Home » » Gus Dur dan Bantal Kebudayaan

Gus Dur dan Bantal Kebudayaan

Written By Agus M. Irkham on 13 Jan 2010 | 19:35




: agus m. irkham

Di Inggris, tulis Hamid Basyaib dalam buku Saya Nggak Mau Jadi Presiden, Kok
Ger-geran Lagi Bersama Gus Dur (2001), Gus Dur antara lain menemui seorang ningrat Istana Buckingham yang sudah sangat tua. Protokol Istana memberitahu bahwa pendengaran Tuan sepuh sudah sangat payah. “Jadi, pandai-pandailah Anda mengatur diri,” pesan si protokol. “Oke, oke, oke,” jawab Gus Dur singkat.

Benar saja. Ketika bertemu si Tuan Sepuh, Gus Dur langsung membuka percakapan dengan mengatakan bahwa dia adalah orang Jawa. Dan dalam kebudayaan Jawa, kata dia, orang yang lebih muda harus mendengarkan orang yang lebih tua.

“Jadi, karena saya lebih muda, saya akan lebih banyak mendengar daripada berbicara,” ujar Gus Dur pada Tuan Sepuh.

“Wah, kebetulan, telinga saya memang kurang baik,” jawab Tuan Sepuh dengan gembira—lalu bicara terus, dan membiarkan tamunya hanya menjadi pendengar.

Selesai kunjungan di Inggris, Gus Dur singgah di Arab Saudi, peristiwa itu ia ceritakan kepada Raja Saudi, yang terkenal sangat serius dan hampir tak pernah ketawa. Ternyata, ketika Gus Dur menceritakan peristiwa di Inggris itu, sang raja tertawa cukup keras, sampai giginya terlihat. Belakangan, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) mengatakan pada Gus Dur bahwa dia telah melakukan tindakan yang luar biasa bagi rakyat Saudi.

“Kenapa?” tanya Gus Dur

“Sebab sampean sudah membuat Raja ketawa sampai giginya kelihatan—baru kali ini rakyat Saudi melihat gigi rajanya!”

Penggalan cerita kocak yang saya kutip secara verbatim di atas hanya untuk menunjukkan betapa (almarhum) Gus Dur memiliki sisi lain, humoris. Sisi yang lebih bisa didekati oleh kebanyakan orang, dibandingkan dengan sematan lainnya yang tergolong berat-berat dan di atas langit sana itu: Bapak Bangsa, Pejuang Demokrasi, Tokoh Pluralis, Pembaharu Pemikiran Islam, Pembela Kaum Minoritas.

Menurut almarhum mbah Cholil Bisri, keluncuan Gus Dur memang sudah gawan bayi. Kolumnis sekaligus sahabat dekat Gus Dur, Mohammad Sobary pernah berseloroh, bila Pak Harto raja senyum...Gus Dur (mungkin) raja humor. Sifat humoris Gus Dur pun tak kurang mendapat pengakuan dari salah satu putrinya, Ina Wahid. Pernah, ketika menonton ketoprak humor di taman Ismail Marzuki, Ina menepuk-nepuk punggung sang ayah sambil berkata: “Pa, tenang saja Pa, Papa tak mungkin kalah dari mereka.” Mendengar itu Gus Dur terkekeh-kekeh.

Cultural pillow.
Kalau diruntut ke belakang, humor lahir dan tumbuh bertalian erat dengan kekuasaan politik. Bahkan dalam istilah Taufik Abdullah (1989) ada keparalelan antara humor dengan kekuasaan. Sedangkan Prof James Danandjaja, penulis buku humor produktif, mengungkapkan bahwa humor akan ada dan berkembang ketika represi kekuatan yang menekan semakin besar. Karena orang tidak berani mengutarakannya terus terang. Keresahan sebagai pelepasan itu diutarakan lewat humor. Itu sebab di Rusia (saat masih Uni Sovyet) humor berkembang pesat. Hingga muncul buku ”Mati Ketawa Cara Rusia” –nya Z. Dolgopolovo yang serius sekaligus sangat kocak itu.

Seperti kisah berikut ini—yang pernah dicuplik Jalaluddin Rakhmat (1992). Ketika rakyat Soviet sedang antre untuk menukarkan kupon makanan, seseorang keluar dari barisan. Orang-orang menduga ia sudah lelah dan mulai putus asa. “Anda mau ke mana?” tanya orang-orang yang antre. “Saya mau membunuh Gorbachev,” jawabnya dengan tenang. Ia ngeloyor pergi. Tidak lama kemudian, ia kembali. “Apakah Anda sudah membunuhnya?, tanya orang-orang yang masih antre. “Belum,” kata orang itu. “Saya temukan di sana antreannya lebih panjang lagi!”

Faedah sosial
Lantas, apa faedah sosial humor, yang secara ”istiqomah” telah dicontohkan Gus Dur tersebut? Terutama dalam konteks ke-Indonesia-an kita.

M. Agus Suhadi dalam buku Humor itu Serius (1992) menyebutkan paling kurang ada lima manfaat penting humor dalam hidup seseorang dan keberlangsungan suatu bangsa. Salah satunya adalah sebagai bentuk rekreasi sekaligus saluran agresifitas emosi manusia akibat kekalahan hidup. Dengan deskripsi berbeda, humor bisa dijadikan sebagai cultural pillow. Semacam bantal kebudayaan, sehingga ketika seseorang sempoyongan, andaikata ambruk, ia akan jatuh di tempat yang empuk—sakitnya tidak telalu.

Kaitan dengan bantal kebudayaan itu, dalam sebuah wawancara di tahun 1987 Gus Dur mengatakan: ”Humor berarti mengambil jarak dengan masalah. Tidak terlibat langsung. Rasa getir ditekan, dan diganti dengan rasa tertawa sambil mengatakan, “sungguh bodoh saya.” Menjadi seorang yang mempunyan sense of humor yang tinggi, berarti ia telah menjadi seorang pengamat masalah yang teliti. Catatan tentang adanya masalah, kemudian sikap dan perspektif kita terhadap masalah tersebut. Inilah inti humor.”

”Kalau ini sudah tidak berfungsi,” tambah Gusdur, ”Berarti orang hanya punya satu jalan kepada masalah, yaitu menolak atau menerima. Kalau dia menolak, dia lari, menutupi keadaan dan masalah. Kalau dia menerima, berarti dia putus asa. Dan, tidak melihat adanya kemungkinan memperbaiki lagi. Itu berbahaya sekali. Sebab, kalau itu sudah merupakan kesadaran kolektif, maka apatisme yang muncul.”

Humor itu outlet kejiwaan. Tidak lagi eskapistik, sekedar penglepasan resah pribadi, melainkan kritik sosial. Sebuah interupsi sosial. Ruang jeda guna mempertahankan kewarasan dan kejujuran. Menertawakan diri sendiri, memuat penerimaan terhadap ketidakberdayaan diri membenahi kekurangajaran keadaan. Tapi bukan ketidakberdayaan yang sudah final. Tetap ada usaha-usaha atau harapan ke arah perbaikan.

Seperti yang pernah dilontarkan Gus Dur dalam sebuah kesempatan yang sempat “terrekam” Hamid Basyaib. “Pak Harto itu dulu presiden new order,” ucap Gus Dur membuka cerita, “Pak Habibie presiden in order.” Dan Gus Dur sendiri? “Saya presiden no order (tidak teratur),” katanya, kemudian terkekeh-kekeh mendahului bunyi tawa publik yang mendengarnya.

Humor. Inilah jejak Gus Dur yang saya kira paling mungkin dilakukan oleh mayoritas gusdurian. Sebuah jejak yang aktual, lantaran sebagian besar dari rakyat Indonesia kini masih terpuruk dalam kekalahan hidup (baca: kemiskinan). Belum lagi berbagai persoalan bergulung-gulung terus menerus menerpa kita: korupsi, api panas Century, politik perburuhan, kriminalitas, bencana alam, persekongkolan politik, kisruh politik pangan, sengkarut kebijakan pendidikan, dan berderet paradoks lainnya.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger