Home » » Migrasi Etalase Tulisan

Migrasi Etalase Tulisan

Written By Agus M. Irkham on 17 Jan 2011 | 18:40



:: agus m. irkham

Harus diakui media teks berbasis pohon (kertas) tidak akan sepenuhnya ditinggalkan masyarakat. Meskipun demikian, adanya pergeseran dan perubahan cara orang mengonsumsi informasi, dari kertas ke byte (digital, internet) juga tidak dapat dianggap sepi. Bahkan perkembangan dunia maya, tidak saja menggeser adab kebiasaan orang mendaras informasi, tapi juga bagi si produsen informasi.

Meskipun belum menjadi kecenderungan umum yang bersifat masif, migrasi etalase tulisan (penulis) sudah berlangsung. Untuk menulis dan mempublikasikannya, kini koran dan majalah tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan. Calon penulis, bahkan penulis mapan pun sekarang ini mulai memanfaatkan halaman catatan (note) di facebook, blog, dan mailing list sebagai sebagai wadah melenturkan otor menulisnya. Sekaligus menjadi wahana menernak ide dan tulisan untuk kemudian hari akan dijahit menjadi satu buku utuh.

Bahkan, facebook, sebagai situs jejaring sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia, juga digunakan penerbit untuk menghimpun naskah, dan mencari penulis-penulis baru. Tak sedikit pula buku yang terbit, awal kemunculan idenya dari gunjingan yang berlangsung di dinding (wall) laman buatan Mark Zuckerberg ini. Sekadar menyebut contoh, Emak-Emak Fesbuker Mencari Cinta (Leutika, 2010), Mendengarkan Dinding Fesbuker, dan Selaksa Makna Cinta (Pustaka Puitika, 2010).

Mengapa facebook, blog, dan mailing list mulai disukai, bahkan telah menjadi alternatif utama etalase tulisan?

Pertama, dekonstruksi otoritas. Layak muat tidaknya tulisan tidak lagi diserahkan pada satu dua orang (redaktur), tapi sepenuhnya berada pada diri si penulisnya. Begitu ia menekan tombol publish (terbitkan), maka seketika itu pula tulisannya bisa di baca orang dari segala penjuru arah mata angin. Dekonstruksi otoritas ini juga menipiskan kemungkinan si penulis (pemula) ini terluka, lantaran kritikan pedas redaktur. Juga mengurangi tingkat kemungkinan mogok, apatis tidak mau menulis lagi, lantaran tulisannya tidak pernah dimuat, sudah begitu tidak ada kabar atau pemberitahuan sama sekali.

Kedua, sifat interaktif dan interkonektisitas. Selain kecepatan proses terbit, kecepatan respon atau komentar atas tulisan juga menjadi magnet tersendiri buat para penulis. Komentar itu menjadi semacam bensin yang akan menambah besar nyala api semangat menulis. Apapun komentarnya. Baik sekadar like, komentar pendek, asal, maupun panjang nan analitik. Dan rupa-rupanya bagi sebagian besar penulis pemula, kebutuhan apresiasi ini jauh lebih penting ketimbang honorarium yang lazimnya hanya bisa diperoleh saat menulis di koran dan majalah.

Sifat interkoneksitas juga memungkinkan terjadinya dialog, baik afirmasi, negasi maupun perluasan dan pelengkapan atas tulisan yang di-posting. Pembaca tidak sekadar atau semata-mata membaca, berhenti hanya sebagai objek, tapi dalam waktu berbarengan juga bisa sama-sama menjadi subjek. Dengan cara turut pula menampilkan tulisan yang berkaitan atau membagi pengalaman membacanya atas satu tema yang sama melalui penulisan tautan (link) ke note atau laman pribadinya. Yang terjadi kemudian adalah desentralisasi informasi dan pengetahuan. Tiap diri memiliki hak yang sama untuk mengonsumsi, menginterpretasi, sekaligus memproduksi (ulang) informasi. Pada titik itu lumerlah apa yang disebut dengan kolonialisme pengetahuan.

Ketiga, menulis di facebook, blog, dan mailing list bisa menjadi sarana—meminjam istilah yang diberikan Hernowo—mengikat makna. Kalau sebelumnya pengikatan makna hanya di buku harian, yang sifatnya pribadi dan rahasia. Kini hasil pengikatan itu ditawarkan dan digelindingkan kepada publik. Laksana bola salju, tulisan itu saat turun ke bawah akan menggelinding kian cepat, dan ukurannya bertambah besar. Kiat cepat dan besarnya ukuran bola salju ini dapat dianalogikan sebagai bertambah luasnya perspektif yang didapatkan oleh penulis saat isi diary itu dibuka ke ruang publik. Tentu ini menjadi masukan, dan materi berharga jika ikatan-ikatan tersebut akan disambung menjadi seutas tali utuh bernama buku.

Menulis di koran dan majalah menjadi jalan yang baku bagi seseorang yang ingin merintis karir menjadi penulis. Itu dulu. Sekarang, tidak harus begitu. Sudah muncul berderet nama penulis mula yang telah berhasil menelurkan bukunya, tanpa terlebih dahulu menulis di koran. Jadilah migrasi etalase tulisan itu menjadi modus baru penerbitan buku. Menjadi jalan pintas berkarir di dunia ideas. Dan saya kira sah-sah saja. Toh pada akhirnya secara alamiah nanti akan terseleksi dengan sendirinya. Para pembaca buku di Indonesia sudah semakin pintar. Mereka bisa membedakan mana buku yang bermutu, dan mana yang sekadar proyek pecah telur alias asal terbit dan berburu label sangat laku (bestseller). Yang begitu, menurut pandangan saya akan menambah gairah dunia penerbitan. Membentuk titik keseimbangan baru (kualitas, harga, dan kuantitas) pada level yang lebih tinggi. Dan justru cara baru ini bisa menjadi sarana agar perkembangan dunia perbukuan di Indonesia kian bergegas.

Ilustrasi : technorati.com
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger