Home » » TBM Generasi Ketiga

TBM Generasi Ketiga

Written By Agus M. Irkham on 13 Apr 2011 | 15:48



:: agus m. irkham

”Yang utama sebenarnya bukan membaca, melainkan mengerti makna sebuah buku kemudian didayagunakan untuk satu langkah karsa dan karya nyata produktif dan konstruktif.”

Jaya Suprana, Buku: Sebuah Kontemplasi (2007)


Paling kurang ada dua lema atau entry yang telebih dahulu harus saya bicarakan. Sebelum bercakap lebih jauh tentang tema implementasi pendekatan empati mitra pada pengembangan budaya baca. Dua masukan tersebut adalah budaya baca dan empati mitra.

Baiklah, saya mulai terlebih dahulu dengan entry pertama: budaya baca. Dalam konteks tujuan kampanye membaca (dan menulis), frase budaya baca memiliki arti yang lebih tinggi. Jika dibandingkan dengan dua frase lainnya, yakni kemampuan membaca, dan minat membaca. Kemampuan membaca berpusat pada ikhtiar membuat orang yang sebelumnya buta aksara menjadi melek aksara. Lazim disebut dengan keaksaraan teknis. Pamrihnya masyarakat memiliki kemampuan membaca secara alfabetis (literasi teknis). Ini menjadi tahapan pertama, dasar bagi kampanye membaca selanjutnya.

Generasi pertama
Kaitannya dengan peran Taman Bacaan Masyarakat (TBM), program gelombang pertama kampanye membaca ini adalah berupa aktivitas membaca, meminjam, dan mengembalikan buku. Itu saja. Untuk memudahkan pengidentifikasian, TBM berciri demikian bolehlah kita sebut sebagai TBM generasi pertama.

Sampai dengan saat ini saya belum mengantongi data sahih tentang seberapa besar TBM generasi pertama ini. Tapi dugaan sementara saya, TBM jenis ini menjadi irisan terbesar.

Itu kemampuan membaca. Bagaimana dengan minat membaca?

Minat membaca berarti masyarakat yang telah mampu membaca secara teknis, memiliki niat pula untuk mempraktikkan kemampuannya itu. Rasa makna minat baca bersifat datar, sekadar menggambarkan tingkat ketertarikan seseorang (bangsa) terhadap teks. Tidak harus buku. Yang penting teks, medianya bisa macam-macam: buku, koran, majalah, dan lain sebagainya.

Bidikan gerakan peningkatan minat baca lebih tertuju pada dorongan atau motivasi membaca. Jadi masih bersifat potensi. Maka varian kampanye yang dilancarkan pada fase ini adalah mengentalkan manfaat kegiatan membaca. Pada titik ini, muncul konsep keaksaraan (literasi) fungsional.

Keaksaraan fungsional dapat dimengerti sebagai kemampuan seseorang mengenal aksara (huruf) dan memanfaatkannya untuk meningkatkan perolehan materi atau pendapatan (ekonomi). Dalam bingkai literasi fungsional pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) itu belum cukup. Masyarakat juga harus diberi bekal tentang melakukan sesuatu (procedural knowledge).

Mengapa harus membaca? Ada (rahasia) apa di balik sebuah buku atau teks? Seberapa besar sumbangan aktivitas membaca buat perbaikan hidup (terutama ekonomi) pembacanya? Adalah beberapa pertanyaan filosofis yang menjadi titik pijak pembuatan program aksi peningkatan minat baca. Jadi lebih berpusat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kognitif dan afektif.

Buku sebagai rujukan dan mentor
Jika pengertian minat baca dipertalikan dengan aktivitas dan keberadaan TBM, maka pada tahapan kedua kampanye ini akan mendorong TBM untuk memasuki generasi kedua. Wujud aktual kegiatannya adalah berupa program turunan perbukuan. Jika buku kita tandai dengan simbol huruf A maka program TBM generasi kedua adalah A’ (A aksen). Bentuknya mulai dari pelatihan kepenulisan, jumpa penulis, penandatangan buku, peluncuran buku, diskusi minat baca, bedah buku, serta keaksaraan wirausaha. Yaitu berupa kegiatan usaha produktif (berekonomi) yang menjadikan buku (teks) sebagai rujukan sekaligus mentor.

Untuk lebih dapat memberikan gambaran tentang TBM generasi kedua ini, saya akan memberikan beberapa contoh nyata. Beberapa di antaranya adalah TBM Bergema, TBM Warung Pasinaon, dan TBM Guyub.

Bergema singkatan dari Bersama geliat masyarakat. Bergema berada di desa Patak Banteng, kecamatan Kejajar, sekitar 27 kilometer sebelah utara kota Wonosobo. Atau hanya sekitar 2 kilometer sebelum komplek Candi Dieng. Terletak persis di lembah Dieng.

Strategi gerakan minat baca yang dilancarkan Bergema adalah dengan menyediakan bahan bacaan yang dapat dijadikan rujukan bertani dan berkebun. Selain itu bekerjasama dengan gabungan kelompok tani, secara periodik Bergema diberi kepercayaan menggulirkan sejumlah dana pinjaman mikro. Cara ini telah berhasil mengikis pelan-pelan praktik ijon, serta menjauhkan petani dari para lintah darat (rentenir).

Setelah Bergema, ada TBM Warung Pasinaon. Pasinaon bermakna tempat belajar. TBM ini berlokasi di Bergaslor, kecamatan Bergas, kabupaten Semarang. Pasinaon menjadikan, terutama, ibu-ibu paruh baya sebagai sasaran utama. Mereka membuat media bernama Koran Pasinaon. Koran Pasinaon terbit sebulan sekali. Sampai dengan edisi 22 April - 21 Mei 2010 ketebalannya sudah mencapai 20 halaman. Padahal di awal terbitnya, sekitar awal 2010, hanya 10 halaman.

Melalui Koran Pasinaon, secara tidak langsung TBM Warung Pasinaon mengabarkan kepada publik luas bahwa salah satu cara untuk mempertahankan sekaligus mengasah kemampuan membaca adalah dengan menulis. Dalam konteks pendidikan keaksaraan, TBM Pasinoan menjadi sarana pembelajaran dan hiburan masyarakat, serta sarana untuk memperoleh dan memproduksi informasi.

Selanjutnya adalah TBM Guyub. Berbeda dengan Bergema dan Pasinoan, TBM yang beralamat di jalan raya Bebengan 221 Boja, Kendal ini memusatkan aktivitasnya pada pendarasan karya sastra. Sasaran pembacanya pun kebanyakan adalah para remaja. Meskipun tidak sedikit pula yang datang ke Guyub adalah mereka yang sudah sepuh dan masih anak-anak.

Meskipun Guyub berlokasi di desa, koleksi bacaan yang dimiliki tak kalah dengan isi koleksi perpustakaan perguruan tinggi. Orhan Pamuk, Satanic Verses anggitan Salman Rushdie, bertumpul buku karya Franz Kafka, dan Garcia Marquez dapat ditemui di Guyub. Daftar karya-karya kelas dunia itu dapat diperpanjang lagi.

Apresiasi karya sastra berupa dramatic reading, bedah buku, pelatihan menulis (puisi) dan pementasan menjadi beberapa strategi Guyub merawat minat baca para remaja. Dengan begitu kegiatan para remaja tidak melulu datang, baca, pinjam, dan mengembalikan buku.

Membaca sebagai gaya hidup
Tujuan ketiga kampanye membaca adalah agar kegiatan membaca (dan menulis) menjadi bagian dari jelujur waktu hidup sehari-hari. Membaca menjadi gaya hidup. Inilah yang disebut dengan budaya baca. Aktivitas membaca sudah menjadi budaya. Menjadi bagian yang lekat dan mengikat kehidupan sehari-hari seseorang. Pendek kata, untuk seseorang yang sudah berbudaya baca, buatnya tiada hari tanpa membaca! Dan rujukan teks yang dibaca biasanya buku.

Nah, karena budaya baca sangat bertalian erat dengan gaya hidup maka modus kampanyenya pun harus menyesuaikan kecenderungan adab keseharian masyarakat. Berbicara tentang gaya hidup, kita tidak bisa lagi menutup mata: bahwa kini ikon aktivitas budaya populer telah menjadi ritual keseharian sebagian besar orang.

Tidak saja menyasar masyarakat golongan tengah dan atas, tapi juga bawah. Deretan ritual paling menonjol adalah: menonton film, gadget, mendengarkan musik, belanja, berjejaring sosial (komunitas, kolaborasi), makan enak (kuliner), animasi, berkerumun, fotografi, nge-game (online), penjelajahan (adventure), nginggris, isu-isu lingkungan (go green), serta plesir (traveling). Dan biasanya dalam pandangan publik (awam), budaya pop ini dimengerti sebagai sesuatu yang secara absolut bertentangan dengan budaya baca.

Dalam perspektif gelombang ketiga—tujuan gerakan membaca—TBM generasi ketiga, keberaksaraan (literasi) tidak semata-mata mencakup persoalan membaca dan menulis (performative), namun bergandengan pula dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, teknologi (fuctional), serta pendidikan, sejarah, dan gaya hidup (informational-epistic).

Jika buku kita tandai dengan huruf A maka program TBM generasi ketiga adalah A’’ (A aksen dua). Yaitu berupa program kegiatan yang secara langsung tidak ada kaitannya dengan buku atau kegiatan membaca. Tapi sejatinya berhubungan erat. Sekadar contoh—sebagai mana yang terjadi pada beberapa komunitas literasi: Komunitas Historia Indonesia, komunitas IndoHogwarts, FotoStereo-ID, Indo-Startrek, komunitas Jelajah Budaya, ReadingBugs, dan Komunitas Jelajah Budaya.

Bersifat pegas
TBM tidak berada dalam ruang vakum udara. Ia senantiasa berkait jalin dengan kenyataan kehidupan. Oleh karenanya ia musti bersifat pegas pula terhadap perubahan zaman. Salah satu bentuk kelenturan itu adalah kesediaan dan kesigapan TBM untuk mengadopsi pola dan modus ikon budaya pop ke dalam aktivitas program membaca. TBM mau tidak mau, suka tak suka musti masuk ke fase terakhir kampanye membaca—TBM generasi ketiga.

Empati mitra
Sekarang saya ajak Anda memahami lema kedua: empati mitra.
Secara mudah empati mitra dapat dimaknai sebagai strategi komunitas baca (TBM) dalam melaksanakan agenda program kegiatannya secara berkelanjutan, guna mencapai kondisi ideal dengan melibatkan pihak di luar dirinya.

Jadi dalam tilikan empati mitra, kondisi yang dimiliki oleh TBM bukan dianggap sebagai bentuk kekurangan, tapi kelebihan (prestasi). Berbeda dengan pendekatan SWOT—seorang teman menyederhanakan dengan istilah ”kekepan” (kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman)—yang menganggap hidup adalah masalah, empati mitra mereken hidup sebagai nikmat (limpah, berkah). Fokus perhatiannya adalah pada setengah penuh (optimisme), bukan setengah kosong (pesimisme).

Pendekatan empati mitra menganggap TBM lain, lembaga sosial, institusi bisnis maupun pribadi-pribadi yang ada di luar diri TBM menjadi bagian yang turut pula akan membantu memuluskan tujuan TBM. Jadi antar TBM tidak mengenal persaingan. Sebaliknya saling melengkapi. Tidak ada TBM yang melewati persaingan untuk memperoleh identitasnya, ungkap Goenawan Mohammad dengan sedikit revisi.

Langkah teknis empati mitra terdiri atas empat tahapan: 4i. Yaitu informasi, impian, ikhtiar, dan ihsan. Kondisi senyatanya yang dimiliki TBM dianggap sebagai bentuk informasi. Tidak disimpulkan sebagai kekurangan atau cacat yang justru bisa membuat ciut hati. Informasi tersebut digunakan sebagai pijakan untuk menetapkan impian (imaji). Yaitu capaian ideal yang diharapkan.

Ibarat daratan, antara informasi dan impian itu dipisahkan oleh sungai, maka untuk mempertemukan keduanya perlu jembatan. Dalam amatan empati mitra, jembatan tersebut disebut sebagai ikhtiar. Pada langkah yang ketiga inilah, TBM dituntut untuk berani dan lincah menentukan pihak-pihak mana saja yang dapat dijadikan mitra untuk mewujudkan impian itu. Juga bermakna ketekunan TBM mencari titik temu dengan stakeholder dan shareholder yang berbeda itu serta mengeksekusinya melalui beragam inisiatif program sinergis.

Sedangkan tahapan keempat, ihsan, yaitu sebuah kondisi (hasil) yang mengandaikan adanya pertumbuhan antara aktivis (relawan, aktor, pelaku) dengan lembaga yang menaunginya—pada tiap-tiap pihak yang bermitra. Keduanya berkembang berbarengan. Lahir, menjadi sesuatu yang sama sekali baru, jika dibandingkan dengan sebelum pendekatan empati mitra diterapkan. Jadi antara personal building dengan capacity building antar lembaga yang bermitra mekar bersamaan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana implementasi empati mitra jika digunakan sebagai pendekatan untuk melakukan pengembangan budaya baca (TBM) yang sudah memasuki gelombang ketiga tersebut? Baik untuk penguatan internal TBM itu sendiri maupun dalam bentuk program keluar (eksternal)—kemasan program literasi.

Salah satu bentuk pengejawantahannya adalah berupa program residensi relawan—meminjam istilah yang diberikan oleh aktivis TBM Rumah Dunia, Firman Venayaksa. Sesama TBM bisa saling belajar melalui program silang satu dua pengelola. Waktunya bisa disepakati. Sebulan, dua bulan, atau lebih dari itu.

Dari program residensi relawan ini, keduanya bisa saling bertukar informasi sekaligus melihat secara langsung bagaimana suatu TBM dikelola. Baik menyangkut manajemen relawan, sistem rekrutmen, strategi pendanaan, maupun kontinuitas program. Selain itu dapat juga saling bertukar data pihak ketiga (stakeholder dan shareholder) yang dimiliki masing-masing TBM dan telah terjalin kerjasama.

Masih tentang residensi relawan ini, sarana lain yang bisa digunakan sebagai wadah pelaksanaan pendekatan empati mitra dalam konteks pengembangan budaya baca adalah program peminjaman relawan. Layaknya peminjaman pemain dalam olahraga sepakbola.

Tujuannya, melalui relawan yang dipinjam ini, kapasitas TBM yang dipinjami meningkat. Baik lembaga, maupun pengelolanya. Tentu ”pemain” pinjaman tersebut harus memiliki kualifikasi kompetensi yang mumpuni. Baik dalam ranah personal, sosial, manajerial, maupun kewirausahaan.

Bentuk penerapan berikutnya adalah berkaitan dengan pengelolaan dan penambahan koleksi, serta strategi pendanaan dan sistem pelaporan. TBM bisa bermitra dengan institusi mapan yang memiliki kompetensi tinggi di bidang itu. Misalnya perpustakaan daerah (provinsi, kabupaten dan kota), (asosiasi) penerbit buku, kantor akuntan publik, dan lembaga donor (yayasan filantropi). Bentuknya bisa berupa anjangsana (presentasi), pelatihan (workshop), maupun pendampingan.

Lainnya?

Sesama TBM bisa saling bertukar program, berkolaborasi, bahkan membuat helatan bersama yang bersifat masif. Pertukaran program bertujuan untuk memberikan variasi program dalam suatu TBM. Sehingga akan selalu ada kebaruan. Gambaran teknisnya seperti ini. TBM x mengundang TBM y untuk menggelar acara di TBM x. Di lain waktu, TBM x yang menggelar acara di TBM y. Kedua TBM tersebut hendaknya memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga pamrih kesan kebaruan program dapat terlunasi.

Bentuk-bentuk lain rekayasa pendekatan empati mitra untuk mengembangkan budaya baca dapat digagas sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan imaji atau impian masing-masing TBM. Serta seberapa luas jejaring relasi yang dimiliki.♦

--------------------
Esei ini dirakit sebagai bahan stimulasi diskusi pada acara Rembuk Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diprakarsai oleh Kementerian Pendidikan Nasional—Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. Dihelat di Solo, 18 s.d. 21 April 2011.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger