
:: agus m. irkham
Awal Mei 2010 lalu, perpustakaan Kabupaten Temanggung diresmikan. Perpustakaan ini menjadi perpustakaan terbesar di Jawa Tengah. Kabar itu patut diapresiasi. Perpustakaan Kabupaten Temanggung dapat dipandang sebagai bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap upaya mencerdaskan masyarakat. Cerdas melalui aktivitas membaca buku. Lalu lintas informasi yang dibutuhkan masyarakat pun akan dengan mudah didapat.
Berdasarkan hasil penelitian di banyak negara Afrika yang dilakukan UNESCO, kecerdasan yang identik dengan kegemaran membaca serta kelincahan mencari dan memanfaatkan informasi dapat meningkatkan kualitas hidup. Terutama berupa peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Dengan begitu dalam konteks pembangunan di Kabupaten Temanggung khususnya, dan di Propinsi Jawa Tengah pada umumnya, revitalisasi perpustakaan Kartini dapat menjadi sarana mengentaskan kemiskinan dan ketebelakangan sosial. Menariknya, proses pengentasan itu tidak dengan memberikan ikan (sejumlah dana segar), tapi berupa kail. Berupa pengetahuan melakukan sesuatu (procedural knowledge) melalui buku dan bahan bacaan lainnya.
Tapi fasilitas lengkap, biaya operasional besar tidak akan banyak membantu kemajuan perpustakaan jika tidak disertai dengan kualitas layanan. Dan ini ditentukan oleh pustakawan dan staf yang bekerja di perpustakaan tersebut.
Kualitas itu menyangkut dua hal. Pertama kemampuan teknis (hard skill), dan yang kedua kemampuan lunak (soft skill). Kemampuan keras, yang paling baku adalah melakukan katalogisasi buku, serta menyusun sistem pelayanan (sirkulasi) yang efisien sekaligus efektif.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, proses katalogisasi dan sistem sirkulasi ini lambat laun sudah mulai diambil alih oleh komputer. Lazim disebut sebagai SOP atau sistem otomasi perpustakaan. Keterampilan keras lainnya adalah kemampuan menulis. Era talk less do more (sedikit bicara banyak bekerja) sudah berakhir. Berganti ke kurun talk more do more (banyak bicara, banyak bekerja).
Setiap prestasi, dan pencapaian harus diceritakan ke publik luas. Jangan disimpan sendiri. Atau hanya berhenti pada kumpulan album foto kegiatan yang bisu. Bentuk penceritaan itu adalah dengan menulis. Baik di koran, blog, mailing list, maupun website. Termasuk di situs jejaring sosial.
Reportase itu jangan dianggap sebagai bentuk kesombongan, sebaliknya menjadi bagian dari upaya untuk memberi penghargaan terhadap prestasi diri. Serta untuk lebih memperluas cakupan inspirasi yang dapat dipetik dari kegiatan atau prestasi tersebut. Sehingga informasi yang berseliweran—yang dikonsumsi masyarakat—tidak melulu tentang kriminalitas, gosip artis, tapi juga tentang perkembangan budaya membaca (dan menulis). Semangat dan keseriusan pengelola pun pada akhirnya akan turut pula terbaca oleh masyarakat. Dan harapannya masyarakat akan memberikan dorongan sekaligus ”advokasi” kepada perpustakaan.
Sedangkan kemampuan lunak, yang paling penting adalah kemampuan berkomunikasi dan membangun jaringan dengan pemustaka (pengunjung perpustakaan). Baik pribadi, institusi, maupun kelompok hobi dan komunitas literasi. Ini penting, karena ke depan, perpustakaan akan tersegmentasi.
Yang akan lebih banyak memanfaatkan perpustakaan adalah para pemustaka yang identifikasi preferensi bacaannya jelas dan tertentu. Misalnya para pencinta buku filsafat, olahraga, agama, politik, sastra dan seterusnya. Bukan pemustaka yang minat bacaannya tidak terdeskripsikan dengan jelas.
Akibat lanjutannya, para pencinta buku-buku tertentu ini akan membentuk komunitas. Mereka akan ke perpustakaan pada jam dan hari tertentu dan agenda tertentu pula. Tidak hanya membaca, dan meminjam buku, tapi mungkin berdiskusi, bedah buku, mendatangkan penulis atau bisa juga menggelar klinik penulisan. Nah, pengelola perpustakaan harus jeli melihat kecenderungan ini.
Para komunitas pencinta buku tersebut dapat dijadwalkan dan difasilitasi untuk mengisi kegiatan tambahan di perpustakaan (desentralisasi isi layanan). Dengan demikian, perpustakaan akan lebih hidup, dinamis, dan kemanfaatan yang diberikan kepada publik luas akan semakin optimal. Perpusatakaan yang sarat kegiatan juga akan meningkatkan loyalitas pemustaka.
Desentralisasi tidak saja terjadi pada ranah penadbiran (tata kelola) pemerintah. Tapi juga dalam domain layanan publik. Salah satunya perpustakaan. Ikhtiar menaikkan kasta perpustakaan di mata khalayak hanya menjadi tanggung jawab pustakawan dan staf adalah masa lalu. Sudah tidak relevan lagi. Pemustaka juga harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi. Sehingga mereka akan memunyai rasa memiliki.
Akhirnya, semoga kemegahan dan kelengkapan sarana yang dimiliki perpustakaan Kabupaten Temanggung diikuti pula dengan kesiapan para staf dan pemustakanya untuk berani membuka peluang selebar-lebarnya kepada publik untuk bersama-sama memanfaatkan dan memaksimalkan sarana dan fasilitas yang ada. Termasuk kesediaan untuk mendesentralisasikan isi layanan. Yang semula dari pengelola untuk pemustaka. Menjadi dari pemustaka (masyarakat) untuk sesama pemustaka (masyarakat). Semoga.
Foto: Wien Muldian
* Versi cetak tulisan ini dapat dibaca di Suara Merdeka (Senin, 27/6/2011).
Post a Comment