Home » » Lima Reposisi Komunitas Literasi

Lima Reposisi Komunitas Literasi

Written By Agus M. Irkham on 7 Feb 2010 | 01:10



: agus m. irkham


”Yang utama sebenarnya bukan membaca,” terang Jaya Suprana dalam esai berjudul Buku: Sebuah Kontemplasi (2007). ”Melainkan mengerti makna sebuah buku kemudian didayagunakan untuk satu langkah karsa dan karya nyata produktif dan konstruktif,” lanjut Jaya.

Jadi, dalam pandangan pakar kelirumologi itu letak persoalan minat baca, bukan pada tinggi rendahnya, namun sejauh mana (isi) suatu bacaan bisa mempengaruhi hidup pembacanya. Membantu proses perbaikan kualitas hidup—terutama ekonomi—pendarasnya.

Lima Pergeseran
Ikhtisar itu pula yang menjadi entri pertama perubahan posisi komunitas literasi—relasinya dengan gerakan keberaksaraan. Buku bukan menjadi tujuan akhir. Tapi sekadar alat, atau tujuan antara. Maka yang dikejar bukan jumlah koleksi buku yang dimiliki, banyaknya eksponen yang bergabung, atau bilangan peminjam yang berjebah, tapi sejauh mana buku yang tersedia dekat dengan aktivitas keseharian pemustaka. Reposisi ini melahirkan satu gerakan: keberaksaraan fungsional. Pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) tidak lagi cukup, masyarakat harus memiliki pula pengetahuan melakukan sesuatu (procedural knowledge). Bergema (Bersama Geliat Masyarakat) di Wonosobo, dan Tobucil (Toko Buku Kecil) di Bandung dapat saja ajukan sebagai representasi penanda (ikon) reposisi itu.

Input kedua perubahan posisi komunitas literasi adalah menyangkut label atau nama yang digunakan. Tidak lagi terbatas pada penggunaan kata ”taman baca” dan ”perpustakaan” tapi sudah sangat variatif. Sekadar menyebut contoh: Rumah Pelangi, Taman Pintar, Jala Pustaka, Mentari Pagi, Rumah Cahaya, Teras Puitika, Cahaya Lentera, Kandangpati, Lentera Kalbu, Rumah Belajar, Istana Rumbia, Rumah Dunia, dan Gandok Sari Lempeni.

Keragaman itu didasarkan pada dua kausa mendasar. Yaitu pertama, adanya kesadaran: isi (content-buku) itu penting, tapi belum cukup. Agar menarik konsumen (pengunjung), dan mereka mau membeli (membaca), maka isi tersebut harus dikemas secara menarik (context). Jadi (aktivitas membaca) buku tidak ”dijual” tapi ”dipasarkan.” Kausa kedua, didasarkan pada sejarah—lebih bersifat sosio-antropologis—dan potensi yang dimiliki tiap tempat (kearifan lokal). Dengan begitu komunitas literasi yang berada di daerah bukan menjadi kepanjangan tangan dominasi ”Konsepsi Jakarta” ihwal bentuk, isi, dan strategi gerakan literasi di tingkat lokal.

Lema ketiga, reposisi gerakan komunitas literasi adalah terletak pada bentuknya yang tidak harus dimulai dengan membuat perpustakaan. Komunitas Historia Indonesia, Stereo Foto Id, Komunitas open source Athenaeum Light, dan FOSCA (Forum of Scientist Teenagers) adalah beberapa contoh komunitas literasi yang tidak menjadikan buku (perpustakaan) sebagai ayunan langkah pertama saat masuk ke gerakan keberaksaraan. Memang pada akhirnya mereka akan tiba juga pada (membaca) buku. Tapi melalui jalan yang melingkar-lingkar. Dan jalan itu semula terkesan tidak ada sangkut pautnya dengan buku.

Tilikan keempat, reposisi komunitas literasi mencakup luasan wadah. Yaitu dua dunia: online dan offline. Ada komunitas yang wadahnya hanya online (pasarbuku, penulislepas, pasarnaskah). Ada juga yang hanya offline (ini berlaku pada sebagian besar komunitas literasi). Ada pula yang gabungan dari keduanya (1001buku, Indonesiabuku, forumlingkarpena). Biasanya sarana yang dipakai untuk berinteraksi, komunikasi dan berrelasi berupa kelompok milis (mailinglist groups).

Masukan kelima reposisi komunitas literasi berupa penindihan terhadap ikon budaya pop. Kalau kita mau sederhanakan, aktivitas paling menonjol dan populer saat ini yang merupakan penanda atau ikon budaya pop adalah: menonton (film), nge-game (online), ngobrol, bermain, kecenderungan menghabiskan waktu libur/luang dengan jalan-jalan (traveling), (menonton dan bermain) musik, animasi, dan kuliner.

Penanda aktivitas populer itu dalam pandangan para eksponen komunitas literasi bukan menjadi sesuatu yang harus dicaci dan dijauhi. Sebaliknya, harus didekati, kalau perlu “dikawini”. Ada banyak komunitas literasi yang aktivitasnya merupakan bentuk kawin campuran itu. Kawin campuran antara buku sebagai situs budaya “tradisional” yang identik dengan keseriusan dan kedalaman dengan budaya pop yang sering dilekati dengan sifat kedangkalan dan remeh temeh. Manis, melayani, selintas, puas!—meminjam istilah yang disangkakan oleh Garin Nugroho.

Jejak telah terjadinya ”kawin campuran” dapat kita candra melalui munculnya Komunitas Jelajah Budaya, IndoHarryPotter, IndoHogwart, Britzone Speaking Club, Komunitas Yo-Yo Indonesia, Komunitas Indo Star Trek, dan Komunitas Layang-Layang Indonesia.

Perspektif Literasi
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran posisi tersebut?

Pergeseran posisi itu disebabkan, paling kurang, oleh dua faktor. Pertama perubahan situasi dan kondisi lingkungan. Baik yang menyangkut orang (persona) maupun teknologi (informasi). Jadi kelima ”posisi baru” baru di atas dapat dibaca sebagai bentuk penyesuaian diri (akomodasi, adopsi, imitasi) komunitas literasi atas perubahan kurun.

Yang kedua, pergeseran posisi komunitas literasi didorong oleh munculnya kesadaran atas pemaknaan entri ”literasi” itu sendiri. Literasi tidak lagi dimaknai sebagai ”kemelek-hurufan” semata tapi meluas menjadi ”keberaksaraan”.

”Literasi mencakup semua kemampuan yang diperlukan oleh seorang atau sebuah komunitas,” ungkap Peter Freebody dan Allan Luke dalam The Literacy Lexicon (2003). ”Untuk ambil bagian dalam semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan wacana (diskursus).

Berdasarkan pengertian itu, menjadi orang yang literate berarti menjadi orang yang mampu berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam komunikasi tekstual, termasuk dalam komunikasi menggunakan media cetak, visual, analog, dan juga media digital.

Dengan deskripsi yang berbeda: Literasi tidak semata-mata mencakup persoalan membaca dan menulis (performative), namun bergandengan pula dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, teknologi (fuctional), serta pendidikan, sejarah, dan gaya hidup (informational-epistic).♦

Catatan:
Ada beberapa bagian dalam tulisan ini yang juga terdapat di tulisan saya yang lain. Itu, tak lain untuk menunjukkan bahwa yang saya ulang tersebut memang (sangat) penting.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger