Home » » Sarjana Kuadran Pertama

Sarjana Kuadran Pertama

Written By Agus M. Irkham on 27 Nov 2010 | 16:50



: agus m. irkham

”Naiklah ke lantai tertinggi gedung bertingkat. Buka salah satu jendelanya, dan meludahlah. Maka dapat dipastikan ludah itu akan jatuh mengenai orang-orang di bawah gedung. Dan minimal satu dari orang yang terkena ludah itu adalah sarjana, pengangguran pula!” Demikian candaan yang saya dapat dari seorang pemateri pelatihan wirausaha beberapa waktu silam.

Tentu saja, Anda tidak harus percaya dengan guyonan satir motivator wirausaha itu. Tapi meskipun begitu, tetap saja cerita itu mengandung kebenaran. Paling kurang memunyai simpulan yang sama dengan banyak pengamat ekonomi bahwa angka pengangguran di negeri ini masih sangat tinggi. Baik yang absolut maupun relatif. Ironinya, tingginya angka pengangguran itu disumbang pula oleh golongan yang mestinya tidak lagi memiliki kendala untuk mendapatkan pekerjaan, yaitu para sarjana.

Jumlah sarjana menganggur di Indonesia pada 2010 mencapai 1.142.751 orang atau naik 15,71 persen dibandingkan dengan 2009. (Kompas, 23/9/2010). Atau secara absolut naik 600 persen dibandingkan tahun 2005 (183.629 orang).

Apa sebab para sarjana ini sulit mendapatkan pekerjaan?

Selama ini, galibnya terjadi di hampir semua perguruan tinggi, indeks prestasi kumulatif (ipk) masih menjadi sesuatu yang utama untuk dikejar para mahasiswa. Ipk diperoleh dengan mengalikan bobot nilai suatu mata kuliah dengan jumlah sks tiap matakuliah tersebut dibagi seluruh sks yang telah diambil. Batasan angka tertinggi ipk adalah 4,0 (empat koma nol). Ipk menunjukkan kemampuan akademik mahasiswa dan seberapa jauh ia menyerap dan memahami matakuliah yang sudah diambil. Ukuran yang dipakai bersifat kuantitatif. Dengan kata lain ipk adalah hasil dari kerja otak kiri mahasiswa. Hanya merujuk pada kecerdasan intelektual (hard skill).

Tidak ada yang salah dengan upaya mendapatkan ipk tinggi itu. Hanya saja yang patut direnungkan, ternyata ipk tinggi tidak menjamin para mahasiswa ini mudah diterima bekerja. Kalaupun diterima mereka sulit sekali mengembangkan karir. Apa pasal? Ternyata menurut hasil beberapa penelitian, kesuksesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola emosi atau tergantung pada tingkat kecerdasan sosialnya. Semakin cerdas sosial, semakin sukses. Demikian kira-kira kalau boleh saya sederhanakan.

Oleh karenanya, dapat saya ajukan satu simpulan bahwa salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk mengurangi angka pengangguran, terutama yang terjadi pada kaum sarjana adalah dengan meningkatkan kemampuan atau kecerdasan emosional mereka. Kalau kecerdasan intelektual diwakili dengan istilah indeks prestasi kumulatif (ipk dengan huruf kecil) maka kecerdasan emosional, sebut aja sebagai indeks peradaban kumulatif (IPK dengan huruf besar). IPK mencerminkan hasil kerja otak kanan. Bersifat kualitatif (soft skill) dan memiliki segi kemanfaatan jangkan panjang.

Pada titik itu, saya kira akan menjadi pekerjaan rumah besar buat para pengelola perguruan tinggi, terutama di Jawa Tengah untuk merancang sistem perkuliahan yang nantinya tidak saja ipk para wisudawannya tinggi tapi juga juga level kesadaran kemanusiaannya (IPK) memukau.

Jika antara ipk dan IPK ini kita buat menjadi garis yang saling menyalip (memotong), garis horizontal menunjukkan capaian ipk, sedangkan garis vertikal menunjukkan IPK, maka mestinya tujuannya pendidikan di perguruan tinggi adalah mendorong para lulusannya (sarjana) masuk ke dalam kuadran pertama.

Kuadran pertama adalah kuadran yang memuat para sarjana berindeks prestasi kumulatif dan indeks peradaban kumulatif tinggi. Kuadran inilah yang paling ideal, lantaran menghasilkan sarjana yang mumpuni di ranah intelektual, dan menggetarkan di lapangan kesadaran. Yang selalu terjaga mata hatinya. Jika ada yang mengatakan bahwa mahasiwa adalah agen perubahan (agent of change), maka wujud aktualnya adalah sarjana/mahasiswa kuadran pertama ini.

Selanjutnya adalah kuadran kedua. Sarjana kuadran kedua adalah tipikal mahasiswa aktivis. Lantaran jarang masuk kuliah, indeks prestasi kumulatifnya dua koma astaghfirullah. Namun Indeks Peradaban Kumulatif-nya tiga koma masyaallah. Taruhlah sarjana kuadran kedua ini tertolak saat melamar kerja di perusahaan, mereka akan cepat mengubah haluan. Tidak menjadi pencari kerja tapi pencipta lapangan kerja. Minimal memperkerjakan diri sendiri.

Bagaimana dengan sarjana kuadran keempat? Kuadran keempat adalah untuk mahasiswa safety players. Dan ini menjadi kecenderungan umum mahasiswa. Lulus cepat, ipk tinggi. Jadi cara berfikirnya sangat linear. Ada dua nasib yang menanti sarjana kuadran keempat ini. Jika berkarir di akademik, yang paling logis dan jamak akan menjadi dosen. Andai berkarir di industri/perusahaan/birokrasi, sulit sekali untuk mendapatkan posisi kunci.

Yang paling harus dihindari oleh para pemegang kepentingan pendidikan perguruan tinggi adalah menghasilkan sarjana kuadran ketiga. Di kuadran ini para mahasiswa yang lulus tidak saja berindeks prestasi kumulatif rendah, indeks peradaban kumulatifnya pun jeblok. Sudah tidak pintar intelektual, secara sosial pun bebal.

Satu-satunya prestasi sarjana kuadran ketiga adalah meningkatkan tambunnya angka pengangguran dari kaum sarjana. Dan merujuk pada bentangan perangkaan tentang pengangguran, dengan berat hati harus saya katakan, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia yang berjumlah tak kurang dari 2.900 perguruan tinggi itu masih menghasilkan sarjana kuadran ketiga ini. Duh!
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Sunday, April 03, 2011 10:29:00 am

di bagi-bagi ke temen2 ya mas. numpang copas. tadi.

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger