya akan melahirkan kebutaan politik. Yakni ketidakmampuan menggali, memilih dan memilah informasi, rumor, desas-desus, klaim politik, melakukan cek, ricek, menganalisis informasi politik yang didapat, serta menggunakan itu semua sebagai pertimbangan sebelum menentukan satu pilihan, dari sekian banyak pilihan bentuk partisipasi politik.
Bayangan saya, nanti pihak yang paling sibuk di hari-hari menjelang ”17 Kabupaten/Kota Memilih”, adalah partai politik dan para kandidat. Mereka menggiring preferensi politik masyarakat melalui beragam simulasi pertandaan. Mulai dari iklan politik via televisi, baliho, spanduk, stiker, hingga selebaran. Dan semua itu dilakukan tidak dalam rangka melaksanakan civic education, tapi lebih digerakkan oleh kepentingan jangka pendek, perolehan suara.
Simulasi citra, melalui bahasa dan simbol digunakan sebagai alat meraih kekuasaan, khususnya dengan cara memanipulasi tanda, sehingga menghasilkan berbagai distorsi makna Rendahnya tingkat keberaksaraan politik membuat partisipasi politik warga—preferensi atas kandidat bupati dan walikota—lebih dominan disandarkan pada ikon, citra, image dan kecakepan wajah. Bukannya program, dan kecakapan kerja. Preferensi politik menjadi sebuah pilihan tidak sadar, karena mengabaikan unsur kehati-hatian, pengawasan, serta informasi lengkap/rekam jejak kandidat. Kalau sudah begitu, terpilihnya bupati dan walikota yang qualified sulit diharapkan.
Padahal pilkada yang sukses, tidak saja sukses penyelenggaraan. Tapi juga sukses menghasilkan bupati dan walikota jujur, amanah, cerdas, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Dan pemimpin yang demikian hanya bisa dihasilkan oleh masyarakat yang telah mapan secara ekonomi, dan cerdas secara sosial (keberaksaraan politik). Sayangnya, dua prasyarat itu sebagian besar belum dimiliki oleh kabupaten dan kota di Jateng yang akan menyelenggarakan pilkada. Oleh karenannya, dua prasyarat itu pula yang semestinya dijual oleh para kandidat saat kampanye nanti, sekaligus menjadi prioritas program kerja jika kelak dipercaya masyarakat untuk memimpin. Dengan demikian, harapannya matarantai politik transaksional—borgol demokrasi—bisa diputus. Semoga.♦
Label:
ESEI LITERASI
Post a Comment