Home » » Pengalaman Membangun Komunitas

Pengalaman Membangun Komunitas

Written By Agus M. Irkham on 23 Jan 2011 | 06:29



:: agus m. irkham

April 2007, oleh Perpustakaan Kota Magelang saya diminta menjadi instruktur (trainer) menulis di program Klinik Baca Tulis. Program tersebut menjadi salah satu varian layanan perpustakaan. Kebetulan perpustaan memiliki satu ruang yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan, terutama pengunjung/pemustaka. Ruang belajar tersebut cukup untuk menampung 20 orang. Klinik Baca Tulis berlangsung selama 8 kali pertemuan. Lantaran peserta yang ikut banyak, kurang lebih 40 orang, pelatihan di bagi menjadi dua kelompok. Pagi dan Siang. Peserta berasal dari bermacam-macam latar belakang sosial dan profesi. Mulai dari guru, polisi, bidan, wirausahawan, mahasiswa, hingga ibu rumahtangga.

Pelatihan berlangsung selama satu bulan. Tiap pekan dua kali pertemuan, berdurasi satu setengah jam. Karena peserta tidak memiliki keberangkatan yang sama soal kemampuan menulis, maka materi pelatihan saya masuki dengan persoalan paling mendasar, yakni tentang motivasi. Mencari dorongan paling kuat dan emosional yang menyebabkan mereka harus menulis (willingness to write). Selain tentang kepenulisan, terutama menulis artikel, peserta juga saya latih menggunakan email. Mulai dari membuat email, mengirim surat, membuka surat, mengunggah lampiran, dan mengunduh lampiran. Pendek kata segala hal berkaitan dengan email dan proses atau cara pengiriman tulisan melalui email ke media massa.

Dalam pelatihan tersebut, saya juga mengembangkan pola komunikasi yang partisipatif. Melalui pendekatan pendidikan untuk orang dewasa, peserta saya libatkan di setiap subjek pembelajaran. Mulai dari motivasi, definisi, aturan teknis, dan seterusnya. Hingga kesadaran banyak hal tentang filosofi menulis mereka hasilkan (konstruksi) sendiri. Suasana kelas saya kelola sedemikian rupa sehingga tiap peserta saling mengenal lebih dekat dan akrab. Sehingga relasi yang terjalin antara saya dengan mereka, di antara mereka sendiri berlangsung guyub. Seperti ada ikatan emosional, meskipun banyak di antara peserta yang baru saling kenal saat pelatihan.

Dan yang paling seru adalah saat sesi pembengkelan karya. Secara acak saya mengambil contoh artikel yang telah dibuat peserta untuk kemudian saya bedah di kelas. Sesi ini menjadi sesi paling mendebarkan sekaligus ger-geran. Karena tak segan-segan saya mengkritisi sekaligus mencandai artikel yang tengah saya bedah. Saat pelatihan berlangsung saya juga mengatakan bahwa belajar menulis tidak harus pada akhirnya menjadi penulis. Tapi melalui kegiatan menulis bisa membantu melancarkan aktivitas atau profesi yang sebelumnya telah dijalani. Karena aktivitas menulis memiliki banyak manfaat yang sifatnya tidak kentara. Mulai dari membuat berfikir dan berbicara lebih runtut, lebih fokus, mampu memetakan persoalan dan mencari beragam pilihan jalan keluar, berani berbicara di depan banyak orang, bicara tidak belepotan, dan lain-lain faedah.

Singkat cerita pelatihan berjalan dengan sukses. Sejauh ini, sebatas pengetahuan saya, ada dua peserta yang aktif mengisi kolom opini di koran. Dua peserta tersebut adalah Nur Khafid, dan Budi Sulistiyono. Yang pertama disebut adalah seorang pendidik sekaligus wirausahawan, sedangkan Budi bekerja sebagai PNS Polri.

Oh iya perlu saya tambahkan, ada salah satu peserta yang kebetulan memiliki usaha cetak sablon berinisiatif membuatkan kaos untuk saya dan seluruh peserta. Kami tinggal mengganti ongkos kain saja. Kalau tidak ingatnya biayanya hanya Rp10.000. Kaos tersebut di bagian belakang tertulis : Magelang Membaca, sekarang atau tidak sama sekali. Sedangkan yang di depan : KLINIK BACA TULIS Perpustakaan Kota Magelang. Kaos ”gratisan” di kemudian ini menjadi seragam resmi para peserta pelatihan saat menjadi panitia acara bedah buku.

***

Sepekan sebelum pelatihan usai, saya mencermati deretan nama peserta yang tertulis di daftar hadir. Saat membaca nama demi nama, ingatan saya langsung tertuju pada suasana kelas (palatihan) yang penuh kegembiraan. ”Sayang sekali, kalau keakaban itu terhenti setelah pelatihan selesai.” Pikir saya dalam hati. Lantas seketika terbetik di benak saya untuk menawarkan pada seluruh peserta, bagaiamana kalau dibentuk komunitas kepenulisan. Anggotanya adalah seluruh alumni peserta pelatihan.

Kontan saja, ide saya itu disetujui oleh seluruh peserta. Tidak hanya itu, ide pembentukan komunitas penulisan juga saya perdengarkan ke kepala perpustakaan Kota Magelang (Ibu Sugiarti). Saya katakan ke beliau, teman-teman peserta pelatihan ini nanti akan menjadi pengunjung loyal perpustakaan sekaligus menjadi mitra perpustakaan saat akan menggelar beragam acara internal. Mereka juga akan menjadi agen pemasaran perpustakaan. Mengabarkan kepada publik Kota Magelang tentang keberadaan, variasi, dan kualitas layanan perpustakaan Magelang. Dan di awal-awal saya minta kesediaan beliau, untuk menjadikan salah satu ruang perpustakaan, khusus panggung baca dan ruang belajar sebagai tempat untuk kopdar alias ngumpul bareng.

Gayung bersambut. Ibu Sugiarti menerima usul saya. Tepat di hari terakhir pelatihan, seluruh peserta dan beberapa staf perpustakaan, termasuk Ibu Sugiarti, berkumpul di perpustakaan Desa Buku, Taman Kyai Langgeng Magelang. Pengelolaan Desa Buku kebetulan masih menjadi tanggung jawab perpustakaan Kota Magelang. Untuk lebih memberikan gambaran kepada peserta pelatihan tentang komunitas penulisan, secara khusus saya mengundang salah satu generasi awal Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta, Ika Nugrahaini. Mengapa saya pilih Yogya? Karena Yogya pada tahun 2005 pernah terpilih menjadi wilayah terpuji se-Indonesia. Sebab lain, secara geografis lebih dekat dengan Kota Magelang, dibandingkan misalnya Semarang atau Solo.

Melalu Ika inilah, teman-teman peserta pelatihan semakin paham arti penting berkomunitas. Dengan berkomunitas membuat semangat mereka semakin terteguhkan. Dan satu sama lain saling memberikan informasi penting bahkan tawaran solusi ketika ada yang tengah menghadapi masalah dan kesulitan seputar menulis. Teman-teman di komunitas menjadi semacam masterminds. Jadi semangatnya akan terus terjaga. Dapat mempercepat kemajuan kualitas dan kuantitas artikel yang kita hasilkan.

Setelah sesi presentasi Ika selesai, saya tawarkan lagi kepada peserta, apakah akan membentuk komunitas sendiri, atau menggunakan wadah yang sudah ada, yakni FLP. Karena kebetulan sekali FLP Kota Magelang belum ada. Akhirnya semua sepakat untuk berhimpun ke FLP. Dan secara khusus, meminta Ika (FLP Yogya) menjadi mentor FLP Kota Magelang. Dan alhamdulilah permintaan itu diiyakan oleh Ika. Dengan demikian, hari itu menjadi hari lahirnya FLP Kota Magelang.

Selang waktu 1 hingga 2 bulan usai pembentukan komunitas, FLP Kota Magelang tidak langsung saya lepas. Saya turut memberikan masukan, apa-apa saja yang musti dikerjakan setelah komunitas terbentuk. Beberapa di antaranya adalah pembentukan pengurus atau stuktur organisasi sekaligus pembagian kerja, dan program jangka pendek. Untuk program jangka pendek saya usulkan segera bersilaturahmi ke penulis. Dekat saja yang tinggal di Yogya dan Magelang. Lantas tersebutlah nama Joni Ariadinata dan Ajip Rosidi. Joni tinggal di Gamping, Yogya. Sedangkan Ajip tinggal di Pabelang, Magelang. Joni dikenal sebagai Presiden Cerpen Indonesia. Bekerja sebagai redaktur Majalah Horizon. Mantan penarik becak. Sedangkan Ajip terkenal sebagai ahli sastra Sunda, pendiri penerbit Pustaka Jaya, mengajar Bahasa Indonesia di Jepang, dan berderet label lainnya.


Foto bersama sebelum pamitan


Saatnya yang yunior mendengarkan dulu:). Pak Ajip ternyata jauh dari kesan sementara orang: agak ketus bin judes. Sebaliknya, ramah.

Mengapa saya usulkan untuk berkunjung ke penulis? Ada dua sebab, pertama mengetahui kepribadian si penulis. Menyakut kebiasaan hidup (habits) dan pandangan hidupnya, terutama dalam berkarya (menulis). Kedua, bagaian dari ikhtiar membangun jaringan (koneksi). Dan dihari yang ditentukan, FLP Kota Magelang, meskipun tidak semua, berkunjung ke mas Joni dan Pak Ajip.

***

Sampai sekarang saya masih menyakini, sebuah organisasi/komunitas akan tetap eksis, jika ada kegiatan atau proyek. Kegiatan juga bisa menjadi ajang mempererat ikatan kerjasama dan emosi antara eksponen atau anggota komunitas. Atas dasar pemahaman yang demikian, saya meloby ke Ibu Sugiarti, agar perpustakaan mengadakan Bedah Buku. Saya yakinkan ke beliau, perpustakaan cukup menyediakan tempat, sound symtem dan kursi, lainnya akan ditanggung oleh FLP. Setelah agak ragu, akhirnya beliau berhasil saya yakinkan.

Saya segera meminta teman-teman FLP Kota Magelang berkumpul. Saya wacanakan tentang rencana Bedah Buku yang telah disetujui pihak perpustakaan, karena akan bertempat di perpustakaan. Semua diam. Tanda setujukah? Tidak! Mereka bingung. Karena usulan saya itu adalah betul-batul hal baru. Mereka bingung harus mulai dari mana. Bagaimana caranya mencari buku yang akan dibedah, menghubungi penulisnya, menggaet sponsor, mencari pembicara kedua (pembedah), hingga konsep acaranya seperti apa.

Demi mendapati suasana beku tersebut, pertemuan itu saya gunakan secara khusus untuk memberikan pengetahuan, informasi, dan strategi mengadakan bedah buku. Tak lupa memberikan contoh proposal kegiatan bedah buku yang bisa mereka copas dan modifikasi. ”Untuk saat ini, saya nanti yang akan menanggung honorarium pembicara kedua, menghubungi penerbit sekaligus mengatur teknis kedatangan penulisnya.” Ucap saya. ”Teman-teman hanya bertanggungjawab mempersiapkan tempat acara, undangan, dan publikasi.” Tambah saya. ”Niatkan acara ini sebagai sarana belajar mengorganisasi kegiatan, membuat jaringan, dan meningkatkan kapasitas FLP Kota Magelang.” Pungkas saya.

Akhirnya mereka setuju. Buku yang dibedah berjudul Dunia Tanpa Sekolah. Bertempat di panggung baca perpustakaan Kota Magelang. Acara berlangsung dengan sukses—paling kurang untuk ukuran pemula. Panitia sampai kehabisan kursi. Saat sesi tanya jawab pun, banyak guru dan siswa yang bertanya. Dari sini, mulai timbul rasa percaya diri dari para anggota FLP Kota Magelang. Saya katakan kepada mereka, saat menghelat acara, apapun termasuk bedah buku jangan pernah hanya menjadi penonton, atau panitia tanpa ikut berpartisipasi mengisi acara. Maka saat bedah DTS, mulai dari pembawa acara, moderator, pengisi dramatic reading, hingga pembacaan puisi saya harapkan itu semua dilakukan oleh para panitia (FLP Kota Magelang). Dan apa yang saya sarankan mereka jalankan.


DTS menjadi buku perdana yang dibedah di perpustakaan Kota Magelang--dengan konsep baru.

Tidak hanya berhenti di situ, untuk kali kedua, saya wacanakan ulang tentang bedah buku. Tapi kali ini lebih besar. Tempatnya pun tidak di dalam lingkungan perpustakaan, tapi di luar. Kemasannya juga agak lain dengan konsep pertama bedah buku DTS. Konsep bedah buku kedua saya beri tajuk: ZIARAH DIPANEGARA.

Bangsa besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya. Tapi bukan berarti generasi sekarang harus terus mengelus-elus hingga mengkilat sejarah masa lalu, bukan itu. Jauh lebih penting adalah menjadikan sejarah itu sebagai cermin diri. Sehingga kita bisa melihat diri lebih dekat dan dalam. Mengukur diri sejauh mana karir peradaban yang sudah kita capai. Pada titik itu kebijakan hidup akan hadir. Kebijakan yang dibentuk bukan dari kepingan-kepingan masa lalu, namun tanggung jawab kita atas masa depan

Ada yang mengatakan apa yang terjadi di bumi ini tidak ada sesuatu yang baru—karena jelujur kisah kehidupan sering kali berulang—sampai dengan seseorang bisa bersyukur atas apa-apa yang sudah diperoleh. Maka menghormati jasa para pahlawan sebenarnya adalah bagian dari rasa syukur itu. Tentu saja tidak sampai di situ, tapi perjalanan harus dilanjutkan dengan berbagai macam bentuk aktivisme yang memberi kemanfatan kepada khalayak.

Adalah penting mencari cermin diri di tengah pikuk kehidupan yang tidak banyak memberikan kesempatan melakukan jeda, kontemplasi. Maka “Ziarah Dipanegara” sebenarnya bagian dari upaya menciptakan ruang publik untuk bersama-sama melakukan perenungan atas karir kemanusiaan masing-masing diri.

Ziarah Dipanegara saya rencanakan berisi bedah dan diskusi novel Glonggong karya Junaedi Setiyono; dramatic reading penggalan isi novel glonggong; aksi teatrikal penangkapan diponegoro; pembacaan puisi diponegoro karya chairil anwar oleh pelajar sma; ziarah museum diponegoro; bedah lukisan pieneman dan raden saleh tentang peristiwa penangkapan diponegoro. Novel Glonggong adalah novel yang latar belakang kejadian perang Depangera, awal hingga akhir. Novel tersebut diterbitkan oleh Serambi. Merupakan novel pemenang sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006.

Yang menarik dari bedah buku kali ini adalah, membedah novel tentang peristiwa penangkapan Dipanegara, bertempat di serambi eks kediaman residen Magelang, tempat pangeran dipanegara ditangkap yang kini sebagian ruangannya digunakan sebagai Museum Dipanegara— berlatar persis lukisan pieneman dan raden saleh tentang peristiwa penangkapan diponegoro, dan berlangsung pada tanggal 28 Maret 2008, bertepatan dengan tanggal penangkapan Dipanegara, 178 tahun lampau.


Para pelajar, guru, seniman, dan masyarakat umum memenuhi Ziarah Dipanegara


Usai bedah buku, para peserta masuk ke ruang yang menyimpan benda-benda bersejarah saat penangkapan Pangeran Dipanegara. Pria berpeci adalah Junaedi Setiyono, penulis novel Glonggong.

Meskipun acara berjalan tidak sepenuhnya sesuai skenario, tapi secara umum berhasil memberikan wacana sanding kepada publik Magelang. Bahwa acara bedah buku yang identik dengan keseriusan ternyata dapat disandingkan dengan wisata sejarah yang dekat dengan kesan pendidikan dan keriangan. Tidak kurang 300 peserta memenuhi tempat duduk yang telah disediakan panitia.

----------------------
Menjelang waktu ashar, Batang 23/1/2011
ami
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger