Home » » Banjir Lahar di Ibnu Hajar

Banjir Lahar di Ibnu Hajar

Written By Agus M. Irkham on 17 Jan 2011 | 18:52



:: agus m. irkham

Jumat 14 Januari 2011. Sekitar pukul tujuh malam, bersama anak kedua saya, Naila berusia dua setengah tahun, saya berangkat ke Magelang. Tujuan saya ada dua. Pertama, sabtu pagi saya berniat berkunjung ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Ibnu Hajar. Tepatnya ingin mengetahui kondisi terkini setelah ahad malam (9/1) dihajar banjir lahar dingin Gunung Merapi. Dan kebetulan saya ada amanah dari Pengurus Pusat Forum TBM, menyerahkan uang hasil penggalangan dana.

Tujuan kedua, kebetulan hari ahad pagi hingga sore (16/1) saya diminta mengisi pelatihan pembuatan koran anak di desa Sudimoro, kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Terletak sekitar 13 kilometer persis sebelah selatan Gunung Merapi. Sudimoro termasuk kawasan yang wajib dikosongkan saat Merapi erupsi.

Kali ini, saya akan bercerita tentang tujuan pertama, berkunjung ke TBM Ibnu Hajar. TBM ini terletak di dusun Jetis, desa Sirahan, kecamatan Salam, kabupaten Magelang. Kalau anda tengah berperjalanan dari Magelang ke arah Yogya, maka setelah Muntilan sekitar 1 kilometer anda akan tiba di perempatan Gulon (nama desa). Nah dari gulon ini ada jalan ke arah selatan. Sirahan terletak sekitar 5 KM dari perempatan Gulon.

Sirahan termasuk daerah yang terkena abu merapi. Banyak pohon tumbang di daerah ini. Termasuk pepohonan yang berada di halaman depan rumah Ida Fajar Lusiana—
oleh para tetangganya akrab disapa Bu Ida—ketua pengelola TBM Ibnu Hajar. Tak terkecuali pepohonan yang berada di depan bangunan TBM yang terletak kurang lebih 15 meter sebelah timur rumah Bu Ida. Padahal sejuknya suasana di bawah pepohonan yang berada di area sekitar Ibnu Hajar menjadi salah satu magnet pengunjung. Saat menggelar acara pun, tidak harus mendirikan tenda atau tratak yang luas. Anak-anak, setelah meminjam buku mereka membacanya sambil main ayunan yang diada di depan rumah Bu Ida. Bahkan ada juga yang datang ke Ibnu Hajar, awalnya hanya sekadar main ayunan. Kemudian karena melihat banyak buku, akhirnya mereka nimbrung. Turut membaca.

Tentang kiprah Ibnu Hajar, kebetulan saya pernah melakukan reportase. Laporannya dapat anda simak di link berikut: http://ypr.or.id/id/berita/pondok-baca-ibnu-hajar-jalan-yang-semula-buntu-tiba-tiba-punya-seribu-pintu-.html

Salah satu kegiatan di Ibnu Hajar: Bedah Novel Glonggong, Karya Junaedi Setiyono, pada tahun 2008.

Namun, paska merapi batuk berat, suasana sejuk itu hilang. Berganti dengan suasana gersang. Udara terasa kering. Ibnu Hajar menjadi kehilangan pesonanya. Beberapa minggu setelah merapi erupsi, saya sempat main ke Ibnu Hajar, dan turut merasakan kering dan gersangnya suasana. Dan rupa-rupanya, kegersangan itu belum cukup. Ahad malam (sekitar jam 7), Sirahan, yang termasuk daerah aliran sungai Kali Putih—sungai yang menjadi jalan turunnya lahar dingin Merapi, dihajar banjir lahar. Jalan utama desa yang semula aspal dan di kanan kiri rumah, habis. Yang nampak hanya bukit-bukit pasir, reruntuhan rumah, dan rumah yang terkubur pasir hingga ketinggian 2-3 meter.

Jalan raya desa yang semula digunakan masyarakat Sirahan, kini berubah menjadi padang pasir.


Ini adalah jalan kecil menuju TBM Ibnu Hajar yang telah berubah bentuk menjadi bukt pasir.

Untuk sampai ke dusun Jetis, Sirahan, saya harus naik ojek. Itu harus mencari jalan i di sela-sela yang tertimbun pasir, dan kebetulan masih bisa dilalui. Kalau naik mobil hanya bisa sampai Salakan. Nama desa sebelum Sirahan. Dari sini, perjalanan menuju dusun Jetis, Sirahan harus dilakukan dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Sampai dengan saya datang (Sabtu 15/1) desa Sirahan, dan beberapa desa sesudahnya (di sebelah selatan Sirahan) masih terisolir. Hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Rumah Bu ida sendiri, meskipun pondasinya cukup tinggi, tetap saja lumpur lahar dingin bercampur pasir tetap masuk hingga ke dalam rumah. Dan halaman rumahnya yang luasnya tak kurang dari 700 meter persegi, dipenuhi pasir dengan ketinggian sekitar 70 cm. Jalan menuju TBM Ibnu Hajar sudah layaknya perbukitan pasir.

Bagaimana dengan kondisi TBM Ibnu Hajar? Alhamdulilah sebagian besar koleksi buku terselamatkan. Sebelum banjir lahar datang, Bu Ida sempat ”mengungsikan” nya ke bagian rumahnya yang paling tinggi. Dan tak dinyana, lumpur dan pasir tidak sampai masuk ke ruang baca. Hanya mengubur teras depan dan memporak-porandakan properti yang sebelumnya ditaruh di teras. Termasuk ruang yang sedianya akan digunakan sebagai ruang redaksi Koran Anak TBM Ibu Hajar.

TBM Ibnu Hajar nampak dari depan-sebelah barat. Seluruh teras tertutup pasir setinggi kurang lebih 30cm

Saatnya saya bertemu Bu Ida Sabtu siang (15/1), tidak ada ekspresi sedih yang terlalu muncul dari wajah beliau. Padahal selain kondisi TBM yang tetap saja harus direhabilitasi, gedung PAUD (Playgroup, dan TK) yang dikelola PKBM Ibnu Hajar rubuh. Hanya tinggal setengahnya. Itu pun dalam kondisi yang sangat tidak layak dipakai. ”Pak agus, melihat kondisi seperti ini, berarti saya harus mulai dari nol kembali, seperti 11 tahun lalu. Tapi saya yakin nol yang sekarang, kualitas, pengalaman, dan kesiapan mental saya jauh lebih baik ketimbangkan 11 tahun lalu.” Terang Bu Ida.

Nampak gedung PAUD Ibnu Hajar tinggal puing-puing. Ada sekitar 120 siswa (Playgroup, dan TK) yang hingga kini tidak bisa belajar.

”Bu Ida sedih?” Tanya saya naif. ”Kesedihan itu sudah saya lampui pak Agus. Justru saya sekarang bisa menertawakan kondisi seperti ini.” Jawabnya. ”Dulu saat, pepohonan tumbang karena abu merapi, saya sedih, bahkan menangis, karena tanaman-tanaman yang setiap hari saya rawat juga mati semua.” Lanjut Bu Ida. ”Dan kini, saat saya sudah bisa ikhlas menerimanya, malah Tuhan memberikan yang lebih lagi, yaitu lahar dingin Merapi. Justru sekarang ini saya sedang bertanya-tanya, Tuhan sedang berencana apa atas diri saya, hingga diberi cobaan yang bertubi-tubi seperti ini. Mungkin setahun, atau dua tahun lagi, pertanyaan ini baru akan terjawab.” Terang Tandas Ibu Ida.

Saya memperkirakan akan memakan waktu yang lama, untuk memulihkan kondisi di Sirahan. Termasuk perbaikan jalan yang menghubungkan antara Desa Salakan menuju Sirahan. Karena selain timbunan lumpur dan pasir, di beberapa tempat, jalan dan dan rumah warga juga tergenang air—sisa air banjir yang terjebak, tidak bisa mengalir/keluar—setinggi pinggang orang dewasa.. Sampai dengan hari saya datang, aliran listrik masih padam. Tian-tiang penyambung kabel aliran listrik hanya menyisakan onggokan tiang. Di malam hari, Sirahan menjadi desa mati. Gelap. Mencekam. Hampir semua warganya mengungsi. Lantaran 90 persen dusun-dusunnya habis diterjang banjir lahar dingin Merapi.

Saya dan Bu Ida di depan TBM Ibnu Hajar

Dimulai di Magelang, dan diakhiri di Batang
15-18 Januari 2011
irkham
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Friday, May 18, 2012 5:26:00 am

maturnuwun sudah datang ke tempat kami

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger