Home » » TBM @ Mall

TBM @ Mall

Written By Agus M. Irkham on 31 Jul 2010 | 15:54


: agus m. irkham

Akhir Mei lalu, di Balai Belajar Bersama City of Tomorrow (CiTo) Surabaya untuk kali kedua, Mendiknas Mohammad Nuh meresmikan Taman Bacaan di Mal (TBM@Mall, baca TBM at Mall). Sebelumnya TBM@Mall dibuka di Jakarta, Serang, dan Makassar. Pembukaan TBM di mal ini bertujuan mendorong minat baca pengunjung mal, yang mayoritas remaja. Asal tahu saja, skor minat baca remaja Indonesia saat ini adalah 393 atau di bawah rata-rata negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), yakni 492. Padahal skor Korea mencapai 556 dan Hong Kong-China 536.

Dengan kehadiran TBM@Mall diharapkan akan memperluas minat baca masyarakat. Sehingga mereka bukan hanya datang ke mal untuk belanja atau mencari hiburan, melainkan mencari ilmu, informasi, serta mengembangkan karakter serta jiwa wirausaha melalui beragam bacaan.

Karena sasaran utamanya adalah remaja, diharapkan TBM@Mall tidak melulu menyiadakan buku bacaan, tapi juga berderet varian layanan lainnya, misalnya (bisa nonton) film, berselancar di dunia maya (internet), pelatihan, dan cafe. Dengan begitu paling tidak TBM bisa menjadi alternatif tempat anak-anak muda nongkrong.

Program ini menjadi bagian dari target Kemdiknas di tahun 2010, yaitu membuka 561 TBM, yang terdiri atas 23 TBM@Mall, dua TBM di rumah sakit, 36 TBM di Balai Belajar Bersama (TBM di ruang publik yang bukan di mal), 50 TBM untuk daerah terpencil guna mengantisipasi putus sekolah (peningkatan minat baca), dan 450 TBM keaksaraan (rumah singgah dan panti-panti sosial).

Ketika awal prakarsa TBM@mall disosialisasikan ke publik, muncul banyak keberatan. Di antaranya menganggap program ini tidak pro rakyat kecil. Daripada digunakan membuat dan membiayai TBM di mal bukankah lebih baik digunakan untuk membuka TBM di pasar tradisional, di pesantren, di masjid, dan lain-lain tempat yang lebih mewakili kebutuhan mayoritas khalayak. Begitu dalih pihak yang kontra.

Dalih terebut tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Karena Kemdiknas secara simultan juga membuka TBM di luar mal. Bahkan dari segi jumlah, jauh di atas TBM yang didirikan di mal. Tak terkecuali pula dari segi anggaran. Untuk program TBM@Mall, dalam setahun pemerintah hanya menyediakan uang sebesar Rp70.000.000 per TBM. Tentu dalam hitung-hitungan matematika ekonomi manapun uang segitu tidak akan cukup. Untuk sewa tempat, rekening listrik, dan kebersihan saja besar kemungkinan kurang. Dan memang pada akhirnya demi kesuksesan program ini, pengelola menggandeng pihak swasta dan pemerintah daerah (propinsi).

Makna filosofis
Ada beberapa alasan filosofis yang patut dipahami mengapa TBM@Mall ini diluncurkan. Pertama, mal sekarang ini telah menjadi tempat tetirah banyak orang. Tidak saja bagi mereka yang termasuk ke dalam kelas menengah (secara ekonomi dan pendidikan), tapi juga kelas rendah. Tidak pula memandang asal daerah (desa-kota), gender (laki-perempuan), usia (anak-muda-tua). Semua lumer dalam kesibukan aktivitas di mal. Merayakan kegembiraan di mal adalah hak setiap warga negara. Begitu kira-kira kalimat mudahnya.

Nah, dengan adanya TBM di mal, diharapkan ada internalisasi kesadaran yang kurang lebih sama. Yaitu membaca (buku) adalah hak setiap warga negara. Tidak peduli kaya miskin, muda tua, semua berhak mendapatkan kemudahan akses bacaan. Tiap warga negara memiliki kesempatan membaca dan memaknai apa yang baca itu. Dan yang diharapkan dari pemaknaan itu akan meningkatkan pula pemahaman terhadap situasi kehidupan, sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya. Baik secara sosial maupun ekonomi.

Kedua, mal identik dengan aktivitas membeli (konsumsi), terutama barang guna memenuhi kebutuhan fisik. Dan aktivitas tersebut dilakukan dengan segenap rasa suka cita. Secara tidak langsung, mal juga menjadi ukuran identifikasi golongan menengah (mapan). Dengan kata lain, saat seseorang pulang dari mal, citra diri dan gengsi diri meningkat. Tingkat penghargaan terhadap diri menaik.

Dari titik itu, pintu makna filosofis yang kedua, kehadiran TBM di mal bisa dimasuki. Kehadiran aktivitas membaca (buku) di mal sama penting dan menggembirakannya dengan belanja di mal. Kesejajaran posisi itu yang hendak disasar. Membaca buku ada adalah aktivitas yang bergengsi. Membaca buku tidak identik dengan kacamata tebal, kuper, tidak gaul, terasing, dan membosankan. Yang kemudian berlangsung adalah 2 in 1 (two in one). Dua jenis belanjaan dapat dilakukan dalam satu tempat. Belanja barang untuk pemenuhan kebutuhan fisik, dan belanja (membaca) buku untuk pemenuhan kebutuhan otak dan hati. Dan keduanya tidak lagi ditempatkan dalam posisi saling menegasi. Tapi saling melengkapi. Simbiosis mutualisme.

Semarang
Secara khusus, Semarang (representasi dari Jawa Tengah) sebenarnya telah ”dipesan” oleh Mendiknas untuk dibuka pula TBM@Mall. Amanah itu dalam beberapa kesempatan telah saya konsultasikan dengan beberapa pihak terkait. Menyangkut siapa yang dipandang mampu menjadi pengelolanya. Baik satu lembaga tertentu maupun konsorsium. Dari segi tempat, saya juga sudah sempat survei, dan DP Mall menjadi tempat yang saya andalkan. Karena berada di lokasi yang sangat setrategis. Terletak di bilangan perkantoran pemerintah, bisnis serta lembaga pendidikan.

Hanya saja, karena kendala (terutama) komunikasi, serta ketiadaan lembaga pengelola yang memenuhi syarat (legal, kapabel, dan kredibel), amanah itu harus saya kembalikan lagi ke Pak Menteri. Sayang sekali memang.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger