Home » » Anomali Melek Aksara

Anomali Melek Aksara

Written By Agus M. Irkham on 11 Nov 2009 | 00:02



: agus m. irkham


Ada anomali! Ketika Gubernur Jawa Tengah H Bibit Waluyo menyatakan bahwa pada tahun 2009 ini jumlah penyandang buta aksara usia produktif (14-44 tahun) yang berjumlah 3,2 juta jiwa atau 12,08 persen dari jumlah penduduk Jateng
dapat dituntaskan seluruhnya, pada saat yang sama jumlah penduduk miskin masih tinggi. Rerata di atas 30 persen. Tersebar di Kabupaten Brebes, Sragen, Blora, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen, Grobogan, Rembang, Batang, dan Pekalongan.

Ironis. Kesuksesan program bebas buta aksara tidak membawa perbaikan kualitas hidup, terutama ekonomi. Padahal dalam berbagai publikasi riset literasi, ada linearitas antara melek aksara tinggi dengan perbaikan kehidupan ekonomi. Seperti yang pernah di lansir UNESCO dalam laporan tahunannya berjudul Literacy for Life.

Bentuk anomali lainnya, angka melek aksara yang tinggi tersebut pada waktu yang sama ternyata tidak diikuti dengan tingginya minat baca, dan membeli buku masyarakat, bahkan cenderung rendah. Berdasarkan hasil jajak pendapat tentang minat baca yang pernah dilakukan Kompas (14/2), dari total responden yang dicuplik secara sistematis di Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal: 75,5 persen mengaku tidak pernah berkunjung ke perpustakaan dalam sebulan terakhir.

Hal yang sama juga terjadi untuk tingkat kunjungan ke pameran buku. Tidak kurang dari 76,5 persen responden menjawab tidak pernah datang ke pameran buku. Bagaimana dengan tingkat kunjungan ke toko buku? Sekitar 57,3 persen menjawab tidak pernah. Dan hanya 15,52 persen dari responden yang menyatakan tiap bulannya menyiapkan anggaran khusus untuk membeli buku.

Pertanyaannya, mengapa bisa terjadi demikian?

Salah satu sebab anomali itu adalah pusat perhatian program melek aksara yang hanya tertuju pada teknis, bukannya pada fungsi. Ukuran kesuksesan yang digunakan adalah pada saat seseorang telah mengenal huruf, dan dapat mengeja kata. Bukan pada pemanfaatan kemampuan membaca itu. Jadi yang dikejar hanya melek aksara secara alfabetis. Dan pengertian itu lazimnya hanya berguna untuk keperluan penghitungan teknis statistik belaka.

Padahal melek aksara secara teknis tidak akan banyak membantu masyarakat untuk survive—dalam pengertian harfiah dan mendasar yaitu melawan kelaparan bukannya kemiskinan—jika tidak disertai pula dengan kemampuan melek aksara (keberaksaraan) secara fungsional. Pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) tidaklah cukup, masyarakat harus pula memunyai pengetahuan melakukan sesuatu (procedural knowledge).

Pengertian dasar
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan anomali tersebut?

Tidak ada cara lain, kecuali dengan mengembalikan makna melek aksara yang diartikan sebagai “kemelek hurufan” ke pengertian dasar, yaitu keberaksaraan (literasi). Keberaksaraan tidak sama dengan kemelek-hurufan, karena konsep keberaksaraan memunyai dimensi yang lebih luas. Tidak semata-mata mencakup teknis baca tulis, tapi juga bertalian dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, pendidikan, moral, kebudayaan, dan sebagainya.

Jadi keberaksaraan mencakup semua kemampuan yang diperlukan oleh seseorang atau sebuah komunitas untuk ambil bagian dalam semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan wacana (diskursus). Keberaksaraan juga dilihat sebagai sebuah rentang (extent) yang mengandung berbagai tingkatan ukuran, seperti fasih, efektif, dan kritis.

Laxman Pendit (2007; 45) menyatakan bahwa menjadi orang yang literate dengan demikian adalah menjadi orang yang mampu berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam komunikasi tekstual, termasuk dalam komunikasi menggunakan media cetak, visual, analog, dan kini juga dapat ditambahkan dengan media digital.

Tapi bukan berarti melek huruf secara teknis tidak penting. Ia tetap penting, hanya saja belum cukup. Kemampuan mengeja kata harus diperjalinkan dengan praktik kehidupan yang berlaku sesuai dengan situasi dan kondisi seorang individu atau suatu komunitas tinggal (lokalitas). Dan salah satu bentuk praktik kehidupan itu adalah menyangkut bagaimana ia mencari rejeki hidupnya, yang menurut Prof. Jacob Sumardjo berperan penting dalam membentuk sikap hidup dan pola berfikir. Kalau mau kita kejar lebih jauh, pola berfikir itu bertalian pula dengan persepsi seseorang terhadap buku—minat baca dan beli buku, datang ke perpustakaan, pameran buku, serta toko buku.

Gerakan simultan
Lantas, apakah gerakan melek aksara teknis dapat dilakukan secara berbarengan dengan kampanye melek aksara fungsional?

Jawabannya: dapat! Apa yang dilakukan Rumah Belajar (RB) Bergema di Wonosobo dapat saya ajukan sebagai salah satu amsal atau contoh. Bergema kepanjangan dari “Bersama Geliat Masyarakat”. RB Bergema terletak di Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar. Sekitar 27 kilometer sebelah utara Kota Wonosobo.

Secara bersamaan atau simultan mereka menggagas program bimbingan belajar, memfasilitasi program Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang lebih akrab disebut dengan Program Kejar Paket, bertani kentang, serta merintis pendirian lembaga keuangan mikro.

Program bimbingan belajar dan Kejar Paket digagas karena rerata pendidikan warga Patakbateng yang masih rendah. Sebagian besar hanya lulus Sekolah Dasar. Jadi kedua program tersebut diarahkan sebagai ikhtiar memperbaiki kualitas hidup masyarakat, terutama pendidikan.

Sedangkan bertani kentang dan pendirian lembaga keuangan mikro adalah bagian dari upaya memperbaiki kesejahteraan ekonomi warga. Sekaligus upaya memandirikan Bergema dari sisi pendanaan operasional sekretariat dan program. Guna menambah pengetahuan bertani kentang, Bergema menyediakan buku-buku pertanian di perpustakaan. Dari buku-buku itu, mereka jadi tahu berbagai model pengelolaan bertani kentang. Pola yang sama juga mereka lakukan saat merintis pendirian lembaga keuangan mikro.

Dengan demikian gerakan membaca yang dilakukan Bergema, selain secara teknis (kemelek-hurufan) melalui pembukaan PLS, serentak dengan itu pula, mereka melakukan kampanye membaca secara fungsional (keberaksaraan). Bergema diposisikan sebagai pusat acuan, referensi, isu bagi masyarakat—melalui penyediaan bahan bacaan yang memiliki pertalian yang kuat dengan aktivitas fungsional yang mereka sedang dan akan lakukan.

Terakhir, sudah saatnya gerakan keberaksaraan fungsional menjadi ”kiblat” bagi gerakan literasi, terutama di Jawa Tengah, pada masa sekarang dan yang akan datang. Gerakan melek aksara teknis dan fungsional selayaknya harus berada dalam satu tarikan nafas. Dengan begitu, pamrih menghilangkan anomali melek aksara pun dapat diraih.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger