Home » » KBT Unissula: Dari Tatap Muka ke Dunia Maya

KBT Unissula: Dari Tatap Muka ke Dunia Maya

Written By Agus M. Irkham on 18 Apr 2011 | 19:02




:: agus m. irkham

Salah satu kelemahan dari pelatihan penulis adalah pada tindak lanjut atau follow up. Saat pelatihan berlangsung, para peserta begitu bersemangat. Namun begitu pelatihan selesai. Satu, dua hari, sepekan. Menulis kembali menjadi aktivitas yang paling sulit dilakukan. Tidak hanya secara teknis, tapi juga soal waktu. Oleh karena itu, efektifitas pelatihan menulis tatap muka yang hanya dua-tiga jam, atau satu hari sekalipun masih sangat rendah. Efektif atau tidak dapat dilihat dari seberapa besar suatu pelatihan mampu menghasilkan alumni yang berhasil menulis, minimal satu tulisan utuh. Dan diterbitkan. Satu tulisan itu bisa berupa buku, cerpen, atau pun esei. Di luar itu, para alumni pelatihan tetap bersemangat menulis. Tidak mogok di tengah jalan.

Lantas muncul konsep baru, yaitu pelatihan tatap muka yang dilakukan lebih dari satu kali pertemuan. Misalnya selama sebulan dengan frekuensi pertemuannya sepekan satu kali. Model pelatihan menulis demikian biasa disebut dengan kelas penulisan. Dibanding pelatihan tatap muka yang hanya sehari, kelas menulis lebih efektif. Karena memiliki frekuensi lebih banyak. Dan durasi atau masa pembelajarannya pun relatif lama. Hanya saja, salah satu kelemahan model ini adalah, biayanya relatif mahal. Dan proses saling belajar antar peserta juga kurang. Karena kecenderungan penulis (pemula), merasa malu jika tulisannya diperlihatkan sama orang lain. Terlebih jika dibedah (dibicarakan).

Migrasi wadah
Ada lagi satu pendekatan pelatihan menulis. Yaitu menggabungkan antara tatap muka dengan sistem kelas. Namun sistem kelas dijalankan tidak dengan tatap muka, tapi online. Tentang ini, saya ada pengalaman tersendiri. Kebetulan dua pekan lalu (Jumat, 1 April 2011) saya diminta mengisi pelatihan menulis esei di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang. Model pelatihannya saya upayakan seasyik mungkin, kontekstual, memberdayakan, sekaligus memiliki manfaat filosofis dan praktis.

Sekitar sepekan sebelum hari H pelaksanaan pelatihan. Para peserta yang telah terseleksi sebelumnya, saya minta membuat satu esei dengan tema Internalisasi BudAI (Budaya Akademik Islam) di Unissula. Begitu esei terkumpul, saya cetak (print) dalam langsung saya bengkeli. Caranya? Saya langsung membubuhi komentar di kertas esei mereka.

Pelatihan menulis tatap muka dilakukan di Perpustakaan Pusat Unissula. Diikuti sekitar 16 mahasiswa. Meliputi mahasiswa Fakultas Bahasa, Kedokteran, Ekonomi, dan Agama Islam. Berlangsung mulai pukul 9 pagi hingga 3 sore. Materi pelatihan saya bagi menjadi tiga ranah/sesi. Yaitu meliputi aspek afeksi atau motivasi menulis. Kemudian aspek kognisi atau pengetahuan dan informasi seputar penulisan (esei). Dan yang terakhir adalah simulasi atau pembengkelan karya.

Teknis simulasi adalah dengan merevisi tulisan yang sepekan sebelumnya mereka kirimkan ke saya. Dari mana mereka mendapat bahan revisi? Selain berdasarkan esei yang sudah saya corat-coret, adalah dari materi yang saya berikan saat pelatihan di hari itu. Simulasi plus pembengkelan karya ini masih tetap berlangsung di Pepustakaan Pusat Unissula. Hanya saja, kalau pas materi pelatihan bertempat di plaza utama, sekarang bergeser. Menepi sedikit. Yaitu di antara rak buku yang berjajar. Dengan meja yang ditata sedemikian rupa, dan kursi ditata dengan berhadap-hadapan, simulasi berjalan sangat menggairahkan.



Saat simulasi saya berseloroh. ”Kalau Anda ingin pintar, tolong nanti tidurnya di dekat rak buku.” Lho kok bisa pak? Tanya salah satu peserta. ”Iya, kalau tidurnya di dekat rak buku, nanti mimpinya akan lain: seminar, pelatihan, sarasehan, studium general. Jadi saat terjaga, Anda akan langsung (merasa) lebih lebih cerdas.”

Seloroh saya dijawab dengan tawa semua peserta. Lumayan, bisa jadi obat kantuk. Batin saya.

Singkat cerita tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, yang artinya pelatihan harus sudah diakhiri. Saya pun meminta pada seluruh peserta untuk menyelesaikan proses revisi esei-nya masing-masing. Dan paling telat Ahad sore (3 April) harus sudah dikirim ke group di Facebook. Secara khusus, saya membuat akun group di FB untuk melanjutkan proses pembengkelan esei—bagian dari tindak lanjut pelatihan. Group itu saya beri nama Klinik Baca Tulis Unissula.

Kenapa harus pakai FB?

Pengalaman saya membuktikan pelatihan menulis online melalui media FB jauh lebih efektif ketimbang melalui email. Kebetulan saya mengasuh pula pelatihan menulis online di DUNIA KATA (nama group yang saya buat di FB). Tentang DUNIA KATA ini insyaAllah lain waktu akan saya ceritakan ke Anda.

Unsur inteaktif, interaksi, dan intekoneksitas antar peserta menjadi pesona tersendiri buat para peserta. Mereka tinggal posting tulisan dokumen KBT Unissula. Dan saya langsung memberikan komentar di lembar komentar. Di antara peserta bisa membaca tulisan dan komentar saya. Sehingga dari sini, mereka bisa saling belajar. Melihat dan mengukur diri, sudah sejauh mana perkembangan kemampuan menulis yang dimiliki orang lain dan diri sendiri. Dengan begitu mereka bisa saling memotivasi. Saya juga tidak perlu mengulang-ulang. Karena pola pembengkelannya sama.

Online di rumah sakit
Saya berusaha mendisiplinkan diri untuk secepat mungkin memberikan komentar (pembengkelan) tulisan yang mereka kirim. Proses pembengkelan meliputi judul, lead pembuka, pilihan kata, keterpaduan antar kalimat dan paragraf, serta teknik pemaparan isi dan penutup esei. Di luar itu, juga menyangkut pemilihan angle (sudut pandang) dari suatu ide tulisan dan akurasi cara dan penulisan huruf.



Pernah, suatu kali, saya harus mengantar mertua adik saya operasi katarak di Eye Center RSI Sultan Agung Semarang. Saat menunggu operasi selesai, saya sempatkan untuk online. Beruntung di ruang tunggu ada satu unit komputer yang online. Meskipun harus berdiri terus, karena tidak ada kursi, saya langsung masuk ke kelas KBT Unissula, dan memberikan pembengkelan.

Proses pembengkelan berlangsung selama dua pekan (4 s.d 16 April). Sampai dengan tulisan saya anggap sudah cukup layak jika akan di-publish, rerata harus merevisi hingga 4 (empat) kali. Alhamdulilah semua antusias menjalani proses pembengkelan esei via dunia maya ini. Bahkan ada beberapa nama yang saya catat, memiliki kemampuan menulis di atas rata-rata. Artinya jika mau ”digosok” lagi, saya yakin beberapa nama ini ke depan akan menjadi penulis (buku) produktif. Dan itu mereka capai saat masih menyandang status sebagai mahasiswa.

Mau dikemanakan esei-esei para peserta itu? Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh panitia (Bagian Kemahasiswaa), kumpulan esei tersebut akan diteruskan ke Bagian Peradaban (Rektorat) untuk dilihat seberapa besar layak tidaknya diterbitkan. Andai jadi diterbitkan jadi satu naskah buku utuh, bayangan saya judulnya seperti ini: Selama Datang di Kampus Kasih Sayang—Himpunan Testimoni Penerapan BudAI di Unissula.

Unissula menulis
Ada ada satu cerita lagi. Ini saya dapatkan sebelum pelatihan esei berlangsung. Kebetulan saya sempat mengobrol sebentar dengan Bapak Seno, selaku Kepala Bagian Kemahasiswaan Unissula sekaligus ketua panitia pelatihan esei.

Beliau cerita soal susahnya mempertahankan kontinuitas semangat mahasiswa untuk menekuni aktivitas membaca dan menulis. Padahal sudah difasilitasi. Saat itu saya katakan ke beliau, ada beberapa sebab, mengapa para mahasiswa tidak bersemangat. Pertama karena tidak ada komunitas yang menghimpun mereka. Kedua, jika sudah ada komunitas, komunitas tersebut tidak dijalankan secara optimal. Optimalisasi bisa didekati dengan kopdar alias kopi darat yang bersifat reguler, terus harus ada even, program dan proyek-proyek yang harus mereka kerjakan. Karena dengan beraktivitaslah, sebuah komunitas akan hidup.

Untuk itu, setiap pelatihan penulisan yang digelar seyogianya ada tindak lanjut. Ini bertujuan selain mengikat para peserta-menggabung dalam satu komunitas, di luar itu, tindak lanjut bisa menjadi sarana merawat dan menajamkan kemampuan menulis mereka.

Dalam konteks pelatihan esei, bentuk perawatannya adalah pembengkelan karya secara online, dan ikhtiar mengemas tulisan-tulisan mereka menjadi satu naskah untuk untuk kemudian akan diterbitkan menjadi satu buku utuh.

Bentuk perawatannya lainnya, adalah dengan mengukuhkan alumni pelatihan esei dalam satu komunitas. Disusul dengan program selanjutnya, misalnya membuat E-Magz (elektronic magazine). Jadi semacam majalah atau terbitan tingkat universitas yang diisi dan dikelola murni oleh para mahasiswa. E-Magz ini merupakan salah satu bentuk terjemahan kontekstual dari kehendak Unissula untuk go mondial. Karena E-Magz bisa diterbitkan dalam tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Indonesia. Bentuknya kemasannya yang memungkinkan bisa diakses melalui HP dan ipad. Saya kira support teknologi dan teknisi di Unissula sudah bisa meng-create "mimpi" tersebut.

Adapun hal-hal teknis serta konsepsi tentang E-Magz ini, saya usulkan untuk ketemuan kembali dengan para peserta kemarin--yang nanti saya juga hadir untuk memompakan semangat, inspirasi, dan pengetahuan tentang managemen media. Termasuk mengawal penerbitkan E-Magz.

Setelah itu bisa dilanjutkan dengan pelatihan penulisan buku (utuh). Sesi pelatihan ini bisa diberikan secara periodik (bisa sepekan atau dua pekan sekali). Yang mengikuti adalah (terutama) para peserta esei kemarin. Harapannya ke depan, dari pihak rektorat (Bagian Kemahasiswaan dan Peradaban Islam) bisa mengadakan kompetisi penulisan buku, atau bisa juga pemberian beasiswa penulisan buku. Para mahasiswa diberi kesempatan mengiriman gagasan penulisan buku, berupa kerangka atau outline penulisan buku, sedikit abstraksi tentang isi buku, sasaran pembaca, dan seberapa penting tema (buku) tersebut ditulis/diangkat.

Dari seluruh pengirim, misalnya dipilih 5 mahasiswa yang berhak mendapatkan beasiswa penulisan buku. Para pemenang ini berhak mendapatkan uang pembinaan yang dapat digunakan untuk membiayai proses penulisan buku, sekaligus fasilitas khusus lainnya. Misalnya kartu perpustakaan antar perguruan tinggi dan sebagainya. Proses penulisan dibatasi, taruhlah maksimal 6 bulan. Jika skenario ini berhasil, paling kurang dalam setahun, Unissula bisa meluncurkan 5 buku utuh yang ditulis oleh para mahasiswanya. Sebuah pencapaian yang saya kira, universitas lain di Indonesia belum ada yang bisa menggapainya.

Agar sistematis dan terukur KBT Unissula nantinya bisa membuat semacam program kerja selama satu atau dua semester. Intinya program kerja tersebut yang akan menjamin mereka tetap eksis dan memberikan value (nilai tambah) buat Unissula. Berarti KBT Unissula sepertinya harus menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa. Sehingga landasan yuridisnya lebih kuat.

KBT Unissula juga bisa menjadi salah satu bentuk dari program sahabat perpustakaan (Friends of Library). Yaitu program yang digagas untuk memasarkan perpustakaan Unissula.

--------------------------
Batang, 19/4/2011
Jelang waktu dhuha
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger