Home » » Ibuku Perpustakaan Pertamaku

Ibuku Perpustakaan Pertamaku

Written By Agus M. Irkham on 7 Jan 2010 | 19:54



: agus m. irkham

”Ibuku perpustakaan pertamaku.” Demikian kurang lebih simpulan saya atas ucapan Tantowi Yahya, Duta Baca Indonesia, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional ”Pembudayaan Kegemaran Membaca” di Perpustakaan Nasional RI di Salemba, Jakarta (14/12/2009).

Kakak dari Raja Kuis, Helmi Yahya itu mengatakan—seperti yang dilansir situs Kompas.com (25/12; 13:08 WIB)—ibunya sangat berperan dalam menumbuhkan kecintaan dan kegemaran membaca pada dirinya. Ibunda Tantowi tidak memaksanya membaca, tetapi memberi contoh. Seorang ibu, kata Tantowi, memiliki waktu jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah. Anak juga lebih dekat dengan ibu. Tantowi menambahkan jika ada keberpihakan dan perhatian dari kalangan penulis, pengarang, penerbit, dan perpustakaan kepada kaum perempuan, khusunya para ibu, bukan mustahil, kesadaran kolektif antara ibu dan masyarakat perbukuan itu akan menumbuhkan suburkan budaya baca di tiap keluarga.

Dari Jakarta, saya ajak Anda ke Semarang. Akhir November 2009 saya menjadi salah satu pembicara Workshop Pemasyarakatan Perpustakaan dan Minat baca. Acara yang diprakarsai oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Propinsi Jawa Tengah itu berlangsung di Aula Perpustaakan Propinsi Jawa Tengah—yang oleh banyak orang sering disebut PERWIL. Ada sekitar 150 peserta, terdiri dari pustakawan perpustakaan daerah di 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, petugas perpustakaan desa, dan pengurus taman baca masyarakat. Sebagai pemateri, selain saya ada Prof. Rustono dari Universitas Negeri Semarang.

Dalam paparannya, Prof. Rustono menekankan betapa pentingnya peran ibu dalam upaya mengenalkan buku pada anak-anak. Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNNES tersebut menyarankan agar para ibu-ibu saat pagi, setelah bangun tidur jangan langsung masak-menyiapkan sarapan dan mencuci perabot dapur/pakaian. Tapi, mulailah kehidupan di pagi hari dengan membaca. Mendengar paparan itu, banyak peserta, terutama ibu-ibu yang tersenyum penuh arti.

Nah, tak kalah menariknya saat sesi pertanyaan, ada peserta (masih berumur mbak-mbak) yang menimpali rekomendasi itu dengan saran agar Prof. Rustono menulis buku yang isinya dapat memberikan kesadaran pada kaum bapak-bapak (suami) agar mereka memiliki pengertian. Para suami mau memberikan waktu dan kesempatan kepada para istri untuk membaca koran, buku, atau majalah di pagi hari. Karena kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Tiap pagi, para istrilah yang paling diburu-buru waktu. Mereka harus menyelesaikan segala macam pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyiapkan sarapan untuk anak-anak yang akan berangkat sekolah, hingga membereskan perlengkapan kerja suami. Celakanya, kebanyakan suami berpandangan bahwa aktivitas membaca itu sama dengan bermalas-malasan.

Pernyataan Tantowi dan Prof. Rustono di atas memberikan, paling kurang dua ikhtisar penting. Yaitu pertama, para ibu, yang pertama-tama haruslah melek huruf. Sebagaimana yang pernah dinyatakan Mendiknas Mohammad Nuh, guna menumbuhkan kegemaran membaca, salah satu hal esensial yang harus disiapkan adalah menyangkut pengenalan karakter atau huruf dalam bahan bacaan. Artinya program pemberantasan buta huruf menjadi sangat penting. Kalau buta huruf bagaimana bisa membaca dan memahami teks.

Apalagi, dalam konteks Jawa Tengah misalnya, sulit mengharapkan kepada kaum ibu agar mereka menjadi figur utama penggerak minat baca di keluarga. Apa pasal? Karena sampai dengan akhir tahun 2007 saja, jumlah penduduk buta huruf yang berusia 15-44 tahun, hampir 70 persennya (480.612 orang) adalah perempuan. Tersebar hampir di semua kabupaten dan kota di Jateng. Dengan persentase terbesar berada di kabupaten Brebes, Sragen, Banjarnegara, Blora, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Grobogan, Rembang, dan Pekalongan. Betul kalau ada simpulan yang menyatakan bahwa penyebab utama buta aksara adalah kemiskinan. Karena kesepuluh kabupaten tersebut memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Rata-rata di atas 30 persen. (Jateng dalam Angka, BPS).

Yang kedua, kesuksesan peran ibu sebagai pemasar budaya baca di keluarga harus didukung oleh masyarakat (perbukuan), swasta, pemerintah dan yang paling utama dan kunci adalah dari para masing-masing suaminya

Ikhtiar sistematis dan masif yang dapat dilakukan guna meningkatkan kapasitas para perempuan—dalam konteks perannya sebagai pemasar budaya baca di keluarga—adalah: Pertama, dengan mengirim mereka ke tempat yang semestinya, yaitu sekolah melalui program beasiswa pendidikan. Semacam program orangtua asuh, tapi khusus untuk anak perempuan. ”Program Hadiah Pendidikan Seumur Hidup,” dalam bahasa John Wood (2007).

”Kita tidak bisa berharap banyak terhadap siasat meningkatkan kualitas hidup kaum calon ibu, jika mereka tidak memiliki kesempatan bersekolah.” Papar Wood yang mantan Manager Pemasaran Microsoft untuk kawasan Asia Pasifik itu.

Apalagi tingkat pendidikan yang ditamatkan seringkali linear dengan kesadaran/kegemaran membaca. Seperti yang pernah ditunjukkan oleh hasil
jajak pendapat Kompas (8/11/2008) tentang minat baca masyarakat di Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal. Tercatat responden berpendidikan pascasarjana, seluruhnya (100 persen) membaca buku setiap hari. Kebiasaan yang sama juga dimiliki responden berpendidikan sarjana (48,5 persen), dan diploma (35,4 persen).

Kedua, perpustakaan bekerjasama dengan penerbit harus berperan aktif, menjemput bola, meminjami buku kepada para ibu dari satu pintu rumah ke pintu lain. Layaknya yang dilakukan perpustakaan di Malaysia. Di negeri Jiran ini para orangtua, khususnya ibu ditempatkan pada posisi yang sangat penting dalam program kampanye membaca. Yaitu mereka dijadikan teladan pertama bagi anak-anaknya dalam urusan membaca. Oleh Pustaka Publik di negeri Serawak, Malaysia, para orangtua dipinjami buku. Dalam beberapa minggu, petugas Pustaka Publik datang kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru. Demikian seterusnya. Hingga seluruh anggota keluarga memiliki kegemaran membaca. Dan pada akhirnya ketika seluruh pengguni rumah membutuhkan bacaan, mereka tidak lagi menunggu jatah pinjaman, tapi dengan sukarela dan penuh kegembiraan ramai-ramai pergi ke perpustakaan.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger