Home » » Agar Indeks Prestasi Kumulatif = Indeks Peradaban Kumulatif

Agar Indeks Prestasi Kumulatif = Indeks Peradaban Kumulatif

Written By Agus M. Irkham on 19 Oct 2010 | 22:52


: Sebuah epilog atas buku 24 Cara Mendongkrak IPK

Ukuran yang teramat sering digunakan untuk menilai sukses tidaknya seorang mahasiswa/sarjana adalah indeks prestasi kumulatif atawa IPK. IPK didapat dari skor nilai dikalikan jumlah sks (sistem kredit semester) dibagi jumlah total sks yang telah diambil. Skala tertinggi IPK adalah 4,00. Artinya jika IPK semakin mendekati 4,00 berarti semakin istimewa. Semakin sukses luar biasa! Terlepas apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan kualitas orangnya atau tidak. Yang jelas IPK telah disepakati sebagai paramater atau ukuran keumuman.

Di kalangan mahasiswa berlaku hukum tidak tertulis, tapi tahu sama tahu. Yaitu IPK minimal 3,00 sebagai IPK psikologis. Angka yang akan menimbulkan rasa aman sekaligus kebanggaan. Aman karena ”lebih mudah” mengisi lowongan kerja. Rerata perusahaan mensyaratkan IPK minimal pelamar 3,00. Dan bila si pelamar lulus dari perguruan yang kurang favorit, biasanya standarnya meningkat. Bangga, karena bisa melampui IPK 2,00. Seberapa besarnya angka di belakang koma, taruhlah 99 (2,99) tetap saja disebutnya ber-IPK dua koma. Beda dengan IPK 3 meskipun di belakang koma 01 (3,01) tetap disebut ber-IPK tiga koma.

Ini kecenderungan yang sering kali tidak bisa dibendung. Yaitu lulus hanya sekadar lulus meskipun indeks prestasi komulatif (IPK) tinggi, tapi penguasaan dan pemahaman terhadap ilmu yang dipelajari sangat kurang. Tak jarang ketika ujian nyontek, dengan berbagai macam cara. Dulu semasa saya masih kuliah, sangat mudah menemukan coretan-coretan berisi rumus, definisi, dan lain-lain di kursi kuliah, dipinggir-pinggir tembok, bahkan ada juga yang merajahkan contekan itu ke tubuhnya.

Mestinya sesuai dengan namanya universitas, sarjana yang hasilkan mempunyai kesadaran universal, mengumum, mensemesta. Orientasi tidak sekadar mencari dan mendapatkan pekerjaan, tapi beralih kepada upaya menciptakan lapangan kerja baru. Paling tidak kalau memang harus menjadi pekerja, harus diniati bagian dari pembelajaran, yang pada titik tertentu akan kelauar dan membangun bisnisnya sendiri.

Atau menjadikan pekerjaannya itu sebagai sarana memberikan perhatian, kepedulian, dan bantuan-bantuan konkret kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Jadi sebenarnya, tidak masalah jika memang harus menjadi oranga gajian, yang penting bagaimana menempatkan gaji, uang dan pekerjaannya itu.

Lantas apakah dengan IPK tinggi akan menjamin kemudahan seorang sarjana menjalani julujur kehidupan karir dan pekerjaan?

Awal Juli 2009, saya mengisi acara unjuk bincang di Universitas Muhammadiyah Magelang. Helatan tersebut diprakarsai oleh Dekanat Fakultas Ekonomi. Dalam sambutan pembukaannya, Bapak Dekan mengatakan bahwa, IPK tinggi memang penting. Tapi ternyata kenyataannya di lapangan, lulusan dengan IPK tinggi justru memiliki soft skill yang rendah. “Keterampilan lunak” itu meliputi kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi, mengatasi konflik, dan lain-lain yang lebih mengedepankan kecerdasan emosional.

Apa yang disampaikan pak Dekan di atas menyisakan pertanyaan kunci: apa yang salah dengan sistem perkuliahan, sehingga indeks prestasi kumulatif yang mencerminkan prestasi intelektual tidak sama dengan indeks peradaban kumulatif yang merujuk pada kemampuan emosional atau soft skill tadi?

Mencari jawaban atas pertanyaan itu menjadi begitu penting. Tanpa ada upaya mencari jawaban yang sahih, maka yang kemudian terjadi adalah dominannya sikap pragmatisme. Satu-satunya yang hendak dikejar saat kuliah adalah IPK tinggi, tanpa memedulikan bagaimana IPK tinggi itu diperoleh.

Berdasarkan amatan saya, temuan yang dikemukakan Pak Dekan telah mengandung jawaban. Yaitu, mengapa IPK tidak sama dengan “IPK” karena di dalam proses perkuliahan jarang sekali menggunakan pendekatan yang dapat mengoptimalkan potensi kecerdasan emosional yang dimiliki oleh setiap mahasiswa. Mahasiswa juga cenderung duduk, diam, pulang. Tidak mau ”bereksperimentasi” dengan potensi emosi yang mereka miliki.

Apa bentuk nyata dari proses perkuliahan yang dapat melejitkan kecerdasan emosional mahasiswa? Saya kira salah satu jawaban yang dapat saya ajukan adalah persis seperti yang telah tertulis di buku ini. Keduapuluhempat cara mendongkrak IPK ini sepenuhnya saya susun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan emosional (soft skill) bukan semata-mata target-target intelektual (hard skill).

Maka tak berlebihan kiranya, jika buku ini saya sebut sebagai salah satu solusi atau jalan keluar agar Indeks Prestasi Kumulatif = Indeks Peradaban Kumulatif.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger