Home » » Membangun Budaya Baca

Membangun Budaya Baca

Written By Agus M. Irkham on 31 Jul 2010 | 15:56


: agus m. irkham

Budaya baca. Frase itu sering kita dengar dan baca saat kita berbicara atau mendaras tulisan bertema “membaca.” Ada satu istilah lagi yang tak kalah sering kita dengar/baca, yaitu “minat baca”. Kedua frase itu memiliki intensitas makna yang berbeda. Lantas di mana letak perbedaannya?

Sejauh bacaan saya tentang keberaksaraan, minat baca maknanya lebih bersifat datar, sekadar menggambarkan tingkat ketertarikan seseorang (bangsa) terhadap teks, tidak harus buku. Yang penting teks, medianya bisa macam-macam: buku, koran, majalah, dan lain sebagainya.

Sedangkan budaya baca, adalah suatu kondisi dimana aktivitas membaca sudah/belum menjadi bagian yang lekat dan mengikat kehidupan sehari-hari seseorang. Pendek kata, untuk seseorang yang sudah memiliki budaya baca tinggi, buatnya tiada hari tanpa membaca! Dan rujukan teks yang dibaca biasanya buku.

Mengacu pada judul artikel ini ”Membangun Budaya Baca”. Jika “budaya baca” kita sepakati sebagai satu lema (entry), maka ada dua lema dalam tajuk tersebut: “membangun”, dan “budaya Baca”. Tentu saja, meskipun tanpa ada kata “tinggi” yang mengikuti lema budaya baca, saya yakin 100 persen, pembaca mengerti arah dari frase itu, yaitu ”Budaya Baca (yang) Tinggi.”

Lantas timbul tanda tanya lagi, apa ukuran suatu masyarakat/bangsa dikatakan memiliki budaya baca yang tinggi? Siapa (institusi) yang paling berhak (kompeten) mengukur tingkat minat suatu bangsa? Bagaimana cara mengukurnya?

Artikel ini ditulis bukan untuk tujuan menjelaskan secara khusus ukuran-ukuran yang biasa dipakai untuk mengategorikan level budaya baca seseorang/masyarakat. Atau perdebatan yang terjadi mengenai acuan-acuan tersebut. Meski demikian, ada satu ukuran yang, jika belum diterima sepenuhnya, paling tidak telah dijadikan ukuran tingkat budaya baca di mayoritas negara. Yaitu jumlah judul buku baru yang diterbitkan per tahun per satu juta penduduk.

Berdasarkan data terkini, dengan penduduk 225 juta setiap tahun, Indonesia baru bisa menghasilkan 8.000 judul buku. Artinya di Indonesia, 35 judul buku baru per satu juta penduduk. Dari angka itu, kita tidak bisa mengelak, budaya baca bangsa Indonesia masing rendah. Karena tergolong di rerata negara berkembang, ukuran paling minimal (sedang) adalah 55 judul buku baru per satu juta penduduk.

Bertalian dengan lema pertama judul artikel ini: “membangun” maka, menurut saya, ada dua pihak penting yang memiliki peran dan keharusan membangun budaya baca (buku). Pertama Pemerintah. Baik yang berada di daerah (kabupaten/kota dan propinsi), maupun pusat. Wujud peranannya berupa aturan atau regulasi (undang-undang, kepres, perda, dan lain-lain yang sejenis dengan itu).

Karena saya (kita?) bukan pemerintah, juga tidak (sedang) mewakili pemerintah, maka pembicaraan tentang peran pemerintah saya cukupkan sampai di sini. Kita beralih ke pihak yang memiliki peran penting membangun budaya baca berikutnya yaitu masyarakat. Untuk memudahkan membaca peta partisipasi, masyarakat ini saya pecah menjadi beberapa bagian, yaitu penerbit, penulis, distributor, toko buku, pers (jurnalis), dan individu. Karena sebagian besar dari kita—adalah individu, yang bukan penerbit, distributor buku, dan jurnalis maka saya lebih tertarik untuk meneruskan artikel ini dengan pertanyaan: peran apa yang bisa kita (sebagai individu maupun kelompok individu) mainkan untuk membangun budaya baca?

Beberapa waktu lalu, Mendiknas M. Nuh mengatakan bahwa minat baca masyarakat kita di sementara golongan tinggi. Hanya saja tingginya kesadaran membaca itu tidak ditransfer ke golongan masyarakat lain yang minat bacanya masih rendah. Kalaupun ada jumlahnya masih sangat kecil/minimal, sehingga hasilnya tidak siknifikan.

Terlepas dari sangkaan Pak Menteri yang menurut saya sangat layak untuk diperdebatkan, taruhlah kita yang rajin membaca koran ini adalah golongan yang dikatakan pak Nuh sebagai golongan yang berminat baca tinggi, maka sudah selayaknyalah kita membagi kesadaran pentingnya aktivitas membaca itu kepada khalayak yang lebih luas. Caranya? Salah satunya adalah dengan berjejaring membentuk komunitas.

Tentang komunitas ini, pertengahan April lalu, secara khusus saya diminta menyunting teks katalog program World Book Day Indonesia 2010 yang dirayakan di Pasar Festival dan Museum Mandiri, Jakarta. Katalog tersebut selain berisi rangkaian acara, terutama adalah memuat profil beragam komunitas literasi. Ada sekitar 50 (lima puluh) komunitas literasi tersurat di katalog tersebut.

Secara sederhana komunitas dapat diartikan sebagai kumpulan atau himpunan sekelompok orang yang peduli satu sama lain lebih dari yang semestinya. Biasanya mereka dipersatukan oleh kesamaan kepentingan, hobi, dan nilai. Sedangkan literasi secara mudah bisa kita maknai sebagai tingkat kemampuan (minat) seseorang berelasi dengan dunia teks (buku).

Di katalog tersebut, ada komunitas yang aktivitas keaksaraannya masih terbatas pada kemampuan teknis mengenal huruf, ada yang sudah mulai meningkat ke fungsional (membaca buku berkaitan dengan aktivitas/pekerjaan), ada pula yang sudah tiba pada kemampuan tertinggi, membaca sebagai aktivitas wajib dalam setiap jelujur waktu hidup sehari-hari (sudah menjadi budaya/gaya hidup).

Unik, khas, dan beda. Simpulan itu yang saya dapatkan saat menekuni lembar demi lembar profil komunitas (jejaring) literasi yang terhimpun di katalog tersebut. Ada banyak komunitas yang strategi gerakannya melalui “jalan melingkar”. Untuk sampai pada aktivitas membaca sebagai bagian dari hidup (budaya baca) mereka menjadikan hobi dan kesenangan—dua penanda utama budaya pop—sebagai pintu masuknya.

Sekadar menyebut contoh, ada komunitas nonton film (Indo-Startrek), komunitas penggemar foto 3 dimensi (Stereofoto-ID), komunitas role play (rp) game online berbasis tek (IndoHogwarts), komunitas ngobrol berbahasa Inggris (BritZone English Club), dan komunitas FOSCA (Forum of Scientist Teenagers).

Simpul akhir saya, tingginya budaya menonton dan bicara, sudah tidak relevan lagi dipakai sebagai biang kerok rendahnya minat baca buku. Mengingat keduanya bisa “ditindih” untuk membangun budaya baca. Kuncinya hanya satu: berjejaringlah!
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger