Home » » Mabulir, Budaya Baca, dan Kita

Mabulir, Budaya Baca, dan Kita

Written By Agus M. Irkham on 14 Sept 2011 | 12:52


:: agus m. irkham

“Minjami kok buku, mana bisa bikin kenyang. Minjami itu mbok yao uang, kan bisa untuk makan.” Demikian ucap Dauzan Farook menirukan komentar orang-orang ketika pertama kali ditawari pinjaman buku. Mbah Dauzan, demikian ia karib disapa adalah pendiri perpustakaan keliling Mabulir di Kauman, Yogyakarta. Mabulir singkatan dari Majalah Buku Bergilir. Mbah Dauzan, meskipun telah berusia 80 tahun lewat, tetap bersemangat menyebarkan virus membaca. Bahkan hingga hari-hari terakhir sebelum malaikat maut menjemputnya (6/10/2007). Mabulir dijalankan melalui—sesuai dengan namanya—sistem multilevel reading. Sistem itu dipilih lantaran menurutnya minat baca masyarakat kita tergolong rendah, sehingga masih harus disuapi.

Tidak main-main, lebih dari 100 kelompok baca telah ia bentuk. Tiap kelompok baca beranggota 4 - 20 orang. Tiap kelompok mendapat satu kardus buku. Tiap 2 minggu sekali, isi kardus diganti dengan buku yang baru. Tidak ada syarat apapun untuk menjadi anggota kelompok baca perpustakaan Mabulir. Jangankan uang, foto kopi KTP pun tidak. Tak soal jika buku yang ia pinjamkan hilang.


"Mengelola perpustakaan keliling adalah bisnis dengan keuntungan abstrak. Landasannya kepercayaan, sehingga aturannya tidak perlu birokratis. Dagangan Tuhan. Tidak perlu ada KTP atau apa. Sesama manusia saudara, harus bisa dipercaya," ujar mbah Dauzan dalam sebuah perbincangan dengan Ahmad Arif (2004). "Risiko mati saja berani, kok cuma kehilangan buku," tambahnya.

Tak dapat disangkal, mbah Dauzan menjadi sosok yang menginspirasi dunia literasi di Indonesia. Perjuangan tak kenal lelah selama 25 tahun memasarkan budaya membaca mengantarkannya menerima beberapa penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005, Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge, Reksa Pustaka Bhaktitama dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X. Dan pada April 2007 di Jakarta saat perhelatan World Book Day Indonesia, mbah Dauzan mendapat gelar sebagai Pejuang Literasi Indonesia.


Keberadaan Mabulir memahamkan kita pada beberapa kenyataan: pertama, minat baca masyarakat masih rendah. Memang minat baca terkait dengan kesadaran masyarakat terhadap arti penting informasi, sehingga tidak bisa dibanding-bandingkan dengan negara lain. Tapi meskipun begitu, tetap saja secara faktual minat baca masyarakat kita masih rendah.

Beberapa besaran yang dapat dijadikan bukti atas simpulan itu: akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen. Rasio jumlah penduduk dengan surat kabar hanya 1 : 43. Jumlah judul buku sastra yang dibaca siswa SMA setiap tahunnya 0 (nol) judul. Sekolah Dasar yang memiliki perpustakaan hanya sekitar 1 persen, sedangkan SLTP dan SLTA sekitar 54 persen. Dan menurut sebuah survei pada tahun 2003, minat baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-3 dari bawah. Survei yang diprakarsai UNDP itu melibatkan 41 negara.

Tentu, harapan memeroleh kemajuan akan mustahil, selama minat baca masyarakat masih rendah. Terlebih sekarang ini era informasi. Jalan yang memberikan kesempatan melakukan mobilitas vertikal—misalnya dari keluarga pra sejahtera ke agak sejahtera, lantas beralih menuju sejahtera—nyaris semuanya bergayut erat dengan kemampuan keberaksaraan (literasi). Satu diantaranya berupa kegemaran membaca (buku).


Kepergian mbah Dauzan mewasiatkan kepada kita agar tidak berhenti memasarkan budaya baca kepada masyarakat. Terutama masyarakat tingkat akar rumput, yang merupakan irisan terbesar dari struktur bangsa ini.

Kedua, kesadaran masyarakat terhadap manfaat membaca masih rendah. Semuanya masih diukur dengan perolehan ekonomi (uang). Jika dengan membaca tidak mendatangkan materi, ya membaca nanti dulu. Jika ada hasilnya, dan itu berwujud fisik (tangible), dapat dinikmati seketika itu juga, baru mau membaca. Komentar orang yang ditirukan mbah Dauzan di awal tulisan ini bisa menjadi sedikit bukti.

Kondisi ini secara tidak langsung memberikan rekomendasi kepada kita, khususnya para pegiat literasi untuk “membumikan” gerakan membaca. Aktivitas membaca secara langsung harus berhubungan dengan kegiatan keseharian masyarakat. Terutama kegiatan berekonomi. Pada titik ini, memfungsikan taman baca sebagai rumah belajar masyarakat menjadi jalan yang tak dapat ditawar lagi.

Seperti yang telah dilakukan Tobucil & Klabs di Bandung dan Rumah Belajar Bergema di Wonosobo. Keduanya memosisikan buku sebagai tools atau sarana mengembangkan keterampilan, hobi dan profesi anggota/pengunjungnya. Dari mendisain kartu ucapan hingga merajut. Dari klinik pranata acara hingga pelatihan membuat telur asin.

Jadi tanpa ada perubahan strategi pemasaran, kampanye budaya baca hanya akan dicibir, diremehkan, tidak dianggap penting, dan memunculkan sikap fatalis di masyarakat. Karena yang ditawarkan ke mereka (buku) jauh panggang dari api dengan kondisi keseharian yang mereka akrabi. Mudahnya kalau dulu ada pameo di lingkup para aktivis pergerakan mahasiswa: makan tidak makan yang penting baca buku, maka sekarang harus dibalik: baca buku biar bisa makan.


Ketiga, masih sangat diperlukan inisiatif gerakan/kampanye membaca buku yang tumbuh dari dalam masyarakat sendiri dengan sistem gethok tular (multilevel reading). Sistem yang digagas dan sudah diuji cobakan mbah Dauzan melalui Mabulir selama 25 tahun. Dengan sistem jemput bola memungkinkan orang yang semula tidak butuh buku jadi butuh. Pemasar budaya baca menjadi semacam salesman-nya.

Modusnya kira-kira seperti ini: menyemangati satu orang untuk membentuk kelompok baca. Setelah terbentuk dan jalan, pada jangka waktu tertentu para anggotanya didorong untuk membentuk kelompok baca lagi dengan merekrut anggota yang berbeda. Demikian seterusnya.

Terakhir, besar harapan saya, kepergian mbah Dauzan hampir genap 4 tahun lalu itu bukan berarti kematian pula buat Mabulir, satu-satunya “anak ideologis” simbah. Baik dalam arti fisik maupun sistem.[]
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger