Home » » Merayakan Kedangkalan Melalui Buku

Merayakan Kedangkalan Melalui Buku

Written By Agus M. Irkham on 21 Dec 2010 | 22:34



: agus m. irkham

Buku tak seperti dulu. Ditahbis sebagai anak rohani manusia. Hasil perenungan dan permenungan atas kenyataan hidup penulisnya. Menjadi karya yang bersifat sangat personal. Dicandra sebagai sumber kedalaman, kebajikan, dan pencerahan. Oleh karenanya buku dibaiat pula sebagai penentu arah peradaban bangsa. Buku sebagai cara merayakan kedalaman.

Sekarang yang terjadi sebaliknya. Buku justru menjadi panggung merayakan kedangkalan. Salah besar jika buku disangka sebagai semata-mata karya individual/personal. Kini ia sudah menjadi karya komunal. Bahkan industrial.

Modus pendangkalan
Proses pendangkalan di dunia perbukuan, paling kurang, melalui tiga 3 (tiga) modus. Yaitu pertama, kontradiksi. Menulis buku semula dijadikan sarana untuk menghadirkan substansi (isi), bukannya ikon. Harapannya ketika seseorang mendaras suatu buku, yang ia tekuni adalah isi buku, bukan si penulis buku. Dengan begitu, antara pembaca dan penulis tetap ada jarak. Keberjarakan tersebut akan memampukan pembaca bersikap adil sekaligus jujur dalam menimbang isi buku.

Saat ini menulis buku justru menjadi arena menguatkan citra ikon. Menjadi arena penglepasan hasrat semesta kecil. Berupa keinginan memiliki publisitas, kemenangan, popularitas, kelimpahruahan harta, dan keterkenalan. Yang kesemuaannya oleh Yasraf (2003) digolongkan pada bentuk-bentuk budaya peng-aku-an (the culture of narcissism).

Ingin bukti? Masuklah ke toko buku, lihat deretan judul buku yang terpajang di rak bertuliskan: Bahasa. Anda akan bertemu dengan beragam judul buku yang menjadikan perolehan uang dan keterkenalan menjadi titik pijak ajakan penulisnya kepada pembaca agar terjun ke dunia penulisan.

Padahal tentang etos kreatif dan motivasi peng-aku-an ini, jauh-jauh hari telah diingatkan penyair Rendra: “Penulis harus secukupnya saja menyesali kegagalan atau mensyukuri kesuksesan. Ia tidak boleh terjerat oleh sukses atau kegagalan karyanya. Kegemaran berkokok atas suatu sukses atau menangis pilu karena suatu kegagalan akan menyebabkan ia kerdil. Pikiran dan jiwa tidak lagi merdeka tanpa beban sehingga kemurnian jiwa sukar lagi didapatkan. Pada hakikatnya, seorang penulis harus memahami bahwa nama itu kosong dan ketenaran itu hampa, hanya jalan hidup yang nyata.”
Kedua, penyederhanaan. Simplifikasi diperoleh dengan cara mendistorsi makna atau pengertian penulis. Dulu, untuk menjadi penulis, seseorang harus melalui proses panjang. Rela bergumul dengan kenyataan hidup, kepahitan, penolakan, ketidakpopuleran, menjalani dunia sepi, kerelaan untuk “antri”. Pendek kata, menjadi seorang penulis betul-betul menjadi seorang anak kehidupan-kebudayaan. Bukannya anak struktur (penerbit, sekolah menulis, pelatihan kepenulisan)—seperti yang saat ini berlaku.

Padahal ketika seorang penulis lahir sebagai anak struktur maka yang terjadi kemudian adalah ia akan pandang hanya dari sisi (teknis) keterampilan menulisnya. Bukan kediriannya yang meliputi adanya api peduli (cinta), keterlibatan, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai universal.

Munculnya karya-karya epigon dapat saya ajukan sebagai salah satu asnad atau bukti betapa lahirnya penulis-penulis anak struktur (penerbit) ini tengah menjadi kecenderungan.

Selain itu, tak kalah menarik untuk disimak adalah, gejala yang terjadi di kalangan penulis muda—cepat memiliki pretensi untuk mengajari orang lain menulis. Salah satunya dengan mendirikan sekolah menulis (struktur). Baik secara online (e-mail) maupun offline (kelas). Besaran “investasi program” yang dipatok masing-masing lembaga pun berbeda. Termasuk durasi waktu pelatihan. Meskipun tiap sekolah menulis memunyai kurikulum yang berbeda, mereka bertemu dalam satu titik, yaitu menjadikan keterampilan menulis sebagai tujuan utama. Mudahnya orang ikut sekolah menulis dijamin akan menjadi penulis!

Taruhlah, klaim mencetak penulis itu benar. Maka yang akan terjadi kemudian dapat ditebak, yaitu lahirnya penulis-penulis instan. Sekali muncul, setelah itu selesai. Bentangan tema yang ditulispun biasanya hanya terbatas pada buku-buku praktis (how to/self help).

Ketiga, komodifikasi. Buku yang semula dinilai sebagai bentuk tingkah laku budaya (cultural behavior), dan produksi budaya (cultural production) kini direduksi perannya hanya sebagai produk budaya (cultural product). Hukum-hukum yang berlaku pada buku yang dinilai sebagai produk budaya, sama persis seperti yang berlaku pada artifak kebudayaan fisik. Pada titik ini, secara substansial buku dapat dipersamakan dengan meja, kursi, mobil, sepatu atau benda-benda kebudayaan fisik lainnya. Sebagai artifak buku menjadi suatu benda fisik yang telah berdiri sendiri. (Buku dalam Indonesia Baru, Ed. Alfons Taryadi, 1999; 22).

Contoh paling kasatmata dari praktik komodifikasi ini adalah pameran buku. Di dalam pameran, buku lebih sering ditempatkan sebagai murni barang. Pengaturan buku yang dipamerkan tidak didasarkan pada kategori tema, tapi pada kesamaan harga. Sudah begitu pengaturan letak buku pun acak kadut. Sehingga ada kesan yang dijual bukan buku sebagai karya intelektual (noble industry) tapi semata-mata kertas (pabrikan).

Asnad lain berupa munculnya buku-buku yang menjanjikan kekhusyukan ibadah, tapi didekati dengan metode praktis (sistematisasi). Sebuah upaya yang justru membuat sesuatu yang semula bersifat transenden menjadi profan.

Apa boleh buat, rupa-rupanya antikedalaman telah menyapa kehidupan dunia perbukuan. Kini, buku telah menjadi bagian dari hasrat konsumerisme.
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

Wednesday, December 22, 2010 6:23:00 am

Setuju Gus Ir .. saya pernah beli sebuah buku yang ditulis oleh seorang - yang oleh program infotaintment disebut sebagai - celebrities, ternyata isinya dangkal tuh .. jadi kapok deh beli buku yang ditulis oleh selebritis ..

Salam hangat

Friday, December 31, 2010 11:55:00 pm

hehe, kalau artis biasanya yang nulis orang lain mas. mereka pakai jasa ghost writer. dan yang disasar memang bukan kedalaman, tapi lebih ke efek caper. memberikan identitas baru baru si artis, yang oleh kebanyakan orang disangka lebih banyak mengekplrosai fisik bukan akal. Tapi tidak semua artis sih. Tulisan2 albertine indah (spesialis penulis biografi artis/) termasuk yang baik.

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger