Home » » Tentang Buku Gempa Literasi

Tentang Buku Gempa Literasi

Written By Agus M. Irkham on 8 Jan 2012 | 20:01



:: Gol A Gong dan Agus M. Irkham

Kreatifitas, ungkap almarhum Rendra, memiliki tiga syarat utama. Pertama adalah cinta kasih atau api peduli. Yang kedua, keterlibatan. Dan yang ketiga harus sesuai dengan nilai-nilai universal. Api peduli atau simpati itu penting. Tapi belum cukup. Ia baru merupakan potensi. Belum menghasilkan nilai (value) apapun sampai dengan ia mampu mengejawantahkan simpati itu menjadi empati. Berupa tindakan untuk melaksanakan atas segala sesuatu yang disebut kesadaran. Perpaduan antara kesadaran dan aksi ini ada juga yang menyebut komitmen.

Keterlibatan yang mendalam akan menghasilkan—yang banyak disebut orang sebagai paradigma. Yaitu cara pandang seseorang mengenai kenyataan kehidupan serta pengalaman-pengalaman yang telah ia akrabi. Boleh jadi tiap kita menjalani jelujur waktu kehidupan dengan peran (role) sama. Misalnya sama-sama menjadi guru, dosen, jurnalis, pedagang, dan lain sebagainya. Namun saat diminta pendapat tentang apa yang dialami, tentu ceritanya akan lain-lain. Simpulan atas beragam pengalaman atas role yang sama itu akan beragam. Keberagaman simpulan itulah yang disebut paradigma.

Api peduli atau cinta kasih dan keterlibatan belumlah cukup. Keduanya harus sesuai dengan nilai-nilai universal. Wujud kontekstualnya macam-macam. Berupa kejujuran, sabar, pantang menyerah, sungguh-sungguh, dan sifat-sifat suci (noble) lainnya. Sublimasi atas ketiganya: cinta kasih, keterlibatan, dan nilai-nilai universial, oleh Rendra diikat ke dalam satu kalimat: Masuk ke dalam kontekstualitas sambil meraih ridha Allah!

Buku Gempa Literasi ini, insyaAllah termasuk dalam sublimasi yang diutarakan Rendra tersebut. Bentuk dari cinta kasih dan keterlibatan kami di lapangan literasi. Kami mengartikan literasi sebagai keberaksaraan, dimana keaksaraan teknis menjadi salah satu pokok bahasannya—selain keaksaraan fungsional dan budaya.

Keterlibatan dan perenungan atas apa-apa yang kami alami (transendensi aksi transformasi) di dunia literasi selalu menghasilkan sesuatu yang—kalau kami boleh sedikit hiperbolis—mencerahkan. Salah satu asnad atau bukti paling nampak, dan Anda dapat mendarasnya pula, adalah bentangan tema yang kami bicarakan. Literasi bukanlah semata-mata buku. Karena ia tidak hidup dalam ruang vakum udara, sebaliknya berjalin erat dengan kehidupan, bentangan pembicaraan tentang literasi pun menjadi dinamis, sedinamis kehidupan itu sendiri. Mulai dari dunia penerbitan, komunitas literasi, perpustakaan, kampanye membaca dan menulis, hingga isu perubahan sosial.

Tapi tentu saja tema tentang buku itu sendiri, tetap menarik untuk kami hidangkan. Apalagi perkembangan industri perbukuan di Indonesia cukup menggembirakan. Dapat ditandai dari semakin banyaknya jumlah penerbit, strategi pemasaran buku, serta jumlah buku secara agregat (total/nasional).

Dalam buku ini, kami menghadirkan literasi dari dua sisi muka: konsepsi dan praksis. Sisi pertama memahamkan kita sekaligus memberikan pijakan yang erat tentang pentingnya melek literasi. Sisi ini juga memberikan panduan dan sistemasi (ikatan) atas perubahan dan perkembangan dunia literasi yang terjadi di Indonesia—yang dalam pandangan kami sudah memasuki generasi ketiga. Analisis yang kami berikan adalah analisis “lekuk siku kita”.

Mengamati perkembangan literasi di Indonesia dengan pandangan yang berjarak. Keberjarakan ini penting, agar kami bisa dengan jernih memetakan persoalan, sekaligus merumuskan impian (cita-cita) atau solusi atas beragam persoalan tersebut. Dengan (sementara) berada di luar arena, kami juga bisa berlaku galak dalam memberikan kritik, karena tidak menjadi bagian dari persolan. Tidak mengalami konflik kepentingan.

Sisi mula ini juga mendedahkan kepada khalayak bahwa pentingnya membentuk masyarakat pembelajar (learner society) yang dilahirkan dari masyarakat pembaca (reader society) sudah tidak dapat dielakkan lagi. Sudah tidak ada celah lagi, terutama bagi pemegang kuasa politik (partai), birokrasi (pemerintah), budaya (masyarakat) untuk mengelak. Tidak menjadikan literasi sebagai prioritas utama ikhtiar melakukan rekayasa sosial—jika enggan menyebutnya sebagai pembangunan ke arah perbaikan dan kemajuan.

Itu sisi muka pertama. Bagaimana dengan sisi muka yang kedua?

Wajah kedua dari buku ini adalah berupa contoh nyata bagaimana buku diupacarai, dan komunitas literasi merayakan buku. Kami lebih banyak menjadikan Rumah Dunia sebagai titik pijak. Entah ia sebagai Taman Bacaan Masyarakat, maupun sebagai Komunitas Literasi. Di Rumah Dunia kami melihat dan turut pula menjadi saksi kebenaran makna literasi yang dirumuskan Unesco sebagai kunci peningkatan kapasitas seseorang, dan memberikan banyak manfaat sosial, di antaranya cara berpikir kritis, partisipasi politik, serta meningkatkan kualitas kehidupan. Terutama ekonomi.

Dalam konteks politik, pemilukada langsung misalnya, melek literasi (aksara budaya) itu berupa keberaksaraan politik. Yaitu kesanggupan untuk mendaras informasi, baik berupa teks maupun non teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif—budaya demokrasi. Masyarakat akan mampu menggali, memilih dan memilah informasi, rumor, desas-desus, klaim politik. Melakukan cek, ricek, menganalisis informasi politik yang didapat, serta menggunakan itu semua sebagai pertimbangan sebelum menentukan satu pilihan, dari sekian banyak pilihan bentuk partisipasi politik.

Ibarat kepingan logam, dua sisi di atas sama-sama pentingnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan, alih-alih saling menegasi. Sebaliknya kehadiran keduanya saling menggenapkan dan membuat kepingan logam itu jadi bernilai. Kami berharap kepingan logam tersebut dapat sidang pembaca gunakan untuk memainkan “game” bernama gerakan Indonesia Membaca untuk Indonesia yang sejahtera dan bermartabat.”

Itu sebab, kami menyebut buku ini sebagai buku sakti pegiat literasi. Karena kepingan logam itu memberikan pijakan kognitif, afektif, sekaligus praksis tentang dunia buku, perpustakaan, komunitas literasi, budaya membaca dan menulis, serta Taman Bacaan Masyarakat.

Keseluruhan bentangan pembicaraan tentang literasi di buku ini ada 99 entry atau lema.

Mengapa 99? Kok tidak digenapi saja menjadi 100.

Kami lebih senang menempatkan capaian kami saat ini sabagai sebuah perjalanan yang belum selesai. Ada banyak hal yang kami cita-citakan, dan itu belum tercapai. Pengalaman dan temuan kami juga bukan sesuatu yang sudah final. Artinya seiring berjalannya waktu akan terus mengalami perubahan. Harap kami, tentu saja perubahan ke arah kemajuan. Kesadaran ini kami simbolkan dengan angka 99.

“Kesempurnaan” buku ini sangat ditentukan oleh kesediaan Anda untuk mendayagunakan dan memanfaatkan informasi dan inspirasi yang kami semai di 99 esei. Angka tersebut bermakna undangan kami untuk Anda, para pembaca untuk menggenapi menjadi 100. Kedirian, kiprah, kesadaran yang diteruskan dengan aksi nyata, lantas Anda menuliskannya, itulah yang akan menggenapi temuan kami yang berjumlah 99 itu menjadi bilangan sempurna, seratus. Kesediaan Anda untuk bergerak dan ambil bagian dari rombongan besar pejuang literasi menjadi kesempuranaan buku ini. Kesempurnaan substansial!

***

Dalam pandangan kami, tulisan bukanlah semata-mata teks. Ia adalah anak rohani. Saat membaca tulisan, sejatinya kita sedang mendalami kedirian penulisnya. Paradigma berfikirnya. Kesadaran dan sikap laku hidupnya. Dan tiap diri itu diciptakan Tuhan dalam kondisi yang unik, khas, dan beda. Nah, pada titik itu, ungkapan bahwa tiap diri punya hak untuk menulis (buku) telah mendapati dasarnya.

Lantas pertanyaan pentingnya adalah: Dari mana datangnya kesadaran itu? Tentu dari sisi-Nya. Letak persoalannya ternyata bukan pada mereka, para penulis, yang lebih ahli ketimbang kita, para pembaca, sebagai orang awam. Tapi pada kesanggupan untuk senantiasa menganggap yang datang dari sisi Tuhan itu pasti bernilai besar. Tidak mengenal kata lumayan, apalagi hanya atau cuma. Menulis menjadi salah satu bentuk rasa syukur atas karunia nikmat piranti hidup yang telah diamanahkan Tuhan kepada kita secara gratis (limpah, given).

***

Pemilihan lema “Gempa” selain untuk menimbulkan efek kejut, juga bermakna konotatif. Selama ini lema “Gempa” selalu dilekati dengan pengertian yang buruk, merusak, dan menciptakan trauma. Kami mencoba “membebaskan” lema “gempa” tersebut dari makna buruk itu.

Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, ungkap penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam pengantar buku kumpulan puisinya: O Amuk Kapak. Bila kata-kata dibebaskan, lanjut Tardji, kreativitas pun dimungkinkan. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Dalam bingkai Kredo Puisi Tardji, Gempa Literasi bermakna proses penghancuran kesadaran magis dan naïf masyarakat akibat tuna baca—agar di kemudian hari berganti menjadi kesadaran kritis. Dan ajaibnya proses penghancuran itu berlangsung secara asyik dan menyenangkan: perayaan literasi!
-----------------------------------------------
:: Note di atas dicuplik dari Kata Pengantar buku Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia; Harga Rp85ribu; Tebal buku 580-an Halaman.

------------------------------------------------
Tertarik memiliki Bacaan Wajib Pegiat Literasi tersebut?
Silakan email/SMS/inbox FB Nama Anda/Lembaga; Alamat; Nomor Telp dan HP serta Jumlah eksemplar pesanan. Total jumlah uang yang harus ditransfer dan nama BANK akan kami berikan saat buku sudah siap kirim. Jadwal terbit AWAL FEBRUARI 2012
PEMESANAN bisa ke:
E-mail: agus_irkham@yahoo.com
HP: 0878 3228 5788 (agus irkham)
------------------------------------------------
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger