Home » » Praktik Kurang Ajar Buku Ajar

Praktik Kurang Ajar Buku Ajar

Written By Agus M. Irkham on 7 Feb 2010 | 00:58



: agus m. Irkham

Sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin pihak yang mestinya bertanggung jawab memuliakan kehidupan—salah satu tujuan pendidikan—justru menjadi aktor utama pencemar kehidupan. Bagaimana mungkin, pihak yang seharusnya memastikan para peserta didik mendapatkan buku ajar yang baik dan benar, baik dari sisi jumlah, maupun isi, justru berlaku kurang ajar.

Pertanyaan-gugatan itu yang muncul saat saya (kita?) membaca berderet berita kasus korupsi buku ajar. Seperti yang dilansir Suara Merdeka (28/12/2009), di Kota Salatiga, dugaan korupsi buku ajar banyak melibatkan pejabat penting. Di antaranya Drs H Sutedjo mantan Sekda, Sri Wityowati SE mantan Kabid Perbendaharaan pada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Drs Mardiono mantan Kepala BPKD, mantan Kasubbid Belanja Pembangunan Sartono SH, dan Sri Utami Djatmiko, mantan Ketua DPRD

Sebelumnya, dalam kasus dan tempat yang sama, tiga tersangka telah divonis, yakni mantan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Drs Bakri MS Ed dan mantan Kasubdin Sarana dan Prasarana Disdik yang juga Pimpinan Proyek (Pimpro) pengadaan buku ajar Kadarisman SPd, dan mantan anggota DPRD Kota Salatiga Ahmadi.

Ahmadi bersama-sama Sri Utami Djatmiko, dan anggota DPRD lainnya, menerima gratifikasi Rp600 juta dari Murod Irawan, Kepala Divisi Pemasaran PT Balai Pustaka Wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Ahmadi mengaku menerima Rp 24 juta. Berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangungan (BPKP) Jateng tahun 2007, kerugian negara akibat korupsi proyek pengadaan buku ajar PT BP tahun 2003/2004 itu sebesar Rp7,47 miliar.

Kutukan buku ajar juga terjadi di Surakarta. Kali ini melibatkan Drs. Pradja Suminta SH MM, dan Drs Amsori SH MPd. Keduanya, mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemkot Surakarta, telah resmi ditahan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Surakarta (SM, 31/11/2009). Pradja selaku penanggung jawab proyek dan Amsori, pimpinan proyek, didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam proyek bantuan buku dan alat peraga pendidikan TA 2003. Kerugian negara akibat aksi keduanya, ditaksir sekitar Rp3,7 miliar. Bahkan kasusnya terus berkembang. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Solo, Selasa (19/1), indikasi keterlibatan mantan Walikota Solo Slamet Suryanto menguat.

Di Jateng, selain Kota Salatiga dan Surakarta tulah praktik hina (korupsi) di industri mulia (buku ajar) juga terjadi di 14 kabupaten/kota lainnya. Di antaranya di Boyolali, Tegal, Wonogiri, Semarang, Magelang, Batang, dan Pati. Hanya saja, di 5 kabupaten/kota terakhir disebut, belum bisa disentuh karena terhalang oleh persoalan izin presiden yang belum juga turun.

Tidak hanya di Jateng, laknat manajemen kurang ajar buku ajar juga menghampiri DIY. Kali ini menjerat 11 orang tersangka, satu di antaranya adalah Bupati Sleman nonaktif Ibnu Subiyanto. Selain itu melibatkan pula Kepala Dinas Pendidikan M Bachrum, dan mantan Ketua DPRD Jarot Subiyantoro. Uang proyek buku ajar yang ditilep senilai Rp12,1 miliar. Pada persidangan yang berlangsung hari Rabu (13/1), Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman Hery Supriyono mengetuk palu mengesahkan vonis empat tahun penjara bagi Ibnu.

Memuliakan kehidupan
Apa makna di balik kenyataan yang menorehkan ketidakmengertian, sakitati sekaligus apatisme terhadap para penyelenggara praksis pendidikan itu?

Pertama, ternyata korupsi tidak mengenal tempat, waktu, wilayah sosial, posisi kekuasaan, gelar akademik, dan label-label lainnya. Karena yang pertama dan utama klausa prima seseorang berlaku korup adalah lantaran pikirannya yang sejak awal telah terkorup. Pun semakin tinggi gelar akademik (magister pendidikan misalnya, seperti yang terjadi di Surakarta) seseorang tidak menjamin semakin tinggi pula tingkat kesadaran dan keadaban penyandangnya. Pada titik ini, kasus korupsi buku ajar dapat dibaca sebagai bentuk kegagalan lembaga dan sistem pendidikan (sekolah, universitas) memenuhi tujuan esensialnya, yakni menghasilkan lulusan yang mampu memuliakan kehidupan.

Kedua, korupsi buku ajar juga dapat dimaknai sebagai asnad atau bukti centang perenangnya politik perbukuan ajar kita. Sistem yang terbangun dan dibangun justru lebih banyak dengan sengaja memunculkan konflik kepentingan. Yang kemudian muncul adalah praktik insider trading. Hasil kongkalikong antara pemerintah, anggota dewan, dan penerbit.

Kasus korupsi buku ajar hampir seluruhnya dikreasi dari praktik insider trading ini. Modusnya bisa bermacam-macam, mulai dari mark up harga buku, penggelembungan anggaran, hingga penunjukkan langsung rekanan (penerbit) tanpa melalui mekanisme tender. Buku ajar tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mulia dan akan dimanfaatkan untuk tujuan mulia oleh karena itu teknis pengadaannya pun harus melalui proses yang mulia. Buku ajar menjadi sekadar mainan bisnis belaka. Tak lebih.

Siasat baru
Sebenarnya pemerintah, melalui mendiknas, telah melakukan upaya untuk mengurai kusutnya praktik manajemen buku ajar itu. Mulai dari Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional No 11/2005 yang melarang sekolah dan penerbit menjual buku ajar langsung kepada siswa, hingga ”penggratisan” buku ajar melalui program buku sekolah elektronik (e-book). Tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan, jika tidak mau disebut gagal.

Menurut hemat saya, kusutnya manajemen buku ajar—berujung pada maraknya praktik kurang ajar (korupsi) buku ajar—tidak bisa diatasi selama para siswa (sekolah) tetap ”diwajibkan” memakai, yang pada pengertian tertentu diwajibkan membeli. Kekusutan tersebut bisa diatasi jika dan hanya jika siswa dan sekolah dibebaskan untuk (tidak) memakai buku. Baik buku teks pelajaran maupun buku umum.

Masing-masing gurulah yang berkewajiban menyiapkan kurikulum (silambus) bahan ajar tiap-tiap mata pelajaran. Siswa diberi kebebasan untuk memperkaya kurikulum tersebut. Bisa dari buku ajar, buku umum, maupun internet. Sudah barang tentu, diperlukan keberanian, kepercayaan diri, dan komitmen yang kuat untuk melakukan terobosan ini. Mengingat siasat tersebut bukan siasat yang populer.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger